KOMNAS HAM BELUM BERSIKAP SOAL HUKUMAN MATI

Jakarta, Kompas
    Di tengah perdebatan tentang pro-kontra penerapan hukuman mati di
Indonesia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) malah
terjebak kebingungan. Di antara anggota Komnas HAM sendiri masih
timbul perbedaan pendapat. Wakil Ketua Komnas HAM Zoemrotin K Susilo
menyatakan, untuk menyatukan pendapat, Komnas HAM perlu menggelar
sidang paripurna dulu.
    Rapat kerja dengan Komisi II yang dipimpin Abdul Rachman Gaffar
di DPR, Senin (17/2), akhirnya berakhir tanpa kesimpulan soal sikap
Komnas HAM yang belum bulat.
    Ketidakjelasan sikap Komnas HAM ini muncul, setelah Thahir
Saimima dari Fraksi PPP, Logan Siagian dari Fraksi TNI/Polri, Firman
Jaya Daeli dan Julius Usman dari Fraksi PDI-P menanyakan bagaimana
sikap lembaga yang mengurusi hak asasi manusia itu.
    Awalnya anggota Komnas HAM Lies Soegondo menyatakan, dalam Pasal
28 I Ayat (1) UUD 1945 memang disebut, "Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa… adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun. Aturan ini memang bisa diartikan bahwa
konstitusi tidak lagi mengizinkan hukuman mati, sehingga semua produk
hukum yang memberlakukan hukuman mati harus dihapus.
    Namun, Lies Soegondo juga menyebut adanya pembatasan terhadap
pelaksanaan hak dan kebebasan dalam pasal yang sama, yang
berbunyi "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.."
    "Jadi sepanjang hukuman mati masih dicantumkan dalam KUHP, maka
tentunya kita tidak bisa menghindari pelaksanaannya," kata Lies.
    Akan tetapi, ketika Logan Siagian dan AR Gaffar menanyakan apakah
jawaban itu merupakan sikap resmi Komnas HAM, Lies mengakui sebagai
sikap pribadi dan beberapa pakar hukum. "Belum pernah didiskusikan di
Komnas, sehingga perlu ada sidang paripurna".
    Zoemrotin pun menyatakan senada. "Seharusnya Komnas HAM mempunyai
kebulatan suara sebagai institusi".
    Berbeda dengan Lies Soegondo, Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas
HAM MM Billah yang ditanya seusai rapat kerja menyatakan secara
pribadi dia tidak setuju dengan hukuman mati. "Saya punya pendapat
pribadi yang akan saya perjuangkan,," ujarnya.
    Memang hukuman mati masih menjadi hukum positif. Namun, menurut
Billah, "untuk memahami hukum tidak hanya perlu pandangan
positivistik. Tetapi bertolak dari konteksnya dan hukum bisa berubah
karena diciptakan manusia".
    Sementara itu, secara terpisah Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie menyatakan, setuju
saja dengan penerapan hukuman mati untuk koruptor. "Hukuman paling
tepat bagi koruptor adalah hukuman mati, setidaknya penjara seumur
hidup".
    Pilihan hukuman mati, kata Kwik paling sesuai dengan masyarakat
yang tingkat korupsinya seperti Indonesia. "Hukuman setengah-setengah
tidak akan mempan lagi. Perlu yang drastis, agar pemberantasan
korupsi tidak gagal. KKN sudah begitu merajalela, Indonesia sudah
jadi bahan hinaan dan tertawaan," ujar Kwik.
    Sementara itu, Koordinator Presidium Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ori Rahman menyatakan, hukuman
mati jelas bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dihapuskan.
Namun, yang lebih memprihatinkan adalah banyaknya pembunuhan di luar
hukum (extra judicial killing) yang dilakukan aparat atas nama hukum.
Bila dibanding vonis mati dari pengadilan, pembunuhan di luar hukum
ternyata jauh lebih besar dan berbahaya.
    Pernyataan Ori tersebut berkaitan dengan pengaduan Musawab Lubis
(43) asal Medan yang anaknya, yang penderita epilepsi, Arbi Syahputra
(19) dan temannya Andi Subogo (27) pada 26 Maret 2002 "dihujani"
peluru anggota Poltabes Medan sampai mati karena tuduhan perampokan
yang diyakini tidak pernah dilakukan. Kasus ini tidak tuntas,
walaupun Lubis sudah berkali-kali mengadu ke Provoost dan Komnas HAM.
    Menurut Kontras, sepanjang Juli 2001 sampai Juni 2002, tercatat
32 kasus pembunuhan diluar hukum yang dilakukan aparat. Ini kerap
terjadi ketika polisi mengejar tersangka.
   
Pengacara bersatu
    Dari Palembang, Surabaya, dan Medan dilaporkan, salinan penolakan
grasi telah disampaikan kepada enam terpidana mati, yaitu Suryadi
Swabuana dan Jurit bin Abdullah, Sumiarsih, Djais Adi Prayitno,
Sugeng, serta Ayodhya Prasad Chaubey.
    Di Palembang, ketika surat penolakan grasi disampaikan kepada
Jurit (38), terpidana mati itu terkesan tidak mengerti. Jurit cuma
diam saat dijelaskan. Pria yang nyaris buta huruf ini, sebelum
kembali ke sel, justru berkata, "Saya senang."
    Sementara 18 pengacara di Palembang meminta agar eksekusi Jurit
ditunda. Menurut ketua tim pengacara itu, Nurkholis, mereka menemukan
beberapa kejanggalan dalam vonis kasus pembunuhan ini.
    Di Surabaya, ketika surat penolakan grasi diserahkan kepada
Sumiarsih (54) dan anaknya, Sugeng (38), kedua terpidana mati ini
mengaku mengerti arti penolakan ini. Namun, Sumiarsih mengimbau agar
anaknya Sugeng diberi keringanan. "Kejahatan ini inisiatif saya, anak
saya cuma melaksanakan pembunuhan keluarga Letkol Marinir Purwanto
tahun 1988," ujarnya.
    Sugeng yang dimintai pendapat adanya harapan ibunya menyatakan
dirinya ikut bersalah. "Tapi saya cuma mengharap ada celah untuk
meminta keringanan. Bukan takut mati, tapi saya kan sudah menjalani
hukuman penjara 14 tahun."
    Sementara itu di Medan, Ayodhya Prasad Chaubey yang dihukum mati
karena kasus narkoba, kemarin mengajukan peninjauan kembali (PK) ke
Mahkamah Agung melalui Ketua Lembaga Bantuan Hukum Medan Ilham Buana
Nasution. Alasannya, ada bukti baru yang bisa mengubah vonis hukuman
mati atas Ayodhya. (jos/naw/day/tri/SAH/bur/lam)