BIN TIDAK BISA MENGADOPSI MODEL FBI

Jakarta, Kompas
Fungsi Badan Intelijen Negara (BIN) sebaiknya tetap diarahkan pada fungsi intelijen berkaitan dengan persoalan keamanan nasional yang bertanggung jawab kepada presiden. BIN sebaiknya tidak memasuki wilayah intelijen judisial yang berkaitan dengan kepentingan penegakan hukum atau direduksi semata-mata untuk menjawab insidensi negara berkaitan isu antiterorisme.

"Gagasan untuk memperluas kewenangan BIN dengan meniru Biro Penyelidik Federal (FBI) merupakan kekeliruan besar. FBI merupakan badan polisionil di tingkat federal untuk menangani kasus kriminal," kata Ketua Badan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Munarman di Jakarta, Senin (2/12).

Anggota Presidium Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid secara terpisah juga mengemukakan pendapat serupa. Menurut Usman, BIN sebagai badan intelijen yang fungsinya erat terkait dengan urusan keamanan nasional tidak bisa mengadopsi model FBI di Amerika Serikat. BIN, kata Usman, secara legal tidak memiliki kewenangan melakukan penyidikan sebagaimana dimiliki FBI. Fungsi BIN lebih mirip dengan fungsi yang dilakukan
oleh Central Intelligence Agency (CIA) di AS. "Apalagi dalam sejarahnya FBI berada di bawah Kejaksaan Agung," kata Usman.

Usman mengatakan, keinginan memperluas kewenangan BIN dengan membuka cabang di daerah hanya merupakan upaya untuk memperkuat kembali kekuasaan badan intelijen. Padahal, dalam perspektif penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, berbagai pelanggaran HAM terjadi sebagai akibat negatif kekuasaan intelijen yang sangat kuat. Upaya memperluas kewenangan BIN merupakan ancaman nyata bagi masyarakat sipil yang tengah mengembangkan diri.

Menurut Usman, sebaiknya pemerintah melakukan penguatan badan intelijen judisial, baik yang berada di bawah kepolisian atau kejaksaan daripada memperluas kewenangan BIN. "Apalagi sampai saat ini belum ada UU yang khusus mengatur tentang badan intelijen," kata Usman.

Menurut aktivis YLBHI Arief Patra M Zein, kelembagaan BIN semestinya berorientasi pada fungsi penyelidikan, pengawasan, dan pencegahan ancaman dari luar negeri. Badan semacam ini harus terpusat dan tidak perlu memiliki pos-pos di daerah. Bila meniru FBI, selain tidak tepat, juga diperlukan organisasi yang begitu besar. FBI, kata Patra, saat ini setidaknya memiliki 56 kantor dengan 11.400 agen spesial dan sekitar 16.400 staf pendukung.

Patra mengemukakan, bila pemerintah akan mengadopsi FBI, untuk menghindari kewenangan intelijen yang eksesif, harus diadopsi pula organ-organ ombudsman, biro pertanggungjawaban publik, dan jaminan atas kebebasan informasi publik.

Munarman menduga, di balik gagasan perluasan kewenangan BIN ada motif-motif politik menjelang Pemilihan Umum tahun 2004. Isu terorisme akan menjadi alat efektif untuk mengontrol lawan-lawan politik partai yang berkuasa. "Bila itu terjadi, BIN akan menjadi reinkarnasi Bakorstranasda, Kopkamtibda, atau Opsusda," kata Munarman. (wis)