KSAD: JARINGAN INTELIJEN RI PORAK-PORANDA

Jakarta, Kompas
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu mengemukakan bahwa jaringan intelijen Indonesia saat ini porak-poranda. Upaya pelumpuhan intelijen itu dilakukan oleh pihak dari luar yang punya kepentingan mengacaukan Indonesia.

"Kalau mau merusak negara tertentu, rusakkan dulu tentaranya. Untuk merusak tentara, rusakkan dulu intelijennya. Kalau intelijen sudah lumpuh, maka negara itu akan kacau. Kita sudah pada tahap intelijen yang sedang dilumpuhkan," kata Ryamizard, Selasa (15/10), di Daerah Latihan Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) di Desa Cibenda, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Ryamizard bersama Panglima Kostrad Letjen Bibit Waluyo berada di kawasan yang dikenal sebagai Bukit Cakra dalam rangka kegiatan Latihan Tempur Batalyon Kavaleri (Yonkav) Tank-1/Kostrad. Latihan "batalyon tank dalam serangan" yang baru pertama kali diadakan di Indonesia itu disaksikan Presiden Megawati Soekarnoputri, Menteri Pertahanan (Menhan) Matori Abdul Djalil, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Bernard Kent Sondakh, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Chappy Hakim, serta atase pertahanan negara-negara ASEAN.

Menurut Ryamizard, menghadapi kondisi tersebut, intelijen Indonesia perlu segera dibenahi. Pembenahan dilakukan dengan membangun kembali jaringan yang selama ini rusak. "Jaring-jaring itu tidak bisa dibuat sendiri-sendiri. Polisi buat jaringan sendiri, tentara juga buat. Akibatnya, begitu terjadi sesuatu, baru semua
sibuk mencari-cari siapa pelakunya," papar Ryamizard.

Secara khusus untuk jajaran TNI AD, KSAD telah menginstruksikan kepada seluruh panglima kodam untuk secara aktif membangun jaringan intelijen, secara perseorangan maupun dengan melibatkan masyarakat. KSAD juga meminta agar masyarakat turut mendukung TNI dan tidak terpengaruh oleh pihak-pihak yang sengaja menjelek-jelekkan TNI.

"Tentara jangan lagi diikat-ikat terus, yang dapat berakibat tidak bisa berbuat maksimal. Kalau dulu, tentara ditekan terus karena ikut-ikutan berpolitik. Sekarang tidak berpolitik lagi, tidak usah diikat-ikat lagi," ujar Ryamizard.
 
Koordinasi
Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan KSAD tidak mengakui bahwa kerusakan jaringan intelijen disebabkan oleh melemahnya koordinasi antarunsur intelijen, terutama setelah pemisahan TNI dan Polri.

"Selama ini koordinasi tetap ada. Sudah banyak kasus yang dapat diungkap secara bersama-sama, akan tetapi dengan suatu koordinasi yang lebih baik dengan seluruh unsur intelijen, kinerjanya dapat ditingkatkan," kata Endriartono. "Koordinasi sudah bagus. Cuma karena jaring-jaringnya dirusak, begini akibatnya," ucap Ryamizard.

Sementara Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil berpendapat lain. Menurut Matori, sulitnya mengantisipasi segala kemungkinan aksi teror antara lain disebabkan oleh pemisahan TNI dan Polri. "Pemisahan tersebut menyerahkan tugas keamanan dalam negeri kepada polisi. Sementara polisi terbiasa menangani kasus dimulai dari TKP (tempat kejadian perkara). Artinya, sesuatu terjadi lebih dahulu baru dilakukan penyelidikan," ujarnya.

Padahal, kata Matori, untuk menghadapi terorisme dibutuhkan langkah antisipasi, deteksi dini berdasarkan data-data intelijen yang telah dihimpun. Ia menambahkan, langkah pencegahan membutuhkan intelijen yang akurat, karena itu intelijen harus hebat dengan dukungan peralatan yang canggih.
 
UU Intelijen
Ditanya tentang peningkatan kemampuan intelijen, Ketua Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ibrahim Ambong mengatakan, untuk jangka pendek, yang seharusnya bisa mengoordinasikan komunitas intelijen adalah Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam).

"Antara Badan Intelijen Negara (BIN), intelijen polisi, dan Badan Intelijen Strategis (Bais) Tentara Nasional Indonesia (TNI), input yang kami terima laporannya kadang-kadang berbeda," tuturnya.

Menurut Ambong, Menko Polkam dengan kebijakannya dapat membuat apakah koordinasi intelijen itu menjadi struktural atau tidak, karena alirannya sudah jelas, yaitu menunggu koordinasi Menko Polkam. "Kalau koordinasi tidak jalan, baru bisa dibentuk badan baru," katanya.

Dalam jangka panjang, menurut Ambong, bisa saja dibuat suatu UU tentang Intelijen. "Itu juga pernah diangkat Pak Hendropriyono (Kepala BIN) agar dibuat UU tentang Intelijen atau UU Kerahasiaan Negara. Saya belum menangkap gambarannya, tetapi ada keinginan untuk itu," tuturnya.

Di hari yang sama, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Antiterorisme karena diduga akan kembali menjadi sumber otoritarianisme rezim. Kontras berpendapat, lebih baik pemerintah dan parlemen menyiapkan Undang-Undang Intelijen yang bisa mendorong lembaga intelijen nasional makin kuat, terutama menghadapi terorisme.

Koordinator Kontras Ori Rahman dalam acara jumpa pers, Selasa, mengatakan, publik masih trauma menghadapi sepak terjang aparat keamanan yang dengan alasan kerja intelijen meniadakan hak-hak sipil, bahkan melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

"Lebih baik tingkatkan kemampuan sikap tanggap aparat, serta kontrol publik terhadap aparat lewat UU Intelijen," ucap Ori.

Dia berpendapat, lewat UU Intelijen bisa dihapus hambatan kerja sama atau tugas tumpang tindih antara kerja intelijen TNI dan Polri. Ada mekanisme kontrol atau audit tertentu menyangkut distribusi bahan peledak.

"Pendek kata, lewat UU Intelijen, TNI dan Polri mampu melakukan upaya preventif terhadap terorisme dan tindak kekerasan. Beda dengan RUU Terorisme yang sifatnya lebih reaktif, ada kejadian dulu baru berlaku sejumlah ketentuan dalam UU tersebut," tuturnya.

Menurut Ori, Indonesia sudah memiliki UU Darurat tahun 1951 tentang Bahan Peledak dan Senjata Api. "Jadi tak perlu lagi ada UU Antiterorisme atau perpunya," ujar Ori. (lam/bur/win)