SI MPR HARUS AGENDAKAN PENYELESAIAN SOAL PELANGGARAN HAM

Jakarta, Kompas
Mahasiswa dan gerakan prodemokrasi perlu mendesakkan agenda-agenda di luar persoalan kursi kepresidenan dalam Sidang Istimewa (SI) MPR, khususnya berkaitan dengan kebijakan negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu. Tanpa tekanan dari masyarakat, MPR tidak akan mempedulikan hal itu sebagaimana tercermin dari sikap anggota parlemen yang menolak memberikan rekomendasi pengadilan HAM untuk menyelesaikan Kasus Trisakti dan Semanggi.

"Perlu cara-cara luar biasa untuk mendesakkan agar kasus-kasus masa lalu diselesaikan. Saya mengajak rekan-rekan mahasiswa untuk kembali melakukan mobilisasi massa secara besar-besaran," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman di Jakarta, Kamis (28/6).

Pendapat serupa dikemukakan peneliti LIPI Dr Hermawan Sulistyo, salah satu dari 18 peneliti LIPI yang pernah meminta Presiden Soeharto mundur pada masa-masa awal gerakan reformasi. Mahasiswa dan gerakan prodemokrasi, kata Hermawan, perlu melakukan penyikapan terhadap agenda Sidang Istimewa MPR yang tampaknya tidak mau membicarakan agenda-agenda lain di luar soal perebutan kursi. MPR harus ditekan untuk membicarakan berbagai persoalan bangsa secara
konstruktif, baik dengan gerakan wacana maupun gerakan massa.

Sidang istimewa yang digelar pada masa kekuasaan Habibie, kata Hermawan, akhirnya mengeluarkan ketetapan berkaitan dengan penyelesaian masalah HAM dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) akibat tekanan publik. Namun, akibat tidak adanya tekanan publik, SI yang akan digelar MPR mengalami kemunduran karena hanya membicarakan kursi. Pertarungan politik seperti ini adalah pertarungan model tahun 1980-an yang hanya diwarnai dengan saling
sikut untuk memperebutkan kursi.

"Gus Dur (Abdurrahman Wahid-Red) turun atau tidak akan terjadi perebutan kursi di kabinet. Ini memperlemah reformasi. Apalagi hasil Pansus tentang Kasus Trisakti dan Semanggi telah menunjukkan indikasi ke sana. Mereka lupa bahwa mereka menjadi anggota DPR karena darah mahasiswa di Trisakti dan Semanggi," kata Hermawan.

Amiruddin, Koordinator Program Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam), menyatakan bahwa tekanan publik terhadap SI perlu dilakukan meski tidak harus dengan melakukan pengerahan massa. Hal yang paling penting dilakukan oleh gerakan prodemokrasi saat ini adalah mengonsolidasikan diri karena pemerintah, DPR, maupun lembaga yudikatif tidak mampu menjalankan agenda penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

"Harus diakui kekuatan prodem (prodemokrasi – Red) saat ini masih tercerai-berai, saling meniadakan satu sama lain," kata Amiruddin.

Ia juga menyatakan ketidakseriusan anggota DPR dalam mengagendakan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dengan merujuk penolakan Pansus untuk merekomendasikan pengadilan HAM ad hoc untuk Kasus Trisakti. Dalam situasi seperti itu tidak bisa diharapkan MPR dengan kesadarannya sendiri mengagendakan kembali pembicaraan penuntasan penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang hingga kini masih terkatung-katung.

Meski sudah ada Undang-Undang (UU) tentang HAM dan UU tentang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan kekuatan Orde Baru tak bisa diselesaikan. Penyerbuan Kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996 tak jelas sampai di mana penanganan kasusnya setelah DPR merekomendasikan penyelesaian melalui peradilan koneksitas.

Kasus Tanjung Priok tahun 1984 yang sempat diselidiki Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM, masih ngendon di Kejaksaan Agung. Kasus pelanggaran HAM Timtim yang sudah selesai disidik tak bisa diadili karena lembaga pengadilannya juga belum ada. Begitu juga Kasus Trisaksi, Semanggi I, dan Semanggi II tetap menjadi misteri.

Sementara kasus lama belum ditangani, kasus-kasus baru mulai muncul seperti kasus Abepura (Irian Jaya) dan Insiden 14 Juni di Ambon yang menewaskan 22 orang sipil. 

Harus tuntas
Munarman menegaskan, pelanggaran HAM masa lalu harus dituntaskan. Ketika sistem hukum tidak memiliki kemampuan atau penguasa politik tidak memiliki keinginan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu, terbuka kembali kesempatan untuk membawa kasus itu untuk diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Namun, bisa pula hal itu dilakukan untuk menghilangkan elemen-elemen masa lalu, baik yang ada di parlemen maupun pemerintah.

Penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, kata Munarman, untuk menghindari basis politik kelompok-kelompok yang mendasarkan diri pada kekerasan.
 
Tentukan wajah
Guru Besar Hukum Pidana Internasional Prof Dr Romli Atmasasmita mengemukakan, sampai saat ini belum ada perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu yang selesai ditangani. Padahal, penyelesaian perkara pelanggaran HAM itu amat menentukan wajah Indonesia di forum internasional. Karena itu, sidang istimewa (SI) juga perlu merumuskan Ketetapan (Tap) MPR yang memberikan guidance (arahan) penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, termasuk memberikan
batasan waktu kapan berbagai pelanggaran itu harus terselesaikan.

Romli mengutarakan, baru ada dua perkara pelanggaran HAM yang mendekati penyelesaian, yakni perkara Tanjung Priok tahun 1984 dan pelanggaran HAM di Timor Timur pascapenentuan pendapat. "Keduanya akan diselesaikan melalui pengadilan ad hoc HAM. Tetapi, pengadilan itu kan belum terbentuk," ujarnya kepada Kompas di Jakarta hari Kamis.

Menurut Romli, persoalan yang dihadapi bangsa ini sangat banyak dan beragam. Persoalan itu tidak akan selesai cuma dengan digelarnya SI MPR, apalagi hanya beragenda tunggal membahas pertanggungjawaban Presiden. Sebagai pemegang mandat rakyat, memang sebaiknya MPR segera memberikan arahan kepada siapa pun yang memimpin negeri ini, sehingga apa yang harus dilakukan eksekutif menjadi lebih jelas. Tolok ukur penilaian keberhasilan atau kegagalannya pun menjadi jelas pula.

"Dalam soal pelanggaran HAM, SI MPR semestinya dapat memberikan acuan apa yang seharusnya dilakukan eksekutif dan legislatif supaya permasalahan itu segera selesai. Penyelesaian pelanggaran HAM tidak hanya tergantung eksekutif, tetapi juga legislatif. Kalau MA membuat guidance yang jelas, ini juga menjadi credit point untuk bangsa kita di mata internasional, karena kita memang serius menyelesaikan aneka pelanggaran HAM masa lalu itu," tuturnya. (wis/sah/tra)