KOMUNIKE KEDUA

KOALISI UNTUK KESELAMATAN MASYARAKAT SIPIL  

KOMUNIKE KEDUA

 

Sudah bukan waktunya lagi pada tahap ini memperdebatkan perlu atau tidaknya pengarturan tentang tindak pidana Terorisme. Mau tidak mau regulasi tentang kebijakan terorisme memang dibutuhkan. Tetapi kebijakan itu harus berada dalam dua titik keseimbangan yaitu diantara prinsip kebebasan dan prinsip keamanan .

Akan terjadi kontradiktif jika negara tidak bisa menjaga keseimbangan antara prinsip liberty dan security . Beberapa pasal dalam Perpu/RUU dan ide dalam mencegah tindakan terorisme akan cenderung mengancam civil liberties. Semisal tercantumnya bukti inteljen sebagai bukti permulaan yang cukup dan definisi tindakan terorisme yang multiinterpretatif .

Koalisi mendukung beberapa fraksi yang telah menyatakan penolakannya terhadap Perpu antiterorisme dan BIN tidak masuk kedalam wilayah yudicial, dimana otoritas tersebut berada di kepolisian dan kejaksaan.

Secara lebih khusus, terhadap argumentasi dan tanggapn pemerintah tentang perpu antiterorisme dan RUU Anti-terorisme, Koalisi memandang bahwa :

  1. Alasan terjadinya kekosongan hukum sehingga diperlukan Perpu Anti-terorisme, bukanlah merupakan alasan yang kuat. Sebelum tragedi Bali secara statistik banyak pengeboman yang lain yang pernah terjadi di Indonesia dan telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa, tetapi semua proses pemeriksaan sampai peradilan didasarkan pada KUHP dan KUHAP.
  2. Bahwa pengaturan tentang tindakan terorisme, seharusnya diatur secara lebih komprehensif, dimana partisipasi publik diikutsertakan dan beberapa prinsip serta emapt dari 12 konvensi internasional yang telah diratifikasi dijadikan dasar pembentukan pengaturan RUU Antiterorisme.

Koalisi memandang sesungguhnya tidak ada alasan bagi DPR selaku lembaga legistatif dan lembaga kontrol pemerintah untuk menerima dan mengesahkan Perpu antiterorisme.

Koalisi menilai bahwa RUU antiterorisme yang hanya merupakan copy dari perpu antiterorisme sangat tidak layak apabila pada tanggal 7 Maret ini disahkan, sehingga DPR harus menunda pembentukan RUU Anti-terorisme.

2. Implikasi Perpu pada kekuatan Extrajudicial dan sikap koalisi

Perpu antiterorisme dalam perkembangannya telah membawa implikasi terhadap kelompok-kelompok ekstrajudicial yang sebagian besar memiliki konflik interest dengan negara. meskipun dalam beberapa kasus, ini hanya baru bersifat ancaman belum pada tindakan negara. seperti yang terjadi dalam kasus Porsea dimana masyarakat yang melakukan aksi untuk menolak dioperasionalisasikannya kembali pabrik P.T. Toba Pulp Lestari (d/h P.T. Inti Indorayon) ditakut-takuti dan diancam dikenakan pasal-pasal dalam Perpu antiterorisme.

Koalisi menilai bahwa Bahaya Perpu terhadap kekuatan-kekuatan oposisi pemerintah dan kelompok ekstrajudicial lainnya bukan lagi menjadi kekhawatiran dan asumsi tetapi sudah masuk dalam tahap ancaman.

Koalisi mendesak agar parlemen untuk menolak keberadaan Perpu Antiterorisme dan mengkritisi kembali RUU Antiterorisme yang merupakn copy dari Perpu, karena bila ini tetap disahkan, maka akan menimbulkan bahaya-bahaya baru terhadap kelompok-kelompok yang kontra terhadap pemerintah dan menghambat proses transisi.

3. Sikap koalisi terhadap desakan BIN

Dalam perkembangan terakhir, hasil rapat konsultasi antara BIN dengan Pansus RUU pemberantasan tindak pidana terorisme, disebutkan bahwa BIN meminta secara terang-terangan untuk diberi keleluasaan gerak yang lebih luas dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar lebih cepat untuk mencegah bahaya Terorisme.

Koalisi menilai desakan BIN yang ingin masuk lebih jauh dalam kegiatan yudisial dalam hal penangkapan dan pemeriksaan, merupakan hal yang dapat dilihat dengan jelas bahwa ada kepentingan yang besar dari BIN untuk memperlebar sayap kekuasaan dan kewenangannya.

Koalisi mendesak agar DPR untuk secara bulat menolak keinginan untuk BIN melebarkan kewenangannya kewilayah yudisial, karena bila itu terjadi maka hal ini jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip demokrasi karena mencampuradukan tugas inteljen dengan kepolisian, kewenangan tersebut juga sangat rawan disalahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk memukul lawan-lawan politiknya.

Jakarta, 28 Februari 2003

a.n. Koalisi Untuk Keselamatan Masyarakat Sipil

Batara Ibnu Reza
Ori Rahman
Imparsial
KontraS