MASYARAKAT BISA PERSOALKAN ANGGOTA KOMNAS HAM KE PTUN

Jakarta, Kompas – Masyarakat yang tidak bisa menerima pilihan anggota baru Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)-yang dilaksanakan Komisi II DPR-dimungkinkan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), setelah pilihan DPR ditetapkan. Sebab, DPR sebagai institusi bukan tak mungkin melakukan kesalahan, terutama karena memilih kembali anggota Komnas HAM yang sudah dua periode menjabat.

Demikian ditegaskan Direktur Eksekutif Institute for Policy and Community Development Studies (IPCOS) Dr Sutradara Gintings kepada Kompas di Jakarta, Kamis (11/7). "Harus diingat, Dewan bukan lembaga yang tidak mungkin melakukan kesalahan. Karena itu, rakyat bisa saja mengontrolnya, termasuk melakukan gugatan ke PTUN, jikalau keputusan DPR dinilai salah atau melanggar undang-undang (UU)," tandasnya.

Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut Komisi II DPR, yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon anggota Komnas HAM melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Alasannya, Komisi II DPR memilih anggota Komnas HAM yang sudah dua kali menjabat sebagai anggota baru. Padahal, UU HAM Pasal 83 Ayat (4) menegaskan, masa jabatan keanggotaan Komnas HAM lima tahun, dan dapat diangkat kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. (Kompas, 11/7)

Dari 23 anggota baru Komnas HAM yang dipilih Komisi II DPR, empat orang di antaranya oleh LBH Jakarta dinilai sudah dua periode menjabat sehingga seharusnya tidak bisa dipilih. Djoko Soegianto menjadi anggota Komnas HAM sejak tahun 1993 dan tahun 1998 terpilih kembali. Saafroeddin Bahar menjadi anggota Komnas HAM sejak tahun 1995 dan setelah lima tahun terpilih kembali. Koesparmono Irsan dan Samsudin terpilih sebagai anggota Komnas HAM pada November 1996 dan terpilih kembali setelah menjabat selama lima tahun.

Anggota Komisi II DPR Agun Gunandjar Sudarsa mengakui, periode keanggotaan Komnas HAM-berdasarkan Keppres-yang terakhir, adalah saat UU HAM berlaku. Tetapi, anggota Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) itu tidak sependapat, kalau Komisi II DPR dinilai melanggar UU No 39/1999. "Ini perbedaan interpretasi. Tetapi, anggota Komnas HAM (lama) yang terpilih kembali tidak dapat disebut sudah menjabat selama dua periode. Mereka harus dihitung baru satu periode sehingga DPR bisa memilih mereka kembali," tuturnya.

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), dan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) menilai rendah lima anggota lama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang terpilih kembali. Hal itu dikemukakan dalam jumpa pers hari Kamis di Jakarta.

Dengan skala angka 0-5-berasal dari lima parameter penilaian, yakni visi-misi, penguasaan dan pemahaman, komitmen, integritas moral, serta nonpartisan-kelima anggota lama tersebut menduduki posisi bawah dibanding 18 anggota lain. Samsudin menduduki posisi tertinggi di antara kelima orang lama tersebut dengan total angka 16, sementara mantan Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto mendapat posisi paling rendah dengan total nilai 8. Saafroeddin Bahar, Koesparmono
Irsan, dan Soelistyo Soegondo masing-masing mendapat angka 14, 13, dan 11.

Standar hasil akhir yang dapat dijadikan dasar penilaian layak atau tidaknya seorang calon, dibagi dalam tiga interval nilai, yaitu: tidak layak (0-20), boleh dipertimbangkan (21-25), dan layak (37-45). Wardah Hafidz, Todung Mulya Lubis, Hendardi, Zohra Andi Baso, dan HS Dillon-yang tidak terpilih sebagai anggota baru-mendapat angka tinggi, masing-masing 37, 36, 31, 37, dan 23.

Todung Mulya Lubis, yang gagal terpilih menjadi anggota Komnas HAM, menyatakan dirinya tak mempunyai kewajiban kepada publik untuk menjelaskan kegagalannya. Dari realitas politik, DPR merupakan satu-satunya "pintu masuk" untuk menjadi anggota Komnas HAM. Karena itu, kewajiban menjelaskan kepada publik itu berada di pundak Dewan. (tra/win)