KONFLIK ACEH BISA BERUBAH MENJADI PERANG RAKYAT

Aceh bukanlah nama asing bagi masyarakat internasional. Apa yang terjadi di daerah Serambi Mekah selalu muncul di media massa mancanegara maupun laporan-laporan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Namun, berbagai kritik dan kecaman masyarakat internasional tetap tidak mengubah sikap Pemerintah RI. Ibarat anjing menggonggong, kafilah berlalu.

Lantas, sikap demikian pula yang menyebabkan konflik Aceh terus berlarut dan luka yang dirasakan masyarakat makin dalam. Persoalannya, motivasi atau kepentingan apa yang bersembunyi di balik konflik tersebut? 

International Crisis Group yang bermarkas di Brussel, menerbitkan laporan tanggal 12 Juni 2001. Di bawah judul Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace, laporan setebal 41 halaman ini melihat terkaitnya kepentingan ekonomi militer dengan berlarutnya konflik di Aceh. 

Lembaga pengkajian krisis internasional yang didanai George Soros ini menyebut, hampir tidak ada kontrak-kontrak di kawasan industri Aceh Utara, misalnya, yang tidak melibatkan militer. Dalam situasi mencekam seperti di Aceh, TNI maupun Polri amat sangat berkuasa bagi keamanan proyek dan keselamatan jiwa seseorang. 

Tidak heran jika bisnis keamanan merambah ke segala sektor dan menjadi sumber penghasilan bagi militer. Itu pula sebabnya selama petinggi TNI di Jakarta maupun daerah masih berkepentingan atas apa yang terjadi saat ini, sulit membayangkan dicapainya penyelesaian konflik Aceh secara permanen. 

Situasi demikian jelas bukan fenomena baru dan hanya terjadi di Indonesia. Banyak buku maupun artikel ilmiah yang membahas masalah ini. Termasuk tulisan Collier dan Hoeffler, The Economic and Political Motivation of Rebels (1998); Murdoch and Sandler, An Economic Approach to Analyzing Civil Wars  (2001); James Fearon dan David Laitin, Ethnicity, Insurgency, and Civil Wars (2001). Namun, yang lebih menarik adalah tulisan  Jeffrey Herbst, African Militaries
and Rebellion: The Political Economy of Threat and Combat Effectiveness, dan Jean-Paul Azam, Looting and Conflict Between Ethno-Regional Groups: Lessons from State Formation in Africa (2001). 

Singkatnya, konflik selalu cenderung lebih lama berakhir  di daerah-daerah yang kaya sumber alamnya. Kedua pihak yang bertikai memanfaatkan situasi demikian bagi kepentingan ekonominya. Hampir semua daerah konflik di Afrika, misalnya, berpusat di kawasan pertambangan permata, minyak, dan bahan-bahan alam lainnya. 

Maka tidak ada yang mengherankan jika sejak rezim Orde Baru hingga Megawati, bisnis keamanan telah menjadi tambang emas bagi mereka yang berurusan dalam konflik Aceh. Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh  tahun 2000 mengenai dana yang harus dikeluarkan ExxonMobil bagi pengamanan instalasi proyeknya, membuktikan hal ini. 

Sedikitnya, perusahaan ini mengeluarkan Rp 5 milyar/bulan selama periode 2000. LSM lainnya di Banda Aceh menyebut, angka tersebut belum mencakup transportasi pejabat-pejabat militer dari Jakarta-Medan-Lhok Seumawe, penginapan, uang saku, dan lain sebagainya. Tahun lalu anggaran ini diperkirakan meningkat 3-4 kali lipat setelah terjadi penambahan ribuan personel TNI. 

Penambahan personel  ini  terkait  dengan  eskalasi  bentrokan bersenjata antara TNI/ Polri dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada akhir tahun 2000 hingga pertengahan 2001. Akibat eskalasi itu pula, tahun lalu ExxonMobil memutuskan menghentikan produksinya selama empat bulan. Dalam situasi demikian, Cilangkap berhasil mendesak Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Inpres No IV/2001, yang menetapkan operasi militer terbatas di Aceh dan menyebut GAM sebagai gerakan separatis. 

Abdurrahman Wahid mungkin tak menyadari kata "terbatas" dalam operasi itu. Padahal, konsep militer tidak mengenal istilah demikian. Sekali operasi militer dilancarkan, ia akan berjalan menurut logikanya sendiri. 

***
 
Selain di industri gas, pupuk, kertas, dan konstruksi, bisnis jasa keamanan juga merambah ke sektor-sektor lain. Di level prajurit, jalan  raya  menjadi  sumber  keuangan.  Pungutan  liar  (pungli) merajalela. Pengemudi angkutan umum dan barang berulang kali melakukan aksi mogok.  

Kalau mau diurut ke belakang apa yang menjadi penyebab semua ini, barangkali ada benarnya laporan International Crisis Group, yang menyebut 70 persen anggaran operasi TNI harus dicari sendiri. Pemerintah hanya mampu menyediakan 30 persen. Selama mereka harus menutup kekurangan yang diakui pemerintah itu, selama itu pula penyimpangan akan terjadi. 

Kondisi Aceh sendiri tidak beda dengan hutan belantara, cocok untuk menjadi lahan ekonomi tersebut. Di sini hukum formal maupun peraturan pemerintah telah lama mati suri. Sekarang, hukum rimba menjadi acuan dalam menghadapi masalah. Di Aceh siapa saja boleh berbuat apa pun selama senjata berada di tangan. Penculikan, pembunuhan, penjarahan, dan perampasan kendaraan di jalan raya adalah lumrah. 

Mengenai siapa pelakunya, GAM dan TNI/Polri lebih kerap saling tuding ketimbang melakukan pengusutan. Tapi, awal tahun 2000, Poltabes Medan menangkap dua prajurit Kopassus di tempat terpisah. Mereka menjual mobil-mobil tanpa surat di Medan (Sumut). Kendaraan tersebut hasil rampasan di Aceh. 

Antara tahun 2000-2001, perampokan terhadap mobil kas BRI terjadi di mana-mana. Tidak satu pun pembegal yang bisa diciduk aparat. Kelompok bersenjata mengubah jalanan menjadi mirip film action. Penghadangan mobil kas BRI yang spektakuler terjadi akhir tahun 2000 di Aceh Tengah, dengan kerugian Rp 3,2 milyar. 

Laporan tebal Human Rights Watch, Indonesia: The War in Aceh, Agustus 2001, secara jelas mendeskripsikan keadaan tanpa hukum itu sejak periode Daerah Operasi Militer (DOM). Di sini tidak pernah terdengar pelaku kejahatan HAM diseret ke meja hijau. Kalaupun ada, seperti kasus pembantaian Teungku Bantaqiah dan santrinya, itu pun tidak sampai pada dalang utamanya. 

***
 
Konflik Aceh menyebabkan perekonomian rakyat babak belur. Kecamatan Tangse di Kabupaten Pidie yang tadinya dikenal kaya dan menjadi etalase pembangunan Aceh, berubah compang-camping. Tanaman kopi yang menjadi sumber nafkah terpaksa ditinggalkan begitu saja. Diperkirakan, 10.997 ha tanaman kopi ditelantarkan di Tangsee. (Serambi Indonesia, 24/7-2002) 

Sektor perdagangan juga ikut tersapu oleh badai kekerasan ini. Ribuan rumah, kios, dan ruko, hangus dilalap api dalam tiga tahun terakhir. Kantor-kantor pemerintah dan fasilitas umum lainnya juga menjadi arang akibat konflik bersenjata itu. 

Baru-baru ini, Amnesty International menerbitkan laporan yang mendesak Pemerintah RI menghentikan tindakan aparat keamanan yang kerap membakar ruko, kios, maupun rumah penduduk, sebagai tindak balas atas tewasnya rekan mereka. 

Dampak perang ini juga makin merembes pada kehidupan sehari-hari penduduk. Dari sekitar 4,2 juta penduduk Aceh saat ini, diperkirakan lebih separuh hidup melarat. Laporan terakhir menyebut, ribuan warga Kecamatan Geumpang dan Manee di pedalaman Kabupaten Pidie dilanda kelaparan. Mereka terpaksa makan ubi-ubian dan tanaman apa saja yang masih mungkin sekadar mengganjal perut agar tidak mati. (Serambi Indonesia, 23/7-2002). 

Di sini, tubuh anak dan bayi mengkerut dari hari ke hari. Makanan bergizi hanyalah suatu impian. Hampir semua penduduk dua kecamatan ini terpaksa menjadi pengangguran. Sebab, aktivitas di luar rumah dapat membahayakan keselamatan jiwa sejak silih bergantinya  operasi TNI/Polri dan GAM di Geumpang dan Manee.

Dua tahun lalu, Kepala Kanwil Depkes Aceh, dr Irhamsyah RB, mengungkapkan lebih 100.000 balita di daerah ini menderita kurang gizi dan busung lapar. Balita yang menderita itu hampir semuanya di daerah yang tinggi intensitas konfliknya (Gatra, 11/11-2000). Bisa dipastikan angka tersebut jauh lebih besar saat ini. 

Kalau  keadaan  ini  diterjemahkan  dalam  ekspor  nonmigas, gambarannya lebih nyata lagi. Tahun 1988, misalnya, ekspor nonmigas daerah ini mencapai 336 juta dollar AS. Tahun 1999 turun menjadi 325 juta dollar AS, dan turun lagi menjadi 270 juta dollar AS pada tahun berikutnya. Adapun tahun 2001 hanya tinggal 32 juta dollar, atau turun 82 persen. (Harian Analisa, 30/7-2002). 

Inilah dampak konflik bersenjata, hingga membuat Aceh  bukanlah tempat layak  dihuni mereka yang mendambakan kedamaian dan ketertiban. Di daerah ini tidak ada yang dapat menjamin keselamatan nyawa seseorang. Intrik  politik  lokal,  permainan  intelijen, kecemburuan, dendam, persaingan bisnis, dan lain sebagainya, menjadi setan pencabut nyawa. Inilah beban warga Aceh di dusun maupun di kota. 

***
 
Laporan Human Rights Watch bulan Agustus tahun lalu menyebut, GAM sendiri tidak selalu dapat mengendalikan komandan-komandan lapangan. Berita-berita di berbagai media lokal maupun nasional menyebut, sweeping yang dilakukan GAM di jalan raya, misalnya, kerap membawa korban jiwa maupun harta benda. 

Selain itu, GAM juga  dituding  melakukan  pungutan  secara berlebihan. GAM menyebutnya pajak nanggroe. Sejumlah pengusaha dikabarkan tewas akibat menolak menyetor pajak tersebut. Pungutan ini dilakukan di semua sektor, termasuk  ExxonMobil hingga penduduk desa. 

Menyangkut kemiskinan di pedesaan, GAM disebut ikut bertanggung jawab. Dana-dana pembangunan desa dari pemerintah daerah maupun pusat, sebagian besar jatuh ke tangan GAM. Panglima Kodam dan Kepala Polda Aceh berulang kali mengimbau agar hal itu jangan lagi berulang. Tapi, imbauan yang tidak diikuti dengan jaminan keamanan jiwa, jelas lebih berbahaya lagi. Buktinya banyak keuchik (kepala desa) tewas, tanpa jelas pelaku dan motifnya. 

Kini,  kedua  kelompok  yang  bertikai  dan   mengatasnamakan kepentingan rakyat, saling menggempur dan membebankan biayanya pada rakyat Aceh. Dalam konteks seperti ini, Jakarta kemudian akan menerapkan darurat sipil atau militer. Artinya, rakyat yang sudah lebih dari satu abad menderita akibat perang berkepanjangan akan menghadapi situasi militer yang lebih keras lagi. 

"Jakarta tidak akan pernah berhenti mengekspor kekerasan ke Aceh, kecuali jika daerah ini sudah menjadi kuburan massal," ujar Muharam, pimpinan LSM Pemraka di Banda Aceh.

Rasa sependeritaan dan sepenanggungan era DOM berlanjut terus hingga sekarang dalam kesadaran rakyat Aceh. Kesadaran inilah  yang kelak entransformasikan konflik Aceh menjadi perang rakyat semesta. Perlawanan sekarang adalah produk represi itu sendiri.

Itu sebabnya para aktivis LSM, ulama, maupun GAM mulai berani beda pendapat soal status Aceh dengan pimpinan di Swedia. Dengan kata lain, jika tadinya kelompok Swedia dipandang menganut garis keras dan menuntut merdeka, kini justru mereka yang berjuang di Aceh yang bergeming dari tuntutan demikian. 

Maka, apa yang terjadi di Aceh, persis seperti dikemukakan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais, yakni sama dengan pada saat awal kemerdekaan Indonesia. "Kala itu, kota-kota memang diduduki Belanda, tapi desa-desa milik Republik. Di Aceh sekarang ini mungkin di kota-kota memihak Republik, tapi desa-desa menjadi milik GAM." (Harian Analisa, 26/7-2002) (mt)