KONTRAS ANCAM “DEWAN PENDIRI”

Jakarta, Kompas
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) meminta kelompok Mulyana W Kusuma yang menamakan diri "Badan Pendiri Kontras" mencabut ucapan yang dianggap merugikan organisasi Kontras dan Munir sebagai Ketua Dewan Pengurus. Bila tidak, dalam tempo tiga hari, kelompok Mulyana (11 orang) akan disomasi atau dilaporkan kepada polisi.

Demikian keterangan pers Ketua Presidium Kontras Ori Rahman bersama anggota Dewan Pendiri Kontras Ibrahim Zakir dan Ade Rostina Sitompul di Jakarta, Senin (12/11).    

Secara kelembagaan, kata Ori, kritikan kelompok 11 masih bisa mereka tolerir. Namun, ada dua hal yang terekam di media massa, telah membuat Kontras mendapat citra buruk dari masyarakat.    

"Dari 11 anggota kelompok itu, hanya Mulyana yang benar sebagai anggota Dewan Pendiri Kontras. Yang lainnya pernah ikut sebagai anggota Badan Pekerja. Namun, empat orang di antaranya tidak pernah bekerja di Kontras. Jadi, mereka tidak bisa mengatasnamakan Badan Pendiri," ujar Ori.

Pada keterangan pers kelompok Mulyana di Hotel Akasia Jakarta, 5 November lalu, Munir dianggap telah melanggar etika organisasi, komitmen politik, dan prosedur institusi. Munir dituding menggunakan Kontras sebagai kendaraan politiknya. (Kompas 6/11)

Pada bagian lain, anggota kelompok 11 yang antara lain Standarkiaa, Sirra Prayuna dan Happy Hendrawan (KIPP), serta Agus Edi Santoso (PIPHAM), mengatakan, Kontras tidak melakukan investigasi dalam kasus Poso. Kelompok 11 mengatakan, sudah mengingatkan Munir, namun tidak ditanggapi.

Berbuntut panjang
Salah satu keterangan tim 11 yang berbuntut panjang adalah tudingan penyimpangan dana yang diterima Munir dari Pemerintah Swedia sebanyak Rp 1,6 milyar. Dana itu seharusnya diberi kepada korban kekerasan atau penculikan, bukan dipakai untuk membangun rumah Munir di Malang. Dana itu dianggap tidak jelas pertanggungjawabannya.

Dari sebuah pemberitaan media, dugaan penyimpangan dana Rp 1,6 milyar itu telah membuat opini publik merugikan Munir. Munir dituding melakukan korupsi.

Kabarnya, berita tuduhan korupsi yang dilakukan Munir diperbanyak dan ditempelkan di dekat rumah Munir di Malang dan sejumlah tempat di Jakarta. Bahkan, seorang khatib shalat Jumat di sebuah masjid sempat mengungkapkan kekecewaannya terhadap Munir dalam khotbahnya.

Padahal, kata Ori, dana Pemerintah Swedia itu adalah hadiah untuk pribadi Munir yang memperoleh penghargaan Right Livelihood Award selaku pekerja hak asasi manusia (HAM). Jumlah yang diterima Munir juga tidak sampai Rp 1,6 milyar, melainkan 50.000 dollar AS (sekitar Rp 500 juta).

Ketika itu, kata Ori, Munir menyerahkan seluruh uang tersebut kepada organisasi Kontras. Namun, rapat badan pekerja memutuskan, Munir berhak mendapat Rp 145 juta. Uang itu akhirnya dipakai Munir untuk membangun rumah di Malang.

"Tujuannya, agar setelah keluar dari Kontras, Munir tidak sibuk
mencari uang buat rumah dengan menjadi penasihat hukum koruptor. Sebenarnya kalau dimakan sendiri sama Munir, dana itu tidak
masalah, karena itu memang haknya. Namun, dia tidak melakukannya.
Keterangan tim itu jelas menyesatkan," kata Ori. (sah)