UU Anti Terorisme Dan Relasinya Dengan Upaya Pengungkapan Kasus Talangsari Lampung

SIARAN PERS BERSAMA
Kontras, Komite Smalam, LBH Lampung

Tentang

UU Anti Terorisme Dan Relasinya Dengan Upaya Pengungkapan Kasus Talangsari Lampung

Pelanggaran HAM berat Talangsari, Lampung, merupakan kasus kejahatan kemanusiaan yang telah menyebabkan sedikitnya 246 keluarga santri (yang kebanyakan terdiri dari bayi dan anak-anak) yang hingga saat ini hilang dan diduga tewas dalam satu penyerangan subuh yang dipimpin oleh Kol. AM. Henrdopriyono, Komnadan Korem 043 Garuda Hitam Lampung (sekarang Kepala Badan Inteljen Negara).

Tiga tahun terakhir, pelanggaran HAM berat Talangsari mulai didorong penyelesaian hukumnya oleh para korban yang didampingi Komite Smalam, LBH Lampung dan KontraS. Tidak seperti pelanggaran HAM berat lainnya, dalam perjalanan advokasi kasus tersebut didapati upaya untuk menghalang-halangi dalam bentuk aksi-aksi penghadangan, iming-iming materi hingga teror dan intimidasi.

Aksi-aksi penghadangan itu anatara lain terjadi pada :

  1. Islah : sejak tahun 1998 lebih dari 4 kali Letjen (purn) Hendropriyono melakukan islah dengan para korban.
    Dengan beberapa ciri antara lain :

    1. Islah umumnya secara langsung dilakukan Hendropriyono dengan para elite korban Talangsari seperti Sudarsono, Fauzi dan Jayus. Adapun korban yang lainnya merupakan pengikut dari kelompok-kelompok tersebut.
    2. Dalam islah tersebut, Hendropriyono selalu memberikan imbalan materi baik berupa uang, pekerjaan maupun materi berharga lainnya.
    3. Proses-proses islah menghasilkan kelompok-kelompok yang menolak pengungkapan kasus Talangsari yang bergerilya untuk mengagalkan upaya hukum di beberapa tempat seperti Lampung (AMPEL), Jakarta (GIN, Darsono Cs, Sukardi Cs) dan Jawa Tengah (Fadilah Cs).
  2. Kriminalisasi : setidaknya ada dua peristiwa yang dapat dianggap mewakili modus tersebut, yaitu :
    1. Teror terhadap aktivis mahasiswa Komite Smalam (Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung) yang sejak 1998 aktif mengadvokasi kasus Talangsari dengan menggunakan isu tertentu lewat aparat kepolisian tanggal 20 Juni 2000.
    2. Pemenjaraan Fauzi Isman di LP Cirebon, tokoh Talangsari yang dianggap membangkang dari kesepakatan islah dengan tuduhan penggelapan.
  3. Teror dan intimidasi : sejak tahun 2000 sedikitnya terdapat 3 aksi teror yang dialami oleh para korban Talangsari yang masih menuntut, yaitu :
    1. Agustus-September 2000, terjadi 4 kali teror terhadap keluarga Fauzi Isman, Koordinator KORAMIL (Korban Kekerasan Militer) paska pengaduan Fauzi ke KontraS yang berujung pada kegugurannya janin istri Fauzi. Para pelaku teror melakukan aksinya pada malam hari secara berkelompok dan menggunakn sepeda motor dengan menabrak kendaraannya ke pintu gerbang rumah Fauzi di daerah Cibubur Jakarta.
    2. Februari 2002, paska pengaduan 40 orang korban Talangsari, KontraS, Komite Smalam dan LBH Lampung ke Komnas HAM untuk menuntut dibentuknya KPP HAM Talangsari, kendaraan yang digunakan rombongan korban dimasuki orang tak dikenal yang berasal dari mobil Daihatsu Zebra Espas dan sedan KIA Shuma yang kemudian diketahui orang tak dikenal tersebut ternyata meletakan 3 buah tas ransel berwarna hijau dan hitam yang berisi golok, kampak, celurit, palu, bayonet dan senjata tajam lainnya.
    3. Pertengahan 2002, paska sidang pertama gugatan PTUN Keppres pengankatan Hendropriyono, rumah salah satu korban di Lampung dibakar orang tak dikenal.
    4. 13 November 2002, paska rapat korban dengan KontraS, Komite Smalam dan LBH Lampung di Sidorejo, sekelompok korban di Talangsari mendapat ancaman akan kehilangan anggota keluarganya bila masih terus menerus melakukan pengungkapan kasus Talangsari. Ancaman ini dilakukan Babinsa setempat dan mantan aparat keamanan lokal seperti mantan Danramil Way Jepara dan mantan aparat militer di Palembang yang sekarang dekat dengan pelaku yang secara intensif melakukan pemantauan aktivitas korban di dusun Talangsari III, termasuk kegiatan buka puasa bersama para korban November 2002 lalu.
  4. Mempengaruhi Pansus DPRD Lampung Timur untuk mengeluarkan rekomendasi yang menolak pengungkapan dan proses hukum kasus Talangsari.
  5. Adanya kunjungan aparat militer dan sipil di tingkat lokal baik yang masih aktif maupun pensiun ke kantong-kantong korban di Talangsari Lampung dengan maksud membujuk korban agar tidak usah mengungkit-ungkit lagi kasus tersebut.
  6. Adanya kunjungan korban Jakarta dan Jawa pro islah untuk merayu para korban agar mengikuti jejak islah mereka.
  7. Aparat desa di Talangsari sering mengunjungi para korban satu persatu untuk mengajak mereka melupakan pengungkapan kasus tersebut sambil memberikan uang berkisar antara Rp. 5000 †Rp.10.000.
  8. Di Talangsari para penghadang pengungkapan juga menggelar sebuah pengajian rutin yang penceramahnya selalu menyuarakan larangan bagi warga untuk mengungkap kasus.

 

Perkembangan terakhir yang dikhawatirkan akan mempengaruhi proses pengungkapan kasus Talangsari adalah disahkannya Perpu Anti Terorisme dan munculnya RUU Inteljen yang dilakukan BIN. Sejak awal banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa Perpu Anti Terorisme dapat membahayakan keselamatan masyarakat sipil karena ktidakjelasan substansi dan nuansa represif yang dikandungnya. Sehingga sangat disesalkan keputusan mayoritas fraksi di DPR yang menyetujui pengesahan Perpu tersebut menjadi undang-undang. Ditambah lagi dengan RUU TNI yang juga tengah diajukan yang menuntut kewenangan operasional tanpa perintah Presiden.

Sementara RUU Inteljen yang tengah diajukan juga memberikan kewenangan berlebihan kepada BIN sampai ke tingkat menjalankan fungsi operasional. Dengan adanya wewenag berlebihan sementara akses informasi terhadap kerja-kerja BIN sangat tertutup, tidak menutup kemungkinan bahwa RUU ini menjadi alat legitimasi bagi tindakan represif yang dilakukan BIN.

Berkaitan dengan kasus Talangsari, maka UU Terorisme dan RUU Inteljen jelas-jelas memberikan dampak cukup serius, misalnya dengan pemeberian stigma terorisme berdasarkan laporan inteljen, maka teror dan intimidasi menjadi lebih legal.

Menyikapi beberapa perkembangan di atas, kami menyatakan :

  1. Meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali UU Terorisme dengan memperhatikan kuatnya penolakan yang disampaikan oleh publik serta memberikan sikap tegas terhadap RUU TNI dan RUU Inteljen yang tengah diajukan dan juga menjadi polemik publik. Pertimbangan yang mendasar dari penolakan ini adalah bertentangannya produk hukum dan rencana produk hukum terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.
  2. Meminta agar Komnas HAM mendesak pemerintah untuk menolak semua produk perundang-undangan yang anti demokrasi tersebut.
  3. Meminta agar Komnas HAM segera melakukan penyelidikan pelanggaran HAM berat Talangsari mengingat semakin kuatnya upaya untuk mengahalang-halangi pengungkapan kasus tersebut dan menghindari implikasi negatif kebijakan pemerintah dan tindakan para pejabat yang memiliki kaitan pertanggungjawaban dengan kasus pelanggaran HAM tersebut.

 

Jakarta, 7 Maret 2003

KontraS
Komite Smalam
LBH Bandar Lampung  
Mouvty Makaarim
Fikri Yasin
Watoni Nurdin, S.H.
Anggota Pressidium
Koordinator
Ka. Operasional