KPP TRISAKTI-SEMANGGI TERUS BEKERJA

Jakarta, Kompas
Ketua Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) kasus Trisakti dan Semanggi I/II Albert Hasibuan mengatakan, penyelidikan kasus tersebut terus berjalan tanpa hambatan. Kekisruhan mengenai belum berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sedikit pun tidak mempengaruhi kerja KPP.

"Di tengah perdebatan apakah Undang-Undang No 39 Tahun 1999 telah berlaku atau apakah anggota lama Komnas HAM masih berhak bertahan, kami tidak peduli. KPP terus melakukan penyelidikan kasus Trisakti dan Semanggi sebagaimana direncanakan. Masyarakat harus mengetahui, apa yang sedang kami kerjakan ini juga merupakan perintah Undang-Undang No 39/1999 itu," ujar Hasibuan, Jumat (28/9), ketika ditanya tentang kaitan kisruh di Komnas HAM dengan KPP HAM yang dipimpinnya.

Dikatakan, pekan depan KPP Trisakti akan melakukan peninjauan ke lokasi kejadian di Kampus Universitas Trisakti serta di kawasan Semanggi. Kunjungan dimaksudkan untuk validasi data yang diperolah KPP. Pada saat yang sama, KPP juga akan memanggil dan meminta informasi dari keluarga korban.

Awal bulan Oktober, KPP berencana memanggil saksi-saksi yang diduga mengetahui atau berkaitan langsung atau tidak langsung dengan peristiwa di lapangan. Kepada para saksi yang diundang, kata Hasibuan, sangat diharapkan kehadirannya untuk membantu kerja KPP.

"Kita hanya ingin menjelaskan kemajuan kerja KPP kepada masyarakat berkaitan dengan sorotan terhadap Komnas HAM saat ini. Pencari keadilan, keluarga korban atau masyarakat yang concern dengan peristiwa ini, kami harapkan tidak terpengaruh. Sampai saat ini kerja KPP masih mendahulukan kepentingan dan aspirasi korban," katanya.

Usman Hamid, salah seorang anggota KPP yang dihubungi menambahkan, saat ini timnya sedang melakukan penguatan temuan awal dari data yang sudah dikumpulkan. Dari data seperti laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Mei 1998, Tim Relawan Kemanusiaan Trisakti, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) akan dikembangkan dalam sebuah desain investigasi di lapangan.

Ketika ditanya apakah seluruh data yang terkumpul sudah cukup untuk menyusun kesimpulan indikasi pelanggaran berat HAM, Hasibuan mengatakan belum. Mereka, misalnya, masih membutuhkan data tambahan dari panitia khusus DPR yang melakukan penyelidikan terhadap kasus yang sama.

Gambaran awal dari analisa data yang ada, peristiwa Trisakti 12 Mei 1998 tidak terpisahkan dari kejadian di berbagai daerah sebelum dan setelah kejadian. Misalnya, kekerasan yang dilakukan oleh militer dan Polri sejak awal Mei menunjukkan tidak adanya perubahan pola penanganan unjuk rasa mahasiswa. "Salah satu yang harus kita buktikan adalah ucapan Jenderal Wiranto di DPR waktu itu, bahwa aparat bertindak karena tindakan anarkis mahasiswa. Benar atau tidak
kenyataannya di lapangan," ujar Usman. (sah)