WARGA TETAP JADI KORBAN, KODAM ACEH PERLU DIPANTAU

Jakarta, Kompas
Berbagai insiden kekerasan yang menimbulkan korban masyarakat sipil ternyata tidak menurun dengan dibentuknya kembali Kodam Iskandar Muda di Aceh. Sejak Komando Daerah Militer (Kodam) Aceh diresmikan berdiri kembali 5 Februari, sampai 23 Februari lalu, sedikitnya 151 warga sipil tewas dalam insiden kekerasan yang melibatkan aparat TNI, Polri, Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maupun orang tidak dikenal. Karena itu, para anggota DPR dan DPRD, media massa, maupun masyarakat diharapkan aktif memantau perkembangan yang terjadi akibat pembentukan Kodam Aceh.

Demikian dikemukakan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Bustami Arifin kepada wartawan di sela-sela seminar tentang keberadaan Kodam Aceh di Jakarta, Selasa (26/2).

Menurut catatan Kontras, sejak pembentukan Kodam Aceh juga terjadi sejumlah kontak senjata antara TNI/Polri dan GAM yang menyebabkan empat anggota TNI dan 20 anggota GAM tewas. "Kami tidak mempersoalkan aparat keamanan ataupun GAM yang tewas akibat kontak-kontak senjata. Akan tetapi, kami sangat prihatin dengan terus jatuhnya korban masyarakat sipil yang jumlahnya jauh lebih banyak dari aparat maupun GAM," kata Bustami.

Sejak awal Januari hingga 4 Februari, menurut catatan Kontras, sejumlah 442 warga sipil tewas dalam berbagai insiden kekerasan bersenjata.

Menurut Bustami, pemantauan terhadap Kodam Aceh sangat perlu dilakukan untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM secara massif di Aceh sebagaimana pernah terjadi pada masa pemberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di daerah itu. Para wakil rakyat di Senayan yang tidak mempersoalkan pembentukan Kodam di Aceh harus mampu mengontrol Kodam supaya tidak melakukan tindakan represif terhadap rakyat sipil.

"Terlebih-lebih lagi anggota DPRD Aceh yang telah mengusulkan dan menyetujui pembentukan kembali Kodam Iskandar Muda," kata Bustami.

Ketua Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh Kautsar dalam seminar mengemukakan bahwa bagi rakyat Aceh untuk jangka pendek maupun menengah tidak ada soal besar berkaitan dengan pembentukan kembali Kodam Aceh. Bagi rakyat Aceh, kata Kautsar, ada tidaknya Kodam berakibat sama bagi mereka, yakni harus menghadapi represi dari aparat militer. Rakyat Aceh, menurut dia, menghadapi represi militer sebagai sebuah rutinitas. Perlawanan terhadap militer dilakukan oleh rakyat Aceh, baik pada masa penjajahan Belanda, Jepang, maupun pada masa kemerdekaan Indonesia.

Pembentukan Kodam Aceh, lanjut Kautsar, justru menjadi ancaman bagi sistem demokrasi yang ingin dibangun di Indonesia. Setelah Aceh, menurut Kautsar, bukan tidak mungkin akan disusul dengan pembentukan Kodam di daerah-daerah lainnya. Bila itu terjadi berarti akan terjadi penguatan peran militer dalam politik. (wis)