Nurcholish Madjid: UNTUK DIPILIH JADI DPD, TNI HARUS PENSIUN DULU

Jakarta, Kompas
Cendekiawan Nurcholish Madjid berpendapat, ia dapat menolerir pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) mengenai hak memilih anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)/ Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Namun, untuk hak dipilih, jika anggota TNI/Polri itu akhirnya terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maka ia harus pensiun, bukan berhenti sementara.

Nurcholish Madjid mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan wartawan di sela-sela "Seminar Kursus Singkat Angkatan X Lembaga Ketahanan Nasional" di Jakarta, Selasa (18/6).   

"Hak memilih sebagai warga negara masih bisa ditolerir. Tetapi kalau hak dipilih, itu harus dilihat dulu, apakah masih dalam
uniform walau sementara dilepaskan, ataukah sudah tidak dalam uniform dalam arti pensiun permanen. Kalau pensiun permanen, tidak masalah. Kalau berhenti sementara, itu mengkhawatirkan sekali," kata Nurcholish Madjid.

Kekhawatiran tersebut didasarkan pada Pasal 24 RUU Pemilu Ayat (2) yang isinya, Calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan sementara dari statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, dan anggota Polri selama dalam jangka waktu pencalonan.    "Kalau saya seorang jenderal, untuk bisa dipilih, maka saya bisa pensiun sementara. Nanti kalau tidak dipilih, bisa kembali lagi. Maka, selama saya pensiun sementara, saya bisa bertindak sebagai
jenderal juga. Mindset itu masih melekat pada saya karena masih ada kaitannya dengan kemungkinan untuk kembali lagi ke ketentaraan," ujar Nurcholish.

Wartawan menanyakan pandangan Nurcholish mengenai TNI yang meminta waktu selama lima tahun atau lebih untuk mempersiapkan penataan ke dalam agar tidak mengganggu reformasi internal yang tengah dijalankan, ia menjawab bahwa hal itu adalah persoalan teknis, tawar-menawar. "Saya tidak banyak tahu karena itu masalah-masalah nuansa, bukan prinsip. Mungkin ada yang memandang itu prinsip, silakan. Saya kira itu lebih mirip dengan nuansa," katanya.

Soal hak memilih dan dipilih anggota TNI/Polri yang justru dikhawatirkan akan memecah belah TNI, menurut Nurcholish, kekhawatiran itu mungkin ada benarnya. Hak memilih dan dipilih bisa menjadi bersifat memecah belah anggota TNI/Pori satu sama lain dalam memperebutkan kursi. "Tapi kalau pensiun permanen, itu akan sangat mengurangi. Tapi kalau pensiun sementara, itu sangat berabe," ujar Nurcholish.

Lebih penting dari itu, katanya, TNI/Polri sendiri menghendaki apakah reposisi atau reformasi. Intinya bagaimana mengembalikan harga diri tentara yang hilang dengan memberikan kepada mereka jaminan hidup yang layak sampai kepada perlengkapan yang memadai, sebab perlengkapan mereka sekarang ini tidak memadai.

"Kalau orang punya rasa harga diri dan kehormatan, mereka akan menjadi tidak agresif. Sekarang ini mereka kehilangan itu akibat dari jatuhnya Pak Harto," tambah Nurcholish.    Senada dengan Nurcholish, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Ermaya Suradinata mengatakan, pada saat anggota TNI dipilih oleh
rakyat dan terpilih, maka ia harus keluar sebagai TNI aktif karena dia sebagai warga negara dan tidak mewakili TNI lagi.

Namun, Ermaya mengkritisi adanya pasal yang menyebutkan bahwa anggota TNI/Polri memiliki hak memilih dan dipilih dalam pemilu, hal itu sudah bertentangan dengan Ketetapan (Tap) No VII/MPR/2000. Jika pasal memilih dan dipilih anggota TNI/Polri digolkan oleh DPR, kata Ermaya, maka Tap MPR itu harus diperbaiki.

Diendapkan 7 tahun
Sementara itu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais mengharapkan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak tergesa-gesa mengambil keputusan berkaitan dengan hak untuk memilih dan dipilih bagi TNI/ Polri dalam RUU Pemilu. Hendaknya pengambilan keputusan dilakukan secara matang dan dipikirkan secara saksama.    

"Jangan sampai kita mengambil keputusan dan di kemudian hari baru disadari bahwa itu ternyata keliru," ungkap Amien kepada wartawan usai menghadiri upacara serah terima jabatan Panglima TNI dari Laksamana Widodo AS kepada Jenderal Endriartono Sutarto di halaman Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Se-lasa.    

Amien mengakui, terjadi kontradiksi antara Ketetapan MPR No VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dengan RUU Pemilu yang menyebutkan TNI/Polri berhak memilih dan dipilih pada pemilu. Di satu sisi, Tap tersebut masih berlaku dan belum pernah dicabut atau dibatalkan, sementara RUU Pemilu ini sangat penting dan merupakan langkah politik yang signifikan dan fundamental.

Menurut Amien, memang TNI/Polri memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Namun, yang membedakan adalah, TNI/Polri memiliki hak monopoli untuk memegang senjata.    

Sebaiknya, menurut Amien, rencana pemberian hak memilih dan dipilih bagi TNI/Polri diendapkan dulu hingga tahun 2009. Dengan demikian, masih ada keleluasaan menarik napas panjang untuk menyosialisasikan RUU tersebut. "Siapa tahu dalam tujuh tahun itu makin mengendap dan makin tersosialisasi sehingga ditemukan bagaimana sebaiknya," kata Amien.

Secara terpisah, Presidium Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ori Rahman mengatakan, rakyat Indonesia mesti mencermati usulan tentang hak memilih dan dipilih buat TNI/Polri. Kontras menganggap jawaban petinggi TNI yang menyebutkan TNI butuh waktu dan tidak bisa serta-merta menerima hak tersebut hanyalah kamuflase TNI agar tidak dicurigai rakyat, ketika mau masuk lagi dalam elite politik Indonesia. "Statement pejabat TNI itu adalah
cara-cara militer yang mau kembali dengan cara-cara elegan," ujar Ori.

Koordinator Kajian dan Monitoring Kontras Haris Azhar menambahkan, patut diduga Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno "ikut bermain" dalam klausul yang memberi hak memilih dan dipilih buat TNI/ Polri. Mengingat Hari adalah mantan perwira tinggi militer yang memiliki kaitan erat dengan TNI. (LOK/LAM/SAH)