JANGAN SAMPAI AKSI-AKSI MASSA DIMANFAATKAN

Jakarta, Kompas
Merebaknya aksi-aksi anti-penyerbuan Amerika Serikat (AS) ke Afganistan, maupun yang menuntut pemerintah agar bersikap lebih tegas kepada AS, jangan sampai dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang menginginkan suasana chaos tetap terpelihara di negeri ini.

Peringatan itu disampaikan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, kepada Kompas, Sabtu (13/10), di Jakarta. "Yang saya khawatirkan, aksi-aksi ini dimanfaatkan oleh kalangan militer yang melihat bahwa ketidakstabilan itu bisa ‘dipelihara’ untuk menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan sipil," ujarnya.

Syamsuddin juga khawatir, aksi-aksi tersebut dapat dimanfaatkan oleh politisi-politisi di DPR untuk bargaining kekuasaan dalam konteks Pemilu 2004.

Meski demikian, secara umum ia menilai bahwa perkembangan yang terjadi di Tanah Air selama sepekan terakhir, menyusul serangan AS ke Afganistan, belumlah mengkhawatirkan. Yang dibutuhkan masyarakat sekarang adalah penjelasan mengapa pemerintah bersikap seperti saat ini. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan penanganan terhadap aksi-aksi massa tanpa harus represif.

Oleh karena itu, kata Syamsuddin, pendapat yang mengaitkan bahwa aksi-aksi ini memiliki agenda ke arah penggoyangan Presiden Megawati, dinilainya masih terlalu dini.

"Saya melihat, sikap partai politik (parpol) di parlemen terhadap pemerintahan Megawati, masih lebih banyak yang mendukung dibandingkan yang menentang. Setidaknya, ini terlihat dari sikap dua parpol besar, Golkar dan PDI Perjuangan. Saya juga melihat aksi-aksi tersebut, seandainya niatnya untuk menggoyang Megawati, masih belum signifikan," katanya.

"Indikator saya selalu berdasarkan hasil pemilu-pemilu yang lalu, di mana hasil pemilu selalu dimenangkan oleh kelompok-kelompok yang pragmatis dan nasionalis," ujarnya.

Agendakan pertemuan
Meski demikian, bukan berarti pemerintahan Megawati tidak harus serius mencermati perkembangan terakhir ini. Menurut dia, Megawati penting untuk bertemu dengan tokoh-tokoh Islam seperti dari Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan kelompok lainnya, untuk menjelaskan latar belakang sikap pemerintah.  "Kalau ada perbedaan antara sikap pemerintah dengan masyarakat, ya wajar saja. Itu fenomena universal," lanjutnya.

Diharapkan, dengan pendekatan terhadap tokoh-tokoh Islam tersebut, mereka dapat menjelaskan kepada konstituennya apa yang menjadi latar belakang, sehingga pemerintah bersikap seperti saat ini. "Saya pribadi cenderung mendukung sikap pemerintah, karena masalah yang kita hadapi saat ini sangat kompleks, baik di bidang politik, ekonomi, maupun masalah dalam negeri lainnya," kata Syamsuddin.

Bagaimanapun, lanjutnya, masyarakat harus rasional karena Indonesia tetap membutuhkan dukungan AS. Dalam bidang ekonomi misalnya, posisi AS sangat penting di dalam seluruh badan internasional semacam CGI, IMF, World Bank, dan lainnya.

"Ekspor kita ke AS juga sangat besar, sehingga bila kita bersikap emosional dengan memutuskan hubungan diplomatik, ya itu jelas-jelas sangat tidak menguntungkan Indonesia," ujarnya.

Akan lebih baik, kata Syamsuddin lagi, bila dukungan kelompok-kelompok itu ditujukan bagi komunitas Islam di Aceh yang saat ini masih menderita.
   
Namun, bila skala penyerbuan AS ke Afganistan terus meluas dan korban sipil terus berjatuhan, maka pemerintah bisa meningkatkan sikapnya ke tingkat "mengecam" kebijakan AS. Ambivalen

Secara terpisah, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, Pemerintah Indonesia bersikap ambivalen atas serangan Amerika Serikat terhadap Afganistan. Di satu sisi Pemerintah  mendukung tindakan pemberantasan terorisme, tetapi di sisi lain penyerangan AS terhadap Afganistan adalah bentuk lain dari terorisme.

"Kita sebetulnya mau mendiskusikan definisi terorisme yang dipahami pemerintah seperti apa? Apakah terorisme yang dilakukan negara (state) itu bukan bentuk terorisme juga. Itu mau kita pertanyakan," kata Koordinator Kontras Munarman, saat berdemonstrasi di depan Kantor Menko Politik dan Keamanan (Polkam) akhir pekan lalu.

Bersama puluhan aktivis sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Aliansi untuk Keadilan dan Perdamaian Dunia (AKPD), Kontras ingin bertemu dengan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, karena Yudhoyono sedang berada di Istana maka demonstran hanya berorasi dan menggelar spanduk di depan Kantor Menko Polkam.

Dalam pernyataannya, AKPD meminta Pemerintah Indonesia bersikap aktif dalam menciptakan perdamaian dunia, dengan bersikap tegas terhadap AS dan mengecam agresi militer AS terhadap Afganistan. Mereka juga meminta masyarakat mengambil sikap dan respons yang produktif terhadap agresi militer AS terhadap Afganistan, agar tidak terperangkap pada isu-isu rasial dan agama.

Kontras juga mempersoalkan pernyataan AS bahwa mereka akan mencairkan kerja sama militer Indonesia. "Kita khawatir itu digunakan pihak militer untuk merepresi, bukan hanya terhadap kelompok Islam, tetapi kelompok sipil lainnya. Makanya kami minta dibekukan bantuan itu," kata Munarman.(myr/bur)