Riswandha Imawan: MASYARAKAT BISA MENGHUKUM GOLKAR PADA PEMILU 2004

Yogyakarta, Kompas
Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak gugatan pembubaran Partai Golkar tak perlu disambut dengan "sikap perlawanan" oleh orang-orang anti Golkar dan anti Orde Baru. Jika memang Golkar dianggap punya cacat, masyarakat bisa memberikan hukuman setimpal pada Pemilu 2004 dengan tidak mencoblos tanda gambar Partai Golkar.

Hal itu dikatakan pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Riswandha Imawan ketika dihubungi Kompas, Rabu (1/8) malam. "Serahkanlah pada masyarakat untuk menghukum Golkar, kalau memang dianggap salah. Berdasarkan UU Pemilu, jika Golkar tak bisa meraih minimal dua persen suara, dengan sendirinya partai tersebut tak berhak punya wakil di parlemen, sekaligus tidak berhak ikut Pemilu berikutnya. Hukuman sosial seperti itu jauh lebih memberi pelajaran ketimbang berharap dari putusan hukum di peradilan tingkat mana pun," ujar Riswandha.

Pengamat politik dari UGM lainnya Mohtar Mas’oed menandaskan, secara politis memang sulit membayangkan Partai Golkar yang meraih 23 persen suara dalam Pemilu 1999 dibubarkan oleh Mahkamah Agung.

Realitas politik ini pun sesungguhnya disadari mereka yang mengajukan gugatan pembubaran atau pencabutan hak Partai Golkar dalam Pemilu 2004. Namun, gugatan itu diajukan tampaknya untuk tetap menghidupkan wacana, bahwa Golkar adalah bagian dari persoalan masa lalu.

Riswandha cenderung melihat persoalan pembubaran Golkar dari sisi ilmu politik ketimbang sisi praktisnya. Menurut dia, dalam ilmu politik, sebuah parpol tak ada bedanya dengan produk industri yang dilempar ke pasar. Sentimen emosi dan mekanisme pasar sangat berpengaruh terhadap laris tidaknya produk bersangkutan.

Riswandha menambahkan, tantangan bagi para anti Orde Baru dan anti Golkar adalah bagaimana melanggengkan proses penyadaran kepada masyarakat bahwa Golkar itu dianggap punya reputasi kurang terpuji terhadap perjalanan bangsa dan negara ini. Penyadaran itu jangan sampai berhenti sampai menjelang Pemilu 2004 terutama saat-saat kampanye. Namun, caranya harus elegan dan santun. Tak perlu sampai terjadi bentrokan fisik.

Kampanye negatif
Mohtar dan praktisi hukum Benny K Harman berpendapat, kegagalan gugatan pembubaran serta pencabutan hak Golkar mengikuti Pemilu 2004, sesuai putusan majelis hakim MA, dapat mendorong makin tumbuhnya kampanye yang negatif terhadap Partai Golkar. Mereka yang masih menganggap Golkar, adalah bagian dari persoalan masa lalu dapat dipastikan akan terus melakukan perlawanan dengan mengembangkan opini mengenai Golkar yang negatif atau kurang baik.

"Kampanye negatif (negative campaign) terhadap Golkar tak akan berhenti walau mungkin formatnya bukan lewat pengadilan," kata Mohtar, yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta tersebut.

Benny pun memperkirakan, dengan putusan MA yang menolak untuk membubarkan Golkar akan mendorong aksi lebih besar mendiskreditkan Golkar dari kelompok masyarakat yang tidak menghendaki partai itu tetap eksis.

Tak aman
Benny pun menganggap kegagalan tuntutan pembubaran Golkar tidak membuat partai berlambang pohon beringin itu "aman". Penolakan MA membubarkan Golkar tak dapat menutup peluang adanya gugatan baru terhadap Golkar dengan materi yang berbeda. Apalagi, kegagalan gugatan Pijar Keadilan-dipimpin RO Tambunan-lebih didasari kegagalan penggugat mendatangkan saksi dan bukti yang menunjukkan Golkar melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.

"Tetapi, dengan putusan MA tersebut setidak-tidaknya Golkar mempunyai kekuatan baru," jelas Benny.

Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung mengatakan, putusan MA yang memenangkan Partai Golkar membuktikan bahwa adalah Partai Golkar secara hukum tidak menyalahi atau bertentangan dengan undang-undang yang mengakibatkan Partai Golkar terkena hukuman apakah pembekuan, pembubaran, atau tidak ikut pemilu.

Tandjung menambahkan, Partai Golkar tidak bisa digugat dalam hal sama, kecuali ditemukan butki-bukti baru (novum). Prosedural

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munarman dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Irianto Subiakto berpendapat, apa pun yang sudah diputuskan oleh MA harus dihargai dan dihormati.

Sedang Koordinator Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW) Teten Masduki menilai, putusan MA itu terburu-buru dan bisa menimbulkan problema hukum. "Bagaimana nanti kalau pengadilan kasus penyimpangan dana Bulog dengan tersangka Rahardi Ramelan ditemukan bukti adanya aliran dana untuk Golkar, sementara putusan MA sudah final?" kata Teten.

Munarman menyebut para penggugat Partai Golkar sangat ceroboh. "Meskipun barangkali sudah menjadi rahasia umum bahwa Partai Golkar begini-begitu selama 32 tahun dan seterusnya, tapi begitu kasus partai ini dibawa dari arena politik ke koridor hukum, ya semua persyaratan agar tuntutan mengenai Partai Golkar bisa lolos sesuai keinginan di meja sidang, harus lengkap, matang, dan terencana," jelas Munarman. (nar/tra/pep/win/bdm)