TENGOKLAH MERAH PUTIH DI ACEH

SIAPA bilang bendera Merah Putih jarang ditemukan di Provinsi Aceh. Datang dan lihatlah ke sana. Di sepanjang jalan raya, di depan rumah-rumah penduduk dan bangunan lainnya, Merah Putih berkibar setiap hari.    

Adalah satu kebohongan besar manakala ada orang yang beranggapan Merah Putih itu tak berkibar di provinsi sarat konflik itu. Di antara reruntuhan bangunan yang diledakkan atau dibakar pun, bendera itu berkibar dengan megahnya. Di atas drum yang diletakkan di badan jalan depan pos aparat keamanan, bendera itu juga dipasang. Di mobil aparat keamanan yang ditulisi aksara Arab, merah putih juga ada di sana. Tak ketinggalan pula pada semua kendaraan pribadi dan umum yang melintas di jalan raya.

Peringatan hari ulang tahun Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus padahal belum tiba. Di Aceh, sejak akhir Juli lalu, bendera Indonesia sudah marak berkibar di mana-mana.

Inilah sebuah fakta yang berbicara. Dengan mengabaikan ada tidaknya unsur keterpaksaan atau apa pun namanya yang lain, yang jelas kondisi ini jauh berbeda dengan menjelang 17 Agustus 2000.

Sebuah suasana dapat dibaca dengan kasatmata sekalipun bahwa Provinsi Aceh adalah bagian dari Indonesia yang utuh. Tidak ada yang membantahnya. Orang-orang sudah "demam" untuk menyambut hari Proklamasi Indonesia 17 Agustus. Gubernur Aceh, Abdullah Puteh malah menyatakan HUT Proklamasi akan diadakan secara besar-besaran. Ada pameran pembangunan, kesenian rakyat, bahkan berbagai pertandingan olahraga tradisional dilaksanakan dalam rangka menyambut HUT kemerdekaan itu.

Di DPRD Aceh dalam sebuah sidang, Rabu (1/8), dia juga mengajak masyarakat di Aceh untuk melupakan masa lalu yang pahit dan dapat menatap masa depan yang cerah. Pernyataan ini berkaitan dengan disetujuinya Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam (UU NAD) oleh DPR baru-baru ini, sebuah UU yang mengatur berbagai hal tentang otonomi khusus bagi Aceh. Antara lain, provinsi itu akan mendapat porsi lebih banyak dari hasil minyak dan gas bumi hingga 70 persen. Sebuah kesempatan untuk membangun dengan dukungan dana yang lumayan.

Hari itu, ketika Gubernur Abdullah Puteh berbicara di DPRD, hanya sekitar 12 kilometer di timurlaut gedung itu tiga pria ditembak mati oleh aparat keamanan. Cot Keueung, nama kawasan itu, aparat keamanan mengklaim telah menembak mereka dalam satu aksi kontak senjata. Dua orang lainnya dikabarkan lolos bersama senjata serbu yang dimiliki. Aparat keamanan juga menyatakan tiga senjata milik kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu berhasil dirampas.

Sekitar 10 kilometer di selatan Banda Aceh, pada hari yang sama seorang tentara ditembak anggota GAM. Praka Muhammad Yamin, anggota Zipur Korem 012/Teuku Umar itu dilarikan ke rumah sakit, dan kemudian tewas.

Di hari yang sama juga, harian Serambi Indonesia yang terbit di Banda Aceh melaporkan berbagai kejadian lain di seluruh provinsi itu. Ada warga yang hilang, penemuan mayat berluka tembak, dan kontak senjata antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata GAM. Sehari sebelumnya, ada juga pernyataan ikrar sejumlah warga di Lhong, Kabupaten Aceh Besar, yang menyatakan kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Lalu, apa kaitannya UU NAD dengan itu semua? Manakala tindak kekerasan terus terjadi, dan rakyat menjerit dengan hati yang galau, sesungguhnya UU NAD itu tidak berarti apa-apa bagi rakyat Aceh. Munarman, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta menyatakan, yang terpenting sekarang adalah penghentian tindak kekerasan oleh siapa pun. Lalu, dialog dilanjutkan dengan rakyat Aceh termasuk GAM. (Kompas, 2/8)

*** 

ITULAH gambaran keseharian di Aceh kini. Tanpa maksud memberi interpretasi negatif, dari gambaran sekilas itu orang akan paham bahwa Aceh adalah sebuah daerah konflik yang tengah diselesaikan antara lain dengan pendekatan keamanan.

Lahirnya Inpres Nomor 4 Tahun 2001 tentang Langkah-langkah Komprehensif Penyelesaian Masalah Aceh telah memberi payung bagi aparat keamanan untuk beroperasi di sana. Inpres yang ditandatangani Presiden Abdurrahman Wahid April lalu itu menyebutkan sejumlah langkah lain yang dilaksanakan secara komprehensif untuk menyelesaikan masalah Aceh, misalnya, menyangkut sosial dan ekonomi.

Namun, langkah lain itu dipandang jauh ketinggalan dengan langkah keamanan. Gubernur Abdullah Puteh sendiri mengakui hal ini.     Di sisi lain, ribuan tentara dikirim ke Aceh untuk menumpas kelompok bersenjata GAM. Banyak di antara anggota GAM itu termasuk beberapa tokohnya mati dalam kontak tembak, meskipun kemudian pernyataan tersebut tidak semuanya dibenarkan oleh juru bicara mereka. Alasannya yang tewas ditembak aparat itu adalah warga biasa
dan tak ada sangkut pautnya dengan GAM. Juru bicara operasi keamanan tentu membantah pula hal itu dengan menyatakan bahwa mereka beroperasi dengan target operasi (TO) yang jelas.

Hari Jumat 20 Juli 2001, malah lima orang yang selama ini dikenal sebagai perunding GAM juga ditangkap dan hingga Kamis (2/8) masih di tahanan Kepolisian Daerah Aceh. Mereka dituduh berbuat makar dengan sejumlah alat bukti yang disita polisi.

Di banyak lokasi kantor pemerintah di Banda Aceh, Kamis, aparat keamanan berjaga-jaga. Bahkan banyak kantor camat yang sebelumnya tutup, telah dibuka kembali di bawah pengawalan aparat keamanan. Di jalan raya, aparat keamanan menggelar razia.

Bagaimana menempatkan kondisi "demamnya" masyarakat di Aceh menyambut HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia bila dikaitkan dengan kenyataan sehari-hari, akan sangat bergantung pada apa dan bagaimana sisi pandang untuk melihatnya. Adalah mata yang jernih akan melihatnya secara jernih pula.

Bagaimanapun, banyak orang berharap pekik merdeka rakyat Aceh bulan Agustus ini hendaknya merupakan sebuah pekikan kerinduan terhadap kedamaian yang telah lama hilang. Sungguh, mereka merindukan kedamaian itu.Mari, tengoklah Merah Putih di Aceh. (nj)