DITANDATANGANI, 2 PERPU ANTITERORISME

Jakarta, Kompas
Presiden Megawati Soekarnoputri, Jumat (18/10) malam, menandatangani dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang telah dibahas dalam rapat terbatas kabinet sore dan malam. Kedua Perpu itu adalah Perpu tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu Antiterorisme) dan Perpu tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 untuk Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Para Pelaku Peristiwa Peledakan Bom di Bali. Perpu diberlakukan surut untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus peledakan bom di Bali.

Pengumuman pemerintah tentang pemberlakuan Perpu itu disampaikan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra di Istana Negara, Sabtu pukul 00.30. Kewenangan pemerintah menerbitkan Perpu didasarkan pada Pasal 22 UUD 1945.

Dalam keterangannya, Yusril menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah-langkah untuk memerangi terorisme. Berdasarkan beberapa kasus yang terungkap, terorisme adalah tindak pidana lintas negara dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary-crime) atau juga disebut kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity).

Yusril mengatakan, pemerintah menyadari norma-norma hukum seperti KUHP dan UU No 12/1951 tentang Senjata Api tidak lagi memadai untuk memberantas kejahatan terorisme yang merupakan tindak pidana luar biasa. KUHAP pun tidak memadai sehingga harus ada hukum acara tersendiri.

Sedianya, menurut Yusril, pemerintah akan mengajukan RUU Antiterorisme kepada DPR. Namun, terjadinya peledakan bom di Bali membuat pemerintah harus mengeluarkan Perpu Antiterorisme untuk mendapatkan landasan hukum yang kokoh. Dengan adanya ledakan bom tersebut dan adanya Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB, maka unsur kegentingan memaksa yang menjadi prasyarat diterbitkannya Perpu telah dipenuhi.

Ditetapkannya dua Perpu dalam waktu yang sama, menurut Yusril, adalah lazim. "Itu adalah wujud kehatian-hatian pemerintah untuk memberlakukan asas retroaktif (berlaku surut-Red)," kata Yusril. Pada dasarnya, menurut Yusril, Perpu tidak dapat diberlakukan surut. "Akan tetapi, karena korban jiwa sangat besar dan terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa sekaligus merupakan kejahatan kemanusiaan, maka demi keadilan dan pertimbangan-pertimbangan lain, Perpu itu
diberlakusurutkan," kata Yusril.

Namun, pemberlakuan surut itu hanya terbatas untuk penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus bom di Bali. Sedangkan kasus-kasus peledakan bom lainnya tetap diberlakukan KUHP atau UU No 12/1951.

Dalam penanganan terorisme, menurut Yusril, rapat kabinet memutuskan untuk tidak perlu membentuk badan baru.

Yusril juga menegaskan, Perpu itu diberlakukan kepada siapa saja. "Dan sama sekali tidak diarahkan kepada kelompok Islam garis keras, misalnya," kata Yusril.

Dibahas di rapat kabinet
Dari pukul 16.00 hingga 19.00, Presiden Megawati Soekarnoputri bersama Wapres Hamzah Haz memimpin rapat kabinet terbatas untuk membahas substansi Perpu Antiterorisme yang pada hari Kamis telah mendapatkan dukungan DPR. Turut hadir Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, Menko Kesra Jusuf Kalla, Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Mendagri Hari Sabarno, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar, Jaksa Agung MA Rachman, dan Sekretaris Negara Bambang Kesowo.

Dalam rapat itu terdapat masukan-masukan dari berbagai pihak sehingga draf Perpu masih perlu disempurnakan. Penyempurnaan finalisasi draf Perpu tersebut dilakukan Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusril Ihza Mahendra bersama Sekretaris Negara Bambang Kesowo di Kantor Sekretaris Negara. Menurut Yusril, substansi kedua Perpu itu akan diumumkan Sabtu pukul 21.30. Soal keterlambatan dalam pengumuman, Yusril mengatakan, itu hanya karena masalah teknis.

Satukan pendapat
Sementara dalam kesempatan lain di Istana Negara, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto membantah jika kehadiran Perpu itu dinilai akan mengembalikan kekuasaan TNI. "Tidak begitu. Jadi, begini. Kita lihat sekarang nuansanya sudah jauh berbeda dibanding zaman dulu. Dulu itu, kalau TNI mengatakan dua ditambah dua sama dengan lima, yang mengatakan dua tambah dua sama dengan empat, minta maaf. Mereka merasa bersalah. Situasi sekarang kan tidak begitu.
Kalau TNI sekarang mengatakan dua tambah dua sama dengan empat saja, barangkali menjadi salah," kata Sutarto.

Panglima TNI menegaskan, tidak bisa melihat keberadaan Perpu dengan kacamata situasi masa lalu. "Saya kira bagaimana kinerja dari apa yang ada di negara kita bisa ditingkatkan dengan melakukan koordinasi yang mantap, dan penyatuan dari unsur yang ada untuk memecahkan masalah. Sekarang parlemen jauh lebih kuat dari eksekutif. Situasi seperti itu hendaknya tidak lagi disesuaikan dengan masa lalu yang eksekutifnya demikian kuat. TNI hanya bagian kecil dari Perpu itu," katanya.

Menurut Sutarto, Perpu hanya memberikan kewenangan bagi aparat penegak hukum untuk melakukan langkah-langkah yang belum terwadahi dalam KUHP. "Jadi, itu tidak ada hubungan sama sekali dengan TNI. TNI hanya tetap menjadi bagian kecil dari aparat keamanan," katanya.

Sutarto juga mengatakan, peledakan bom di Bali mestinya bisa menyatukan pendapat seluruh komponen bangsa agar hal itu tidak terjadi lagi.

Dalam jumpa pers terpisah, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) Moh Mahfud MD di Kantor DPP PKB Kuningan menyatakan, DPP PKB mendukung sepenuhnya diterbitkannya Perpu Antiterorisme karena selama ini aparat selalu tidak punya dasar hukum untuk melakukan tindakan-tindakan khusus. PKB mendukung agar Perpu ini digunakan secara efektif segera untuk menghentikan tindakan teror serta mengantisipasi munculnya teror-teror baru dan menyelesaikan kasus-kasus yang sudah telanjur terjadi (retroaktif).

"Tetapi Perpu ini harus berlaku bagi siapa pun. Tidak boleh diartikan sebagai alat untuk menekan kelompok tertentu seperti kelompok Islam garis keras," kata Mahfud, didampingi Wakil Sekretaris Jenderal Abdullah Azwar Anas.

Tak perlu persetujuan
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang Prof A Mukthie Fadjar SH mengatakan, proses penyusunan Perpu Antiterorisme menggunakan logika yang salah. Terlihat dari langkah pemerintah yang meminta persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Perpu itu diterbitkan karena situasi yang mendesak. Sementara kalau menunggu undang-undang dibutuhkan waktu lama. Dengan demikian Perpu itu mestinya tidak perlu meminta persetujuan DPR. Kalau meminta persetujuan DPR justru menunjukkan logika yang digunakan salah," katanya kepada Kompas di Malang, Jumat.

Menurut adik kandung Mendiknas A Malik Fadjar ini, Perpu itu subyektif pemerintah. Baru setelah paling lama setahun Perpu itu dilaksanakan, pemerintah harus meminta persetujuan DPR untuk dijadikan undang-undang.

Anggota presidium Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir menyatakan kekhawatirannya terhadap penerbitan Perpu Antiterorisme sebagai respons terhadap serangan bom di Bali baru-baru ini.

Munir berpendapat, kehadiran Perpu Antiterorisme akan mengubah basis prinsip bernegara secara mendasar. Fungsi-fungsi konsultasi publik akan diganti dengan intelijen. Fungsi intelijen akan segera mengambil alih fungsi kontrol publik. Yang kemudian menjadi soal adalah bagaimana negara yang dibangun di atas dasar intelijen yang kuat sekaligus memungkinkan fungsi konsultasi publik berjalan.

"Ini yang selama ini berjalan," kata Munir.
Menurut Munir, Perpu Antiterorisme tidak hanya akan membatasi hak-hak masyarakat sipil, seperti memberikan kewenangan aparatur negara untuk menyadap telepon, tetapi juga akan mengubah struktur peradilan. Mekanisme pre-trial yang diintrodusir dalam RUU Antiterorisme diambil dari peradilan Anglo-Saxon dengan menggunakan sistem juri yang melibatkan elemen-elemen masyarakat. Sistem peradilan yang dianut di Indonesia adalah peradilan kontinental.

Secara terpisah praktisi hukum Bambang Widjojanto mengungkapkan, tindakan mengeluarkan Perpu Antiterorisme membuat pemerintah sekarang ini berada pada titik misleading. Kesan umum yang ditangkap seolah-olah pemerintah ingin mengatakan bahwa Perpu Antiterorisme adalah jawaban satu-satunya terhadap kasus teror, khususnya yang terjadi di Bali.

"Problematika yang dihadapi pemerintah kita sekarang ini adalah pada kemampuan aparat dan performance-nya, bukan pada produk peraturan perundang-undangan. Sudah banyak bukti bahwa produksi undang-undang justru tidak menuntaskan persoalan. (ely/osd/ano/sah/wis/mba/bur/bdm)