PEMERINTAH BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP PERUSAKAN KANTOR KONTRAS

Jakarta, Kompas – Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim menyesalkan lambannya instansi pemerintah khususnya kepolisian menyikapi perusakan Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Selaku negara yang ikut membahas dan merumuskan Deklarasi Perlindungan Pekerja Hak Asasi Manusia (HAM), Pemerintah Indonesia bertanggung jawab melindungi pekerja HAM dan memberi iklim kondusif bagi penegakan HAM.

"Pemerintah kita terikat dengan Deklarasi Human Rights Defender yang disahkan Agustus 1998 di Geneva. Kalau tidak berbuat, maka pemerintah kita sudah melanggar kewajiban internasionalnya," ujar Ifdhal di Jakarta, Senin (18/3).

Kantor Kontras di Jakarta dirusak kelompok massa yang menamakan diri Solidaritas Keluarga Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Cawang. Akibatnya, kantor dan peralatan rusak, dua staf Kontras menderita luka-luka.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) caretaker Irianto Subiakto menyesalkan adanya statement instansi negara yang membenarkan perusakan Kantor Kontras Rabu pekan lalu karena dianggap bersifat diskriminatif. Pernyataan itu, kata dia, tidak bisa dijadikan dalil hukum, apalagi pembenaran.

"Perusakan Kantor Kontras adalah kejahatan dan teror terhadap pekerja HAM. Kalau tidak puas dengan kerja Kontras, silakan komplain, bukan dengan merusak. Katanya kita ini bangsa beradab, kok merusak," kecam Irianto.

Menurut Ifdhal dan Irianto, agar pemerintah tidak dituduh melanggar kewajiban internasionalnya, polisi harus melakukan pengusutan secara tuntas atas masalah itu. Jangan menunggu desakan atau tekanan masyarakat baru bekerja serius. Mekanisme hukum hendaknya berjalan tanpa didesak atau menunggu komplain masyarakat.

"Apa yang dialami Kontras ataupun lembaga HAM lain yang berhubungan dengan teror dan perusakan memang merupakan konsekuensi pekerjaan. Namun, bukan berarti negara tidak melakukan apa-apa," ujar Irianto.

Ifdhal menambahkan, seharusnya pemerintah bersyukur karena ada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang membantu usaha penegakan HAM. Mestinya negara merasa terbantu, bukan kemudian membenarkan Kontras dianggap diskriminatif.  "Sudah mau dibantu kok malah tidak memberi iklim kondusif untuk bekerja. Pemerintah memang kurang sungguh-sungguh memperhatikan HAM khususnya para pekerja HAM," ujar Ifdhal.
 
Pembiaran
Deddy Prihambudi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya melihat, pemerintah cenderung membiarkan kasus perusakan Kantor Kontras. Hal itu terbaca dari tidak adanya pengusutan secara saksama dan transparan terhadap kelompok pelaku perusakan. Pembiaran ini akan mendorong tindakan serupa terhadap lembaga-lembaga civil society. "Perusakan itu menimbulkan trauma di kalangan aktivis civil society. Kalau Munir saja bisa digitukan, apalagi yang lebih kecil," katanya.

Menurut Deddy, perusakan Kantor Kontras ini menunjukkan bahwa proyek kekerasan paham militerisme telah merasuk ke kalangan sipil. Friksi-friksi horizontal di kalangan sipil lantas diselesaikan dengan kekerasan. Hal serupa terjadi pada perusakan kantor surat kabar Radar Madura.

Anehnya, negara cenderung menempuh kebijakan membiarkan tingkah laku destruktif ini. Lihat saja, pengusutan terhadap perusakan Kantor Kontras tidak dilakukan secara saksama dan transparan. Perusakan Kantor Radar Madura juga tidak ada kelanjutannya.

"Pembiaran ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM. Negara tidak malu membiarkan berkembangnya alat-alat kekerasan di kalangan sipil seperti milisi. Ini menyaingi negara karena pada dasarnya yang berhak punya alat kekerasan itu hanya negara, yaitu kepolisian," kata alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang ini.    

Ia memprediksi, dengan kebijakan pembiaran ini maka alat-alat kekerasan di kalangan sipil akan semakin berkembang. Apalagi, masyarakat sipil gagal melakukan konsolidasi, sementara militer terus melakukan konsolidasi secara intens. "Yang kacau pula, justru ada kelompok sipil yang mendambakan beraliansi dengan militer untuk kepentingan sesaat," katanya.

Masyarakat sipil harus sadar bahwa jarum jam diputar balikkepada era yang penuh represi. Ia mencontohkan, muncul Rancangan Undang-Undang (RUU) Kerahasiaan Negara dan RUU Antiterorisme. Kedua RUU ini langsung meluncur di DPR dan dibahas bersamaan dengan RUU Kekebasan Memperoleh Informasi. RUU Kebebasan Memperoleh Informasi nanti bisa ditenggelamkan oleh pembahasan dua RUU yang datang belakangan.

Kalau pemerintah memang tidak menempuh kebijakan pembiaran terhadap kekerasan, kata Deddy lagi, maka kasus perusakan Kantor Kontras harus ditangani secara tuntas dan transparan. Pemerintah harus betul-betul serius menangani setiap kasus kekerasan.

Namun demikian, Deddy sendiri merasa pesimistis. "Lihat saja, walau Megawati menjadi Presiden, tetapi kasus perusakan Kantor DPP PDI (Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia-Red) tidak diusut secara jelas," katanya. (ANO/SAH)