PARADIGMA BARU TNI MASIH JAUH DARI HARAPAN

Jakarta, Kompas
Paradigma baru Tentara Nasional Indonesia (TNI) lebih didasarkan pada ketiadaan pilihan bagi TNI dalam menghadapi masyarakat ketimbang sebuah kesadaran diri. Paradigma baru yang dicetuskan masih jauh dari harapan, yaitu tentara kembali ke barak dan bekerja secara profesional sesuai fungsi dan perannya.

Anggota Presidium Koordinatorat Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Mouvty Makaarim al-Akhlaq, mengemukakan, bahwa saat ini terjadi konsolidasi politik pada tubuh TNI, ketika kalangan militer pro status quo mampu mengorganisir kembali TNI dan meninggalkan gagasan reformasi militer.

"Pemerintahan saat ini-yang sepenuhnya membuka ruang terhadap intervensi militer terhadap kebijakan-kebijakannya-telah mendorong terjadinya arus balik transisi di tubuh militer sendiri, sebagaimana yang terjadi di tubuh negara," ungkap Mouvty pada acara pelatihan jurnalis mengenai paradigma baru TNI, yang diselenggarakan Voice of Human Rights (VHR) di Cipanas, Kabupaten Bogor (Jawa Barat), akhir pekan lalu.

Menurut Mouvty, pemberian posisi terhadap militer-polisi di parlemen telah mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang berkaitan dengan kepentingan institusi TNI-Polri, seperti impunitas dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan peran politik praktisnya. Penempatan militer dalam jabatan sipil di kabinet-yang
tampaknya merupakan konsesi atas dukungan politik yang diberikan-juga mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam berbagai bidang, sehingga tetap membuka ruang bagi militer untuk mendapatkan privilese politik dan ekonomi.

Mouvty menjelaskan bahwa paradigma baru TNI sebenarnya adalah konsep yang lahir dari tuntutan demiliterisasi dan supremasi sipil pascajatuhnya rezim Soeharto. "Dalam pengertian yang dibangun TNI terhadap pilihan untuk melakukan perubahan, TNI menolak untuk menyatakan bahwa dasar dari gagasan perubahan adalah tuntutan publik yang berkaitan dengan kesalahan-kesalahan TNI pada masa lalu," katanya.

Sebuah buku yang dikeluarkan Markas Besar TNI berjudul TNI Abad XXI; Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa menyebutkan bahwa isu global tentang demokratisasi, lingkungan hidup, dan HAM sebagai sebuah "gejala" sehingga mendorong adanya perubahan amat cepat disertai ketidakpastian. "Artinya, TNI menganggap bahwa faktor eksternallah yang mempengaruhi munculnya gagasan paradigma baru mereka, dengan munculnya pandangan redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi peran TNI," jelas Mouvty.

Berbagai masalah
Ia menyebutkan beberapa persoalan mendasar yang masih melekat pada TNI setelah mencanangkan paradigma baru, antara lain bisnis militer yang telah menggurita, peran teritorial yang justru memunculkan masalah karena seluruh ruang publik dan privat akhirnya berada di bawah kontrol militer, pelanggaran HAM, dan keterlibatan TNI sebagai agen untuk perang melawan terorisme. Semua ini dikhawatirkan akan membuat militer Indonesia semakin tidak terkoreksi
dan semakin leluasa dalam menjalankan berbagai tindakan. (lam)