MA BISA BATALKAN PUTUSAN DPR SOAL TRISAKTI/SEMANGGI

Jakarta, Kompas
Putusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyatakan, tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dan sebaiknya diselesaikan melalui pengadilan umum atau pengadilan militer, adalah keputusan yang rancu. Mahkamah Agung (MA) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang peradilan (yudikatif) bisa membatalkan keputusan itu sehingga tidak membikin pengadilan di bawahnya kebingungan.

Demikian ditandaskan Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) Prof Dr Jacob Elfinus (JE) Sahetapy kepada Kompas di Jakarta, Kamis (12/7). "Putusan DPR pada perkara Trisakti dan Semanggi itu rancu, sehingga memasuki kewenangan yudikatif. Karena itu, MA bisa saja membatalkan putusan DPR. Putusan DPR itu pun tak harus ditaati pengadilan," ujar Guru Besar Hukum pada Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, itu.

Ketua Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman mengutarakan, Presiden tidak usah ragu-ragu membuat Keputusan Presiden (Keppres) pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Meskipun Pasal 43 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan, pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR, namun tak ada larangan Presiden membentuk Pengadilan HAM ad hoc tanpa usulan DPR.

"Asas hukum yang berlaku di Indonesia mengakui, sepanjang tidak ada larangan, berarti dibolehkan. Kalau membentuk Pengadilan HAM ad hoc tanpa usulan DPR, Presiden tidak melanggar Undang-Undang," tegas Munarman.
 
Tak perlu mendesak
Hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Binsar Gultom secara terpisah menegaskan, Kontras tak perlu mendesak Presiden mengeluarkan Keppres membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Sebaiknya masalah kompetensi kewenangan mengadili itu diserahkan pada lembaga yudikatif. Lembaga yudikatif yang lebih tepat memutuskan pengadilan mana yang tepat mengadili ketiga perkara tersebut.

"Jika yudikatif sudah memutuskan Pengadilan HAM ad hoc-lah yang berwenang mengadili perkara itu, tanpa diminta Presiden pasti segera mengeluarkan Keppres, seperti mengeluarkan Keppres Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pengadilan HAM bagi kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Tetapi, lebih baik apabila MA segera mengambil inisiatif menuntaskan beda pendapat ini," urai Gultom lagi.

Sahetapy pun menegaskan, untuk membatalkan putusan DPR mengenai kewenangan pengadilan yang akan mengadili perkara Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, MA tak perlu menunggu ada permohonan masyarakat. "Karena putusan Dewan itu sudah memasuki wilayah yudikatif, MA dapat langsung menyatakan batal," tandasnya.

Masyarakat harus mendesak Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II menyelesaikan tugasnya sesegera mungkin. Bila KPP menyimpulkan terdapat indikasi pelanggaran HAM berat kasus tersebut, kata Munarman, hasilnya bisa diserahkan kepada Kejaksaan Agung.

"Dari kejaksaan agung, hasilnya langsung di by pass ke Presiden tanpa perlu lewat DPR lagi. Tidak perlu pedulikan usulan DPR, karena instansi yang menamakan dirinya wakil rakyat itu justru tidak mendukung langkah penegakan HAM," tandas Munarman.

Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan yang dihubungi terpisah mengatakan, Presiden tak perlu melakukan by pass. Untuk menentukan pengadilan HAM ad hoc, ada dua pendapat. Pertama, lewat usulan DPR dan kedua, Komnas HAM menyelidiki dahulu. (sah/mba/tra)