HAK ASASI MANUSIA TERSUBORDINASI PERSOALAN POLITIK

Jakarta, Kompas – Konflik elite politik yang mendominasi tahun 2001 sama sekali menutup peluang bagi penghormatan hak asasi manusia (HAM). Sebaliknya, kekerasan dalam berbagai bentuk yang mendegradasi harkat dan martabat manusia justru terus berlangsung. Kasus penculikan, pembunuhan, dan penghilangan secara paksa atas sejumlah korban tetap tidak dipertanggungjawabkan oleh pihak militer.

Demikian salah satu kesimpulan dalam buku "Stagnasi Hak Asasi Manusia, Laporan Tahunan Kondisi HAM di Indonesia Tahun 2001" yang diluncurkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) di Jakarta, Senin (11/3).

Kontras menyimpulkan bahwa tahun 2001 merupakan tahun stagnasi bagi penegakan hukum dan HAM. Tidak ada satu pun kasus yang berhasil diadili. Pengadilan HAM Tanjung Priok dan Timor Timur (Timtim) belum digelar. Sejumlah nama jenderal hilang dalam proses penyidikan. Rekomendasi DPR untuk Trisakti justru memanipulasi wewenang DPR untuk menyabot fungsi yudikatif. Undang-Undang (UU) Pengadilan HAM memunculkan multi-interpretasi.

Kontras juga mencatat sebanyak 1.039 korban penghilangan secara paksa termasuk aktivis penculikan prodemokrasi sama sekali tidak menjadi perhatian negara. Lembaga yang diharapkan seperti Komisi Nasional (Komnas) HAM pun tidak bisa diharapkan akibat konflik internal dan dominannya kekuatan status quo yang antireformasi.

Kesimpulan Kontras bahwa penegakan hukum dan HAM tahun 2001 stagnasi dipertanyakan pembicara dalam acara peluncuran buku itu, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Arbi Sanit. Menurut Arbi, keadaan HAM tahun 2001 tentunya harus dinyatakan lebih buruk karena hal itu terjadi dalam sebuah pemerintahan yang demokratis.

Menurut Arbi, kegagalan kehidupan politik dan kenegaraan melakukan tugasnya mengelola konflik secara langsung berakibat pada pelanggaran HAM. Sebab, konflik yang tidak terkelola berlanjut kepada pemaksaan dan kekerasan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lemah.

Kontras dalam laporan tahunannya juga menyoroti terjadinya teror terhadap pekerja hak asasi manusia. Tidak hanya berupa ancaman atau intimidasi biasa, namun telah mengarah pada kekerasan fisik. Peletakan bom di rumah Munir di Malang, penembakan mobil Johnson Panjaitan, pembunuhan terhadap Rektor Universitas Syiah Kuala Dayan Dawood dan pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluai.
    
Proyeksi
Untuk memperbaiki kondisi HAM pada tahun 2002, Kontras mengeluarkan sejumlah rekomendasi. Pertama, harus ada kontrol dan koreksi terhadap setiap proses pengambilan keputusan penanganan konflik baik vertikal maupun horizontal.

Kedua, usaha-usaha mengungkap kembali kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi harus terus dilakukan. Islah tidak dapat dipakai sebagai alternatif pola penyelesaian terhadap pelanggaran HAM masa lalu, karena islah yang dilakukan belum mengandung unsur pengakuan bersalah terhadap kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan dan belum ada upaya pengungkapan kebenaran atas kejahatan yang pernah dilakukan.

Ketiga, Kontras mendesak perlunya percepatan pemilihan anggota baru Komnas HAM yang lebih kredibel sebagai prasyarat bagi perbaikan kinerja lembaga dan kondisi HAM. Hal itu perlu segera dilakukan karena menurut Kontras ada upaya sistemik dari kekuatan pro-status quo yang cukup kuat yang kemudian memosisikan Komnas HAM sebagai bagian dari kerja impunitas. (Bdm)