AKTIVIS ACEH DITANGKAP, PROSES DAMAI RUSAK

Jakarta, Kompas
Tindakan jajaran Kepolisian Daerah (Polda) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menangkap 12 aktivis Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA) di Caleu, Kecamatan Indrajaya, Pidie, telah merusak proses damai yang dikembangkan pemerintah pusat terhadap rakyat Aceh. Tindakan polisi mengkriminalisasikan wacana rakyat Aceh justru akan memperbesar simpati kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Demikian pendapat Koordinator Presidium Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ori Rahman di Jakarta, Selasa (27/8).

"Sejak tanggal 19 Agustus, ke-12 aktivis tersebut masih berada dalam tahanan Polres Pidie dengan ketidakjelasan status. Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang membuktikan aparat kepolisian mengabaikan prinsip kerja dalam Kode Etik untuk Penegak Hukum yang harusnya menghormati dan melindungi harkat dan martabat manusia serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM)," ujar Ori.

Tindakan sewenang-wenang aparat kepolisian, menangkap dan menahan orang tanpa tolok ukur hukum yang jelas, tambah Ori, masih memakai pola era Orde Baru, terutama resistensi terhadap mahasiswa dan kelompok kritis lainnya. Kepolisian Daerah di Aceh, lanjutnya, seharusnya paham bahwa mereka menghadapi masyarakat yang berada dalam kondisi "tidak normal". Jika pandangan curiga terus dikedepankan, maka langkah dialog yang dibina pemerintah pusat tidak akan ada artinya.

"Selama aparat terus melakukan pendekatan curiga, maka anggota kelompok GAM akan terus bertambah," kata Ori lagi.

Tentang penangkapan 12 aktivis FPDRA, Kontras berpendapat bahwa kepolisian telah melanggar prosedur penangkapan dan penahanan seperti diatur dalam Pasal 18, 19, dan 21 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tindakan itu dapat dikategorikan sebagai penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arrest and arbitary detention).

Penangkapan dan penahanan dengan alasan ditemukannya newsletter dalam tas salah seorang aktivis, menurut Ori, adalah bentuk pelanggaran HAM. Hal itu tertuang Pasal 14 Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, di mana Pasal (1)-nya menyebutkan, Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Pasal (2)-nya berbunyi, Setiap orang berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. (sah)