31 LSM DAN PRD NILAI DPR TIDAK BISA LAGI DIPERCAYA

Jakarta, Kompas
    Sebanyak 31 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan satu partai
politik (parpol) sepakat melakukan perlawanan terbuka terhadap
rencana masuknya militer (TNI) dalam percaturan politik sipil di
Indonesia. Perlawanan tersebut disebabkan wakil rakyat di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) tidak bisa lagi dipercaya karena telah
meloloskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Antiterorisme sebagai Undang-Undang (UU) serta memberi "lampu hijau"
untuk RUU Intelijen dan RUU TNI.
    "Kami menyerukan kepada seluruh kekuatan prodemokrasi dan
masyarakat sipil untuk turun ke jalan dan melakukan aksi karnaval
pada tanggal 20 Maret 2003. Aksi itu merupakan bentuk penolakan
terhadap kebijakan UU Antiterorisme, RUU Intelijen dan RUU TNI yang
jelas-jelas mengancam masyarakat sipil serta menuntut semua
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada," ujar Ori Rahman
dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Kontras adalah salah satu LSM yang tergabung dalam Forum Rakyat Anti
Militerisme.
    Selain Kontras, anggota koalisi forum tersebut-antara lain-
Imparsial, FAM UI, PMKRI, PB HMI, AJI, Pijar Indonesia, SIRA, dan
LMND. Parpol yang bergabung dalam koalisi itu adalah Partai Rakyat
Demokratik (PRD).
    "Belajar dari kasus Perpu Antiterorisme yang langsung disetujui
oleh DPR menjadi UU, kita harus melakukan perlawanan dari luar
parlemen. DPR sekarang lebih memilih militer untuk Pemilu 2004
daripada berpihak kepada rakyat," kata Jusuf Lakaseng dari PRD.
    Ori mengatakan, mereka sangat kecewa dengan DPR. Beberapa fraksi
besar di DPR yang mereka temui sebelumnya menyatakan setuju tidak
akan menerima Perpu Antiterorisme bulat-bulat sebelum dijadikan UU.
Namun, belakangan, apa yang dijanjikan itu diingkari.
    Ori juga menilai Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto tidak
konsisten dengan ucapannya sendiri. Misalnya, pada saat pertemuan
dengan DPR, Endriartono lantang mengatakan, "Jangan seret TNI ke
politik." Namun belakangan dengan munculnya Pasal 19 RUU TNI-yang
berisi kewenangan Panglima TNI menyatakan keadaan darurat tanpa
persetujuan Presiden terlebih dahulu-jelas-jelas TNI ingin masuk lagi
ke politik.
    Keinginan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menahan seseorang
untuk keperluan penyelidikan dalam RUU Intelijen, kata Ori, adalah
kesalahan fatal yang tidak bisa diterima. Intelijen tidak boleh
diberi kewenangan menahan tersangka. Mereka bukan institusi hukum.
    Al Araf dari Imparsial menambahkan, jangan sekali-kali DPR
memberi kesempatan kepada TNI masuk ke dalam otoritas politik sipil.
Bila itu dibiarkan DPR, berarti telah terjadi kemunduran demokrasi di
negara ini.(SAH)