HAKIM BISA TOLAK LAPORAN INTELIJEN

Jakarta, Kompas
Ketua Pengadilan Negeri/Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) bisa menolak laporan intelijen yang dimintakan penyidik untuk bisa ditetapkan sebagai bukti permulaan yang cukup. Sekalipun dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tidak diatur mengenai mekanisme penolakan hakim terhadap permohonan penetapan laporan intelijen sebagai bukti awal, hakim tetap bisa menolak dengan menjelaskan alasan penolakannya.

Hal itu dikatakan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan di Jakarta, Rabu (23/10). Ia mengatakan, hakim hanya sebagai pelaksana dari Perpu Antiterorisme. "Hakim itu kan tugasnya melaksanakan peraturan. Jadi, bila ada peraturannya, ya tinggal kita laksanakan. Saat ini kami sedang menyiapkan semacam petunjuk untuk melaksanakan perpu tersebut," paparnya di Jakarta, Rabu.

Berdasarkan Perpu No 1/ 2002, penyidik dapat menggunakan laporan intelijen untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup. Namun, untuk bisa dianggap memenuhi kriteria bukti permulaan yang cukup, laporan intelijen itu harus diperiksa oleh ketua PN/wakil ketua PN. Pemeriksaan dilakukan tertutup selama paling lama tiga hari. Jika hakim menetapkan ada bukti permulaan yang cukup, maka ketua PN segera memerintahkan penyidikan.

Bagir juga menjelaskan, hari Senin malam pekan depan, seluruh ketua/wakil ketua PN di seluruh Jakarta dan sekitarnya akan dikumpulkan. Mereka akan diberi penjelasan mengenai Perpu No 1/2002 secara detail oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia maupun pejabat lain yang terkait dengan penyusunan perpu tersebut. Dengan demikian, mereka pun siap untuk melaksanakan Perpu Antiterorisme tersebut.
 
"Judicial review"
Dalam jumpa pers terpisah hari Rabu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan akan mengajukan gugatan Judicial & Political Review ke MA dan DPR terhadap Perpu No 1/2002 tentang Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No 2/2002 tentang Pemberlakuan Perpu No 1/2002 pada Peristiwa Peledakan Bom Bali, 12 Oktober 2002.

Kontras berpendapat, kedua perpu bertentangan dengan demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan konstitusi. "Oleh karena bertentangan dengan konstitusi-dalam hal ini Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28I, maka Kontras akan mengajukan gugatan Judicial Review ke MA atas gugatan political review ke DPR," kata Ketua Kontras Ori Rahman.

Pasal 28I menyebutkan, Hak untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran hati nurani, beragama, tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. (win/tra)