BANTUAN MILITER AS: UNTUK APA?

JANJI Pemerintah Amerika Serikat (AS) akan memberikan paket bantuan kerja sama militer sebesar 50 juta dollar AS lebih kepada Indonesia menimbulkan keresahan di kalangan aktivis gerakan sipil dan hak asasi manusia (HAM) di Tanah Air, khususnya di kalangan aktivis Aceh. Bantuan yang dijanjikan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Colin Powell sewaktu berkunjung ke Indonesia awal Agustus lalu kini makin konkret. Komandan Armada AS di Kawasan Pasifik Laksamana Thomas B Fargo menurut rencana pekan ini akan berada di Jakarta mendiskusikan lebih lanjut paket bantuan tersebut.

BUKAN hanya kami yang cemas, tetapi juga aktivis-aktivis lain di luar Aceh. Kami khawatir, bantuan militer itu pada akhirnya akan dipergunakan untuk menghadapi gerakan separatis dan masyarakat sipil di Papua, Aceh, maupun Maluku. Padahal proses dialog sedang terjadi," kata Faisal Saifuddin, Koordinator Sentral Informasi untuk Referendum Aceh (SIRA) di Jakarta, Rabu (14/8).

Kecemasan kalangan aktivis gerakan sipil dan HAM sempat diungkapkan dalam aksi demonstrasi di depan Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Jakarta pada saat Powell berkunjung ke Jakarta. Mereka yang terlibat di aksi tersebut antara lain organisasi nonpemerintah (ornop) seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid). Pada hari yang sama, bahkan, para aktivis Aceh di Jakarta juga mendatangi Kedubes AS.

Keresahan kalangan aktivis bukannya tanpa alasan. Pembekuan bantuan militer AS di Indonesia selama ini tidak ubahnya sebuah dukungan moral bagi para pejuang HAM di Tanah Air. Bantuan kerja sama militer itu bukan hanya dikhawatirkan akan menyebabkan terulangnya bentuk-bentuk pelanggaran HAM oleh aparat militer dan kepolisian di masa lalu, tetapi sekaligus menjadi legitimasi bahwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi tidak perlu dipersoalkan lagi.

"Bagi TNI dan Polri, bantuan ini akan memberikan legitimasi politik bahwa mereka telah diterima kembali, tidak terus-menerus diembargo, dan di kalangan luar reformasi TNI/Polri yang begitu lambat tidak dipersoalkan," kata Munir, anggota Presidium Kontras.

Kecemasan terhadap perubahan kebijakan luar negeri AS-yang memberikan kelonggaran kembali bantuan militer ke negara-negara lain, termasuk negara-negara yang memiliki rekor buruk dalam penegakan HAM dan demokrasi-tidak hanya terjadi di Indonesia. Apalagi pengalaman sebelumnya, seperti diungkapkan dalam Laporan Khusus tentang Bantuan Militer Asing AS yang dimuat dalam Foreign Policy in Focus mengungkapkan, 51 negara atau 38 persen dari total negara penerima bantuan Pendidikan dan Pelatihan Militer Internasional (International Military Education and Training/IMET) memiliki catatan yang buruk dalam penegakan HAM. Indonesia merupakan salah satu di antaranya.

***

SELAMA puluhan tahun Indonesia memiliki hubungan militer yang cukup erat dengan AS karena politik Indonesia yang antikomunis dan kebijakan luar negeri yang condong ke Barat. Sampai tahun 1990-an, Pemerintah AS secara terbuka memberikan pelatihan dan suplai senjata kepada militer Indonesia. Namun, hubungan yang mesra itu sekonyong-konyong retak, menyusul pembantaian warga sipil oleh aparat Indonesia pada peristiwa Santa Cruz di Timor Timur (Timtim) pada November 1991.

Hubungan militer itu makin memburuk, menyusul serangkaian peristiwa kekerasan dan pembumihangusan Timtim sesaat setelah penentuan pendapat soal nasib Timtim pada tahun 1999 yang mengundang kecaman keras terhadap pemerintahan Indonesia. Akibat peristiwa itu pemerintahan Bill Clinton melarang semua bentuk pelatihan militer maupun penjualan senjata kepada Indonesia. Larangan itu kemudian dikukuhkan oleh Kongres yang membatasi pelatihan kepada militer Indonesia di bawah payung IMET maupun bantuan keuangan kepada militer Indonesia sampai persyaratan untuk pemulihannya terpenuhi.

Menyusul peristiwa Santa Cruz, seluruh bantuan pendidikan militer ke Indonesia di bawah IMET dibekukan. Namun, pada tahun 1995 sejumlah dana untuk pelatihan dicairkan kembali di bawah program Extended-IMET. Akan tetapi, seperti ditulis dalam laporan Lora Lompe pada organisasi nonpemerintah internasional East Timor Action Network (ETAN) tahun 1998, selama tahun 1990-an Pentagon mengabaikan ketentuan Kongres, memberikan pelatihan perang gerilya kota,
pengamatan, keahlian penembak jitu (sniper), dan operasi psikologis melalui program pelatihan militer bersama, Joint Combined Exchange Training (JCET) kepada pasukan khusus Indonesia. Program ini dibekukan atas inisiatif anggota Kongres, Lane Evans.

Pemerintah Amerika Serikat memang sangat agresif dalam menebarkan pengaruhnya ke berbagai negara melalui bantuan dan kerja sama militer. Dalam beberapa tahun terakhir, militer AS melatih sekitar 100.000 personel militer asing tiap tahunnya. Pelatihan itu dilakukan paling tidak oleh 150 institusi dan dilakukan baik di AS maupun di 180 negara di segala penjuru dunia. Melalui pelatihan dan kerja sama militer, Pemerintah AS dapat terus memelihara hubungan dan pengaruhnya pada lembaga-lembaga militer dari berbagai negara.

Pelatihan dan kerja sama militer yang ditawarkan AS sering mendapatkan kritikan pedas, karena kekuatan militer asing yang dilatih justru digunakan oleh rezim di negara bersangkutan untuk melakukan represi terhadap gerakan-gerakan demokrasi yang mendukung perubahan secara damai. Keprihatinan terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan mitra militer AS mendorong Kongres menambahkan satu tujuan dalam program IMET, yakni meningkatkan kesadaran dan pemahaman
persoalan HAM. Akan tetapi, pelanggaran-pelanggaran HAM di negara-negara tersebut masih terus terjadi.

Pendidikan, pelatihan, dan kerja sama militer dengan AS di satu pihak membantu peningkatan profesionalisme militer dan kepolisian di negara-negara lain, termasuk menyebarkan ide-ide demokrasi dan HAM di kalangan mereka. Kenyataan yang terjadi sering justru sebaliknya. Baik di Indonesia, Kolumbia, maupun negara-negara lain di Afrika dan Asia, kekuatan-kekuatan yang telah dilatih dan dipersenjatai untuk melawan aksi-aksi pemberontakan justru menyebabkan kematian dan
penderitaan bagi masyarakat sipil.

Pakar Studi Pertahanan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Dr Edy Prasetyo, akibat embargo militer AS sejak tahun 1990 banyak perwira TNI dan Polri yang tidak dapat mengikuti pendidikan dan pelatihan di AS. Pengaruhnya saat ini sangat terasa. Banyak sekali perwira militer Indonesia saat ini yang tidak terbuka terhadap gagasan-gagasan besar pertahanan yang baru.

"Seperti memakai kacamata kuda, sangat konservatif. Berbeda dengan tentara dulu, banyak yang cukup brilyan," kata Edy yang sering terlibat dalam diskusi dengan para perwira TNI.

Penghentian program pendidikan dan pelatihan militer dari AS di satu segi merugikan dari segi keharusan untuk mendorong perubahan internal militer dan kepolisian Indonesia. Akan tetapi, di lain pihak, pemberian bantuan militer apalagi pemulihan kerja sama militer AS dengan Indonesia masih dibayang-bayangi kekhawatiran akan mengimbas pada menguatnya konservatisme TNI/Polri. Itu juga berarti tuntutan pengadilan bagi aparat TNI/Polri yang terlibat dalam pelanggaran HAM di masa lalu makin sulit dicapai.

***

PERISTIWA serangan teroris ke AS 11 September 2001 membawa perubahan yang besar pada pendekatan bantuan dan kerja sama militer AS. Seolah-olah masalah demokrasi dan HAM tidak menjadi penting lagi. Enam bulan setelah serangan itu Presiden George W Bush menyatakan kesiapan AS untuk membantu pelatihan militer dan hal-hal lain kepada pemerintahan di mana pun dalam kaitan perang melawan terorisme.

"Amerika mendorong dan mengharapkan pemerintah di negara mana pun bantu menghilangkan parasit teroris yang mengancam negaranya sendiri dan perdamaian dunia. Jika pemerintahan tersebut membutuhkan pelatihan dan sumber-sumber yang sesuai dengan komitmen ini, Amerika akan memberikan bantuan," kata Bush.

Perlakuan AS kepada militer Indonesia pun berubah cepat. Saat Presiden Megawati Soekarnoputri berkunjung ke AS, hanya sekitar seminggu setelah peristiwa penyerangan itu, pemerintahan Bush langsung menjanjikan untuk mencabut embargo penjualan senjata yang tidak mematikan ke Indonesia. Sementara, melalui program beasiswa pertahanan regional kontraterorisme, Regional Defence Counter-Terorrism Fellowship Program, menurut Koordinator Jaringan HAM
Indonesia di Washington Kurt Biddle, pemerintahan Bush bisa memberikan dana tambahan delapan juta dollar AS untuk meneliti, melatih, dan memberikan peralatan pada unit antiterorisme dan delapan juta dollar AS lainnya untuk militer Indonesia.

Menurut rilis Departemen Luar Negeri (Deplu) AS melalui Kedubes AS di Jakarta, program keamanan dan kontraterorisme jangka panjang yang ditawarkan bernilai lebih dari 50 juta dollar. Dana itu dipergunakan untuk peningkatan kemampuan polisi 47 juta dollar dan pelatihan militer empat juta dollar. Dana tersebut dialokasikan untuk pelatihan dan bantuan pada kepolisian sebesar 31 juta dollar pada tahun fiskal 2001-2003, tambahan peningkatan kemampuan polisi-
termasuk pembentukan unit polisi khusus kontraterorisme sebesar 16 juta dollar pada 2002.

Budget itu didistribusikan pula untuk beasiswa kontraterorisme regional sebesar empat juta dollar AS pada tahun 2002-2003 dan untuk pelatihan dan pendidikan militer sebesar 400.000 dollar pada tahun 2002.

"Indonesia, dan Jakarta khususnya, mengalami penderitaan akibat sejumlah teror bom dalam dua tahun terakhir," demikian bunyi rilis Deplu AS tertanggal 2 Agustus 2002.

Dalam versi aparat kepolisian dan militer Indonesia, teror bom itu dilakukan oleh orang-orang Aceh yang terkait dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menurut Munir, memang ada target politik domestik Pemerintah Indonesia untuk menyusupkan masalah Aceh dalam agenda perang melawan terorisme. "Konflik Aceh coba diinternasionalisasi dengan menyebut GAM sebagai teroris. Melawan GAM berarti melawan terorisme, sehingga kontrol terhadap masalah HAM tidak penting lagi,"
kata Munir.

Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Ikrar Nusa Bhakti, saat ini masih ada perbedaan persepsi antara AS dan Indonesia mengenai definisi terorisme. TNI/Polri ingin menyodorkan gerakan separatisme Aceh dan Papua sebagai terorisme, namun Pemerintah AS masih cenderung mengaitkannya dengan gerakan radikal yang terkait dengan jaringan Al Qaeda.

"TNI dan Polri enggan untuk memeriksa organisasi-organisasi tersebut. Bukan hanya karena mereka memiliki jaringan dan didukung oleh partai-partai politik, tetapi juga karena ada sejumlah mantan pejabat militer dan kepolisian yang terlibat dalam organisasi-organisasi itu," kata Ikrar.

Pernyataan Ikrar senada dengan laporan yang baru-baru ini dirilis oleh International Cricis Group yang berbasis di Brussel. Lembaga itu mengaitkan keberadaan sebuah kelompok radikal di Indonesia yang dituduh terkait dengan jaringan Al Qaeda dengan organisasi intelijen militer. Bila tuduhan ini benar, menjadi pertanyaan besar apakah bantuan militer yang akan diberikan Pemerintah AS kepada Indonesia akan tepat sasaran untuk memerangi terorisme. Bagaimana bila pelaku terorisme yang terjadi di Indonesia lebih condong pada aparat negara daripada para aktivis kelompok-kelompok radikal?

Munir menyatakan keraguannya, sejauh mana pelatihan-pelatihan dan bantuan kepada TNI/Polri untuk memerangi terorisme bisa dikontrol dan tidak ada jaminan akan pindah sasaran ke tempat lain. Apalagi dalam sistem anggaran militer di Indonesia, hanya 25 persen di antaranya yang dibiayai melalui anggaran negara sedangkan 75 persen lainnya dibiayai melalui bisnis legal maupun ilegal yang dilakukan militer.

"Peluang untuk dialihkan dan imbas ke tempat lain selalu bisa terjadi. Perang melawan terorisme ya, tetapi separatisme juga. Bantuan ini kurang mempertimbangkan kapasitas masyarakat sipil di Indonesia untuk mengontrol militer. Akibatnya, akan mempermudah otoritas militer menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang
membahayakan HAM," kata Munir.

Di ruang geraknya yang sempit, aktivis SIRA Faisal Saifuddin masih berharap akan ada kontrol agar bantuan militer AS 50 juta dollar untuk melawan terorisme tidak bocor untuk memerangi rakyat Aceh. "Saya berharap bantuan ini tidak berimbas pada rakyat Aceh. Bersama kawan-kawan NGO, dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya, kami akan mempertanyakan hal itu pada pihak Kedubes AS," kata Faisal. (P Bambang Wisudo)