Terdakwa Timbul Silaen: TANGGUNG JAWAB POLISI HINGGA PENENTUAN PENDAPAT

Jakarta, Kompas – Mantan Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Timor Timur (Timtim) Timbul Silaen, terdakwa dalam perkara pelanggaran HAM Timtim mengungkapkan, tanggung jawab keamanan selama masa penentuan pendapat di Timtim tahun 1999 berada di tangan kepolisian. Namun, setelah penentuan pendapat dengan kemenangan warga prokemerdekaan, tanggung jawab keamanan sudah tidak lagi di tangan polisi.

"Saya tidak mau menuduh siapa yang bertanggung jawab setelah pengumuman penentuan pendapat di Timtim. Secara politik Presiden BJ Habibie telah mempertanggungjawabkannya di depan MPR. Untuk mencari siapa yang bertanggung jawab secara hukum, silakan cari jawaban kepada penyidik," ujar Silaen dalam sidang di Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta yang dipimpin Hakim Andi Samsan Nganro, Jumat (19/7).

Sesuai dengan New York Agreement (kesepakatan New York yang sering disebut perjanjian Tripartit-Indonesia, Portugal, dan PBB), menurut Silaen, keamanan selama masa penentuan pendapat di Timtim berada di tangan kepolisian. Dia pun mengakui, pelaksanaan keamanan dan ketertiban masyarakat di lapangan menjadi tanggung jawab Kepala Polda Timtim.

Namun harus diingat, tugas khusus yang dibebankan kepada polisi sesuai dengan kesepakatan New York sudah selesai, bahkan dianggap sukses oleh perwakilan PBB. Jadi, begitu penentuan pendapat berakhir, polisi kembali lagi menjadi sub-ordinat dari sistem pengamanan Indonesia yang berada di tangan Angkatan Bersenjata RI. Silaen menambahkan, tragedi Timtim sebenarnya sudah diprediksi oleh penanggung jawab keamanan di level pusat. Hal itu dibuktikan dengan adanya contingency plan untuk mengantisipasi kejadian pascapenentuan pendapat yang diperhitungkan bakal rusuh.

Apa yang diprediksi itu ternyata benar-benar terjadi. Ketika pecah kerusuhan tanggal 5 September atau persis satu hari setelah pengumuman penentuan pendapat, komando keamanan-yang merupakan bagian contingency plan-langsung diambil alih oleh Panglima Komando Operasi (Pangkoops). Dalam rencana cadangan tersebut, kepolisian lebih memokuskan diri pada penyelamatan pengungsi dengan membentuk Operasi Hanoin Lorosae 2.

"Pangkoops yang dapat menggerakkan kekuatan laut, darat, dan udara. Saya hanya bisa menggerakkan Polres pada saat itu," kata Silaen.

Menjawab hakim, untuk peristiwa 6 April 1999 di Gereja Liquisa dan tanggal 17 April 1999 di kediaman Manuel Viegas Carascalao, Silaen mengatakan kepolisian sudah mengambil tindakan hukum terhadap tersangka pelaku. Bahkan Polda Timtim mengambil alih langsung penanganan perkara dan menahan tersangka di tahanan Polda di Dili.

Ketika sudah dilakukan pemberkasan dan berkas penyidikan siap diserahkan kepada kejaksaan, kondisi keamanan Timtim sudah tidak kondusif lagi. Kejaksaan dan pengadilan sudah tidak berfungsi karena personelnya sudah mengungsi lebih dulu. 

"Impunity"
Di tempat terpisah, Koalisi Pemantau Pengadilan HAM menilai, tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) kepada terdakwa- mantan Gubernur Timtim Abilio Jose Osorio Soares dan lima terdakwa mantan Bupati Kovalima Herman Sedyono Cs-cenderung coba melindungi pelaku yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat (impunity). Kedua, JPU tidak menguraikan pengertian unsur pelanggaran HAM berat dengan memuaskan.

"Unsur meluas atau sistematis yang perlu direkatkan dengan  penggalian fakta, tidak dilakukan JPU. Ketiga, kapasitas saksi ahli yang diajukan meragukan. Sama sekali tidak ada korelasi antara saksi ahli dengan eksplorasi terhadap saksi di pengadilan," ujar Ori Rachman dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Pertemuan Koalisi Pemantau Pengadilan HAM yang dihadiri Daniel Panjaitan dari LBH Jakarta, Jhonson Panjaitan (PBHI), dan Agung (Elsam) menyimpulkan, jaksa penuntut umum tidak berupaya maksimal menuntut pelaku. Dikhawatirkan, hal itu bakal mempermalukan sistem peradilan Indonesia secara keseluruhan. Jaksa penuntut dituding menjadi garda terdepan impunity secara spesifik dalam kasus itu. (SAH)