SI MPR JANGAN LUPAKAN AGENDA PENYELESAIAN KONFLIK SOSIAL SI MPR

Jakarta, Kompas
Konflik di berbagai daerah, baik dalam konflik yang menghadapkan negara dengan rakyat maupun konflik komunal, perlu ditangani secara komprehensif dengan menyinergikan semua lembaga negara, baik parlemen, pemerintah, maupun yudikatif. Penanganan konflik di berbagai daerah selama ini masih mengedepankan pendekatan keamanan, kurang melibatkan masyarakat, dan dalam sejumlah kasus cenderung dibiarkan. MPR sebagai lembaga tertinggi negara sepatutnya membahas agenda ini dalam Sidang Istimewa (SI) MPR mendatang yang sejauh ini memiliki agenda tunggal, yaitu meminta pertanggungjawaban Presiden
Abdurrahman Wahid.

Demikian dikemukakan sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM) dan rekonsiliasi konflik yang dihubungi Kompas, Senin (2/7). Di antara mereka adalah Sekretaris Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid, Wakil Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Johnson Panjaitan, dan aktivis rekonsiliasi konflik Ichsan Malik.

Potensi disintegrasi bangsa juga disinggung Presiden Abdurrahman Wahid di depan Kongres Bangsa Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Sahid, Jakarta, Senin malam. Di awal sambutannya, Presiden menyerukan, dalam situasi menghadapi ancaman disintegrasi bangsa seperti saat ini, agar semua pihak tetap konsisten dan berpegang pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Sementara itu, Ketua Panitia Kongres Harsudiono Hartas antara lain menyerukan, dalam bahaya disintegrasi bangsa saat ini, mereka yang terlibat dalam konflik politik jangan hanya mencari solusi dengan bagi-bagi kekuasaan, tetapi harus bagi-bagi tugas untuk pengabdian kepada negara dan bangsa.

Harsudiono Hartas juga mengharapkan dalam menghadapi ancaman perpecahan bangsa, semua pihak tetap berpegang teguh pada Proklamasi 17 Agustus 1945 dan tetap konsisten pada Pembukaan UUD 1945. Ia juga mengingatkan untuk kembali pada semangat national and character building yang kini telah dilupakan banyak orang.

Tatanan sosial
Johnson Panjaitan berpendapat, konflik di berbagai daerah saat ini telah kumal sekali dan bukan hanya mengakibatkan korban fisik, tetapi tatanan sosial juga telah porak poranda. Dalam perkembangannya, pembuat konflik ternyata lebih kuat dibandingkan kaum penganjur damai. Dalam berbagai kasus, baik konflik vertikal
maupun horizontal, pemerintahan sipil maupun militer justru menjadi sumber masalah. Karena itu, agenda utama yang perlu didesakkan adalah pengadilan terhadap aparat yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM.

Sementara itu, Usman Hamid menilai, selama ini belum ada kebijakan komprehensif yang dimiliki negara untuk menyelesaikan konflik vertikal maupun horizontal yang terjadi di berbagai daerah. Konflik yang terjadi di berbagai daerah memang bukan hanya menjadi tanggung jawab negara karena di balik kasus tersebut ada masalah sosiologis, seperti ketidakadilan politik dan ekonomi maupun distorsi penguasaan sumber daya politik dan ekonomi yang tidak merata. Dalam
beberapa kasus, konflik sosial terjadi karena adanya aksi adu domba.

Pendekatan negara yang diterapkan dalam menjawab masalah itu, kata Usman, masih mengedepankan pendekatan keamanan, dengan mengirim pasukan keamanan. Dalam penanganan konflik di Aceh, pendekatan sipil yang dicoba diupayakan diblokade dengan pendekatan militer sehingga langkah dialog yang baru saja dirintis putus kembali. Agenda pengadilan terhadap aparat militer yang terlibat dalam pelanggaran HAM di Aceh maupun Irian Jaya telantar.

"Padahal, untuk kasus Aceh, pengadilan bagi pelaku pelanggaran HAM sangat penting dilakukan untuk mencari solusi damai di Aceh," ujar Usman.

Berbagai agenda penting dalam masa transisi yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, seperti konflik di berbagai daerah, pengadilan bagi pelaku pelanggaran HAM, dan pengadilan para koruptor, kata Usman, terhapus dalam konflik politik yang memanas antara parlemen dan Abdurrahman Wahid. Persoalan yang dihadapi saat ini adalah apa yang akan dilakukan pasca-SI, baik bila Abdurrahman Wahid jatuh maupun kompromi dicapai.

Agenda jelas
SI MPR, menurut Usman, harus membuat agenda jelas dalam kurun waktu yang ditetapkan dan menugaskan kepada lembaga tinggi negara untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Pengadilan HAM harus dilakukan, kompensasi kepada para korban harus diberikan. "Bila proses transisi ini terbengkalai, mengabaikan agenda tersebut, tidak terbayangkan kita bakal mencapai sistem masyarakat dan ketatanegaraan yang demokratis. Kita harus dengan tegas memutuskan diri dari
kekuatan lama," kata Usman.

Ichsan juga sependapat bahwa agenda strategis lainnya di luar persoalan Abdurrahman Wahid sepatutnya diagendakan dalam SI. Masalah yang dihadapi sekarang adalah belum adanya kekuatan yang mendorong MPR agar membicarakan agenda penting yang harus diperhatikan pula oleh MPR.

Persoalan konflik yang terjadi di berbagai daerah, menurut Ichsan, merupakan bom waktu yang mengerikan. Sementara kasus-kasus di Irian, Aceh, Maluku, Poso, Kalimantan, dan lain-lain belum diselesaikan, muncul ancaman serupa di daerah lain. Lembaga tinggi negara tidak hanya tidak punya kemampuan, tetapi juga tidak memiliki atensi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Dalam situasi seperti itu, kata Ichsan, MPR memang harus mengeluarkan keputusan politik untuk menyelesaikan konflik di daerah, baik melalui jalur litigasi maupun nonlitigasi.

Otonomi daerah
Kepala Pusat Studi Perubahan Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Bambang EC Widodo MSi mengingatkan, potensi disintegrasi memang masih menjadi bahaya besar yang mengancam kesatuan Indonesia. Karena itu, SI MPR perlu mengingatkan kembali pelaksanaan otonomi daerah.

Bambang mengatakan, otonomi daerah sudah dilakukan hampir tujuh bulan ini, tetapi pelaksanaannya masih tergantung interpretasi dari daerah masing-masing dan tidak ada arahan yang jelas dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan daerah terhadap pemerintahan pusat masih muncul terus, bahkan semakin berkembang.

Lebih memprihatinkan lagi, tandasnya, pemerintah dan legislatif tidak mempedulikan tuntutan daerah. Mereka cenderung memikirkan diri sendiri, antara lain dengan lebih banyak mempersoalkan kedudukan dan kompromi politik. Amat sedikit pemikiran dari eksekutif atau anggota DPR untuk mengurangi potensi disintegrasi nasional.

"Selama ini hampir tidak ada pemikiran atau wacana dari anggota MPR mengenai bagaimana mengurangi bahaya disintegrasi. Padahal, bila terlambat mengantisipasi, mungkin saja negara ini tercerai-berai. SI MPR, karena itu, perlu mengagendakan pembahasan bahaya disintegrasi ini antara lain dengan menegaskan kembali pelaksanaan otonomi daerah oleh eksekutif dan legislatif. Jadi, siapa pun yang memimpin negara ini mempunyai acuan yang lebih jelas," paparnya lagi. (tra/osd/wis)