KONTRAS DESAK PEMBENTUKAN KPP HAM KERUSUHAN MEI

Jakarta, Kompas
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM untuk mengungkap kerusuhan yang terjadi tanggal 13-15 Mei 1998. Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto mempercayai ada pelanggaran HAM berat dalam kerusuhan tersebut. Oleh karena itu, Djoko akan membawa desakan Kontras ke Rapat Pleno Komnas HAM.

Koordinator Kontras Ori Rahman dalam jumpa pers hari Selasa (19/2) di Jakarta, mendesak Komnas HAM agar pro-aktif mengungkap kerusuhan Mei. Menurut dia, Komnas HAM bisa mengadopsi hasil kesimpulan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) sebagai bahan masukan untuk kerja KPP HAM yang akan dibentuk.

Saat ini Komnas HAM sudah membentuk KPP HAM Trisakti dan Semanggi I-II. Namun, proses pemeriksaannya tersendat karena sejumlah personel TNI/ Polri tak mau memenuhi panggilan KPP HAM, dengan alasan DPR telah memutuskan bahwa kasus Trisakti dan Semanggi I-II bukan pelanggaran HAM berat.

Ori percaya, unsur pelanggaran HAM berat dalam kerusuhan Mei sudah sangat memadai. "Ada lebih dari 1.000 orang tewas. Ada penghilangan paksa. Ada perkosaan dan penganiayaan, terutama terhadap kelompok etnis Tionghoa," jelasnya.

Sampai sekarang pemerintah belum menjelaskan tentang tindak lanjut hasil kesimpulan TGPF. TGPF dibentuk oleh enam lembaga: Menteri Pertahanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dan Menteri Dalam Negeri.
 
Ke pleno
Menanggapi desakan Kontras, Djoko mengakui, "Sangat jelas ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut. Jumlah korbannya pun besar." Oleh karena itu, dia akan membawa usulan Kontras membentuk KPP Kerusuhan Mei ke rapat pleno.

Meski demikian, Djoko merujuk kontroversi antara TNI dan KPP HAM Trisakti dan Semanggi I-II khawatir.  KPP dimaksud bakal menemui nasib serupa karena terhambat kontroversi Pasal 43 Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyebutkan, Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. (2) Pengadilan HAM Ad Hoc sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.

"Faktanya, DPR (maksudnya Panitia Khusus DPR untuk kasus Trisakti dan Semanggi I-II- Red) tanpa penyelidikan bisa langsung memvonis tidak ada pelanggaran HAM berat dalam ketiga kasus tersebut. Lalu, bagaimana DPR sampai pada kesimpulan tersebut?" tutur Djoko.     Ia mengingatkan, DPR segera memperbaiki UU No 26/2000 agar pasal demi pasalnya tidak bisa lagi ditafsirkan lain. "Persoalannya harus jelas dulu. Sekarang, (maksudnya setelah munculnya kontroversi KPP
HAM Trisakti dan Semanggi I-II-Red), kita cuma bisa menunggu.Kita enggak bisa lagi pro-aktif proyustisia," ujarnya.

Hari Kamis ini, menurut rencana, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan memberi kepastian tentang permohonan panggilan paksa (subpoena) yang diajukan KPP HAM Trisakti dan Semanggi I-II.

Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Rusdy As’ad mengemukakan hal itu ketika menerima Sekretaris KPP HAM Usman Hamid dan anggota KPP HAM Dadan Umar Daihani dan Munarman di Jakarta, kemarin. "Insya Allah, hari Kamis pukul 11.00 kami sudah bisa memutuskan permohonan subpoena KPP HAM," tutur Rusdy yang didampingi panitera/sekretaris Sidabalok.

Dalam pertemuan tersebut Usman menyerahkan berkas yang diminta Rusdy dalam pertemuan Rabu pekan lalu. Rusdy minta Usman menunjukkan bukti surat pemanggilan pertama dan kedua yang ditujukan kepada sejumlah jenderal, berikut bukti tanda terimanya. (win/sah)