Jajak Pendapat “Kompas”: PUDARNYA CITRA KOMNAS HAM

LAYAKNYA wabah penyakit yang sulit dihindari oleh siapa pun, perpecahan rupanya tidak hanya mengancam institusi politik di negeri ini. Kini, institusi yang diyakini sebagai tempat pembela kaum lemah, terutama dalam urusan Hak Asasi Manusia (HAM) pun ikut terkena imbas serupa.

Belakangan ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memang banyak menuai sorotan. Menjelang dilaksanakannya secara efektif Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pada 23 September 2001 ini, paling tidak ada dua hal menjadi sorotan utama bagi lembaga yang didirikan pada 1993 itu. Yaitu, sorotan menyangkut masalah kondisi internal dan kinerja Komnas HAM sendiri.

Kondisi internal dipersoalkan, tak lain adalah semakin memanasnya tarik ulur yang kuat antara dua kubu yang berseberangan pendapat. Semula, titik pangkal persoalannya tak lain berkaitan dengan pelaksanaan UU itu sendiri. Pasalnya, sebagian anggota Komnas HAM menginginkan agar UU itu dilaksanakan sebagaimana yang ada.   

Pendapat ini agaknya sejalan dengan langkah Departemen Kehakiman dan HAM yang menolak adanya rencana revisi. Namun, sebagian lain menganggap tidak hanya cukup seperti itu, dan menginginkan agar pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, bila tidak ingin merevisi UU itu.

Sedemikian jauh, tampaknya pendapat pihak pertamalah yang akan dilaksanakan. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, perbedaan ini masih berlanjut hingga menyangkut soal penambahan jumlah anggota Komnas HAM, yang semula disepakati 25 orang, kemudian membengkak menjadi 35 orang.

Membengkaknya usulan anggota itu tak lain dari gugatan terhadap hasil kerja panitia perekrutan calon anggota. Setelah dilakukan penyortiran dari 195 nama calon, terpilihlah 14 nama kandidat yang sebagian besar berasal dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, untuk diajukan ke DPR.

Tudingan tidak fair pun muncul. Panitia dianggap hanya memilih kandidat dari kalangan LSM saja. Tudingan itu semakin memanas ketika elemen internal Komnas HAM sendiri ikut kecewa dengan kinerja panitia. Tak pelak, perbedaan dua kubu yang berseberangan pendapat dalam tubuh lembaga HAM ini pun semakin menguat.

Di sisi lain, belum tuntas masalah internal, kinerja Komnas HAM mendapat sorotan yang tak kalah kuatnya. Sebagai contoh, pelanggaran HAM yang melibatkan tokoh-tokoh politik maupun militer rezim terdahulu hingga kini tidak jelas lagi nasibnya. Contoh nyata adalah kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Ketika hendak membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM), lembaga yang dipimpin oleh Djoko Sugianto ini sempat ragu-ragu. Baru setelah DPR
merekomendasikan hasil pansusnya yang kontroversial itu, disertai desakan masyarakat, Komnas HAM baru bergerak.

***

MENELUSURI upaya penegakan HAM di negeri ini sebenarnya patut dibanggakan. Paling tidak, dari sisi perangkat hukum, sudah tersedia garansi yang kuat dalam UUD 1945 hasil amandemen kedua pada Sidang Tahunan MPR setahun yang lalu. Tidak cukup hanya dalam UUD, kehadiran UU HAM beserta lembaga Komnas HAM semakin mempertajam. Namun, dalam praktik, perangkat hukum yang disiapkan belum menjamin musnahnya praktik-praktik pelanggaran HAM di negeri ini.

Beberapa kasus, terutama di daerah-daerah yang menjadi ajang konflik seperti Aceh dan Maluku dapat dijadikan contoh. Hal ini pula yang dipersepsikan oleh mayoritas (63 persen) responden dari jajak pendapat kali ini, yang menyatakan kondisi HAM di negeri ini memang tergolong buruk. Tidak kurang, hanya 31 persen responden saja yang menyatakan kondisinya membaik.

Parahnya, persepsi masih buruk kondisi penegakan HAM di mata publik rupanya ikut pula mempengaruhi kepercayaan mereka terhadap berbagai institusi yang selama ini diyakini sebagai tempat mengadu. Bila setahun yang lalu, menurut hasil jajak pendapat, masih ada beberapa lembaga hukum yang mendapat kepercayaan, saat ini hampir semua lembaga pengaduan hukum citranya runtuh. Dalam proporsi terbesar responden menyatakan tidak ada lagi institusi perlindungan
hukum yang mereka percayai.

Bahkan, Komnas HAM yang dua tahun lalu masih mendapat kepercayaan paling tinggi, kini kalah pamor dibandingkan dengan kelompok lembaga bantuan hukum yang dikelola oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Komisi untuk Orang Hilang (Kontras), maupun Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).

***

BERBICARA data, kiprah Komnas sebagai lembaga pengaduan memang semakin menurun. Secara statistik jumlah pengaduan masyarakat kepada lembaga ini merosot tajam. Tujuh tahun lalu, saat ia baru berusia setahun, masyarakat korban pelanggaran HAM berduyun-duyun datang mengadu. Tak heran bila waktu itu, tercatat 2.360 pengadu. Setahun kemudian, jumlah pengadu bertambah menjadi 3.321, bahkan, pada tahun 1996 hampir 4.000 berkas pengaduan masuk ke lembaga ini. Tahun kemarin, Komnas hanya menerima aduan 2.486 jumlah ini hampir setara dengan tahun-tahun pertama masa kerja.

Pudarnya kepercayaan masyarakat ini tentu dipandang mengkhawatirkan. Memang, tidak bisa disangkal, apabila tolok ukur masyarakat adalah hasil akhir, bukan sebuah proses. Dengan perkataan lain, sepanjang kasus-kasus yang bersinggungan dengan pelanggaran HAM tidak juga tuntas terselesaikan maka jangan harap kepercayaan itu muncul. Pola penyikapan seperti ini pula yang menonjol tercermin dalam jajak pendapat kali ini. Lebih dari tiga perempat bagian responden menilai tidak puas terhadap kinerja Komnas HAM dalam penanganan berbagai kasus HAM.

Bahkan, publik pun sampai pada taraf mencurigai merosotnya kinerja Komnas HAM serta lambannya dalam menangani kasus, tak lain karena masih adanya intervensi langsung dari penguasa maupun partai politik. Dengan perkataan lain, Komnas HAM dinilai masih belum independen dan kurang berani.

Aspek kinerja, konflik internal memang menjadi batu sandungan bagi pamor institusi ini. Namun, selain berbagai ketidakpuasan tersebut, tidak dapat disangkal pula apabila merosotnya kepercayaan publik ini dikaitkan pula oleh perubahan kondisi perpolitikan negeri ini. Maksudnya, ketika koridor kebebasan mulai nyata, ekspresi sikap tidak selalu sepenuhnya disalurkan pada institusi yang ada. Ada banyak medium yang dapat digunakan. Ingin menggunakan institusi, perjuangan kolektif ataupun individu, semua sama memungkinkan. Dalam kondisi seperti ini, bukan hal yang keliru apabila masyarakat pun memilih langkah-langkah yang paling efektif untuk penyelamatan dirinya. (Ign Kristanto/Litbang Kompas)