Dr Leo Suryadinata: UU ANTITERORISME BELUM TENTU PERBAIKI HUBUNGAN INDONESIA

Jakarta, Kompas
Peneliti senior pada Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura Prof Dr Leo Suryadinata mengakui, pembuatan Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Antiterorisme)-kini masih berupa rancangan undang-undang (RUU)-tidak serta merta memperbaiki hubungan Indonesia dengan negara tetangganya, khususnya dengan Malaysia dan Singapura. Sebab, berbagai negara akan melihat sejauh mana Indonesia melaksanakan ketentuan dalam UU Antiterorisme yang dibuatnya tersebut.

"Apabila hanya membuat UU Antiterorisme, apa cukup? Pasti orang akan melihat pelaksanaan UU itu. Jadi, tidak serta merta hubungan Indonesia dengan negara tetangganya akan lebih baik, kalau sudah ada UU Antiterorisme. Hubungan baik itu juga tergantung pada perilaku politik elite di Indonesia," ujar Suryadinata kepada wartawan, Rabu (9/10) di Jakarta.

Suryadinata mengingatkan, hampir seluruh negara mengakui bahaya terorisme. Dengan membuat UU Antiterorisme, Indonesia mengakui pula tingginya ancaman terorisme itu, walaupun bukan berarti harus menempatkan terorisme sebagai prioritas tinggi yang harus ditangani. Terorisme tetap harus dihadapi secara wajar. Karena itu, yang sangat penting dalam UU Antiterorisme adalah memberi definisi yang amat jelas mengenai apa itu terorisme.
 
Kebutuhan Indonesia
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Presidium Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ori Rahman mengemukakan, RUU Antiterorisme harus ditempatkan sebagai kebutuhan Indonesia sebagai sebuah bangsa daripada untuk kepentingan luar negeri, khususnya Amerika Serikat yang tengah gencar mengampanyekan perang melawan terorisme. Oleh karena itu, ia meminta kepada pemerintah dan DPR untuk tidak buru-buru membahas RUU itu dan harus ada cukup waktu bagi masyarakat untuk memberikan masukan.

Ori menilai, sekalipun RUU yang akan diajukan pemerintah telah mengakomodir penghormatan pada hak asasi manusia (HAM) dan prosedur pemeriksaannya mengikuti ketentuan undang-undang yang berlaku, tetapi RUU tersebut masih mengandung banyak kelemahan. Menurut Ori, lembaga yang menentukan suatu perbuatan dikategorikan dalam kegiatan teroris atau bukan tidak bisa diserahkan kepada aparat negara. Lembaga tersebut harus melibatkan unsur-unsur masyarakat yang independen agar pelaksanaan UU Antiterorisme tidak disimpangkan untuk kepentingan pemerintah mempertahankan kekuasaannya.

Menurut Ori, RUU Antiterorisme sebenarnya tidak diperlukan bila aparat penegak hukum meningkatkan kinerjanya. Yang diperlukan, lanjut Ori, justru RUU Intelijen yang mengarahkan kegiatan intelijen untuk melindungi kepentingan masyarakat. "Terorisme bisa terjadi karena kelemahan intelijen, distribusi bahan peledak tak terkontrol, dan aparat penegak hukum lemah," papar Ori.

Wakil Direktur Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Surya Tjandra mengemukakan, penolakannya terhadap RUU Antiterorisme karena RUU tersebut lebih merupakan kepentingan luar daripada kepentingan riil Indonesia. RUU Antiterorisme akan memberikan kekuatan lebih pada elemen-elemen represif negara. Sikap itu, kata Surya, ambivalen karena di lain pihak negara justru dilemahkan akibat kepentingan kapitalisme global. 

"Ini bahaya ganda RUU Antiterorisme," kata Surya.

Ia mengemukakan, RUU Antiterorisme tidak bisa dimungkiri lebih merupakan kepentingan Amerika Serikat (AS) daripada kepentingan dalam negeri Indonesia. Itu sangat jelas, karena selama ini Indonesia tidak pernah berbicara tentang RUU Antiterorisme tetapi setelah serangan 11 September ke WTC dan perang melawan terorisme gencar dikampanyekan AS, pemerintah mengajukan RUU tersebut. (wis/tra)