Evaluasi Manuver Angkatan Darat di Aceh

Siaran Pers Bersama
Kontras dan Imparsial
Mengenai

Evaluasi Manuver Angkatan Darat di Aceh

Kondisi Aceh belakangan memberikan sejumlaha pertanyaan, sehubungan dengan “ketidakefektifan” CoHa (Cessasion of Humanitarian Agreement). Sejumlah peristiwa kekerasan masih terus terjadi. Dan yang lebih mengecewakan adalah sikap dari masing-masing pihak dalam perjanjian yang sibuk saling tuding.

Pemerintah Indonesia sendiri terlihat lemah dalam sektor “humanitarian policy”. Kondisi lemah pemerintahan Indonesia belakangan ini lebih banyak di isi oleh TNI terutama TNI-AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat). Sikap yang ditunjuka oleh KSAD dalam melihat persoalan Aceh ternyata diluar agenda perdamaian yang selama ini selalu “ditujukan” kepada masyarakat Aceh. Bahkan KSAD merespon kondisi Aceh tidak dalam konstruksi Agreement yang selam ini diharapkan, terutama oleh masyarakat Aceh. Sikap yang ditunjukkan lebih mengutamakan pola-pola “unjuk kekuatan”.

Sikap dari statement dari KSAD tersebut mengidentifikasi :

  1. Bahwa pemerintahan pusat diasumsikan telah melakukan kesalahan dengan melakukan perjanjian perdamaian di Aceh. Tindakan tersebut hanya memberikan ruang bagi semakin berkembangnya perlawanan disintegrasi. Hal ini bisa dilihat sebagai sebuah pembangkangan militer secara implisit dalam roda pemerintahan di Indonesia saat ini.
  2. Sehingga yang harusnya dilakukan adalah tindakan operasi militeristik dalam kasus Aceh. Dan bagi segala macam konflik integrasi. Hal ini merupakan bukti ketidakpercayaan pada kemampuan kodrat manusia, yaitu : komunikasi.
  3. Jusifkasi yang digunakan oleh angkatan darat dengan menggunakan sejumlah aksi diberbagai temapt, yang dilakukanoleh masyarakat. Seperti aksi terhadap kantor KKB. Yang dianggap sebagai sebuah wujud ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga KKB dan upaya perdamaian yang diembannya. Dari aksi-aksi tersebut angkatan darat menjustifikasi operasi dan penempatan pasukannya di tengah masyarakat. Dari sisi lain hal ini dapat dilihat sebagai tindakan yang mengabaikan komitmen dalam CoHa.
  4. Dari poin nomor 3 diatas terlihat bahwa konstruksi opini seperti itu merupakan tindakan mendelegitimasi perjanjian damai (CoHa) yang sedang diupayakan. Maka hal ini merupakan ancaman atas upaya-upaya dialogis di masa depan.
  5. Angkatan Darat melakukan penguatan institusional dan operasional, seperti operasionalisasi SGI (Satuan Gabungan Inteljen), penambahan 1.000 personil, latihan-latihan militer. Pengaktifan sejumalh kantor teritorial lokal ini semata-mata menggunakan alasan ancaman; kondisis Aceh yang dianggap membahayakan.
  6. Tindakan-tindakan angkatan darat ini mengimplikasi pada konflik terbuka dan meluas dianatara masyarakat (yang dimobilisir).

Oleh karena itu kami, Kontras dan Imparsial, merkomendasikan :

    1. Pemerintah harus konsisten dalam menjalankan perjanjian perdamaian yang saat ini berjalan di Aceh. Dan sebagai konsekwensinya pemerintah harus tegas melakukan kontrol terhadap instrumen-instrumennya, dalam hal ini angkatan darat, yang eksesif menjustifikasi diri mengupayakan rasa “nasionalisme”, tanpa berpikir dampak pada masyarakat sipil dan mas depan perdamaian di Aceh.
    2. Segera menyelesaikan segala dampak yang diakibatkan dari tindakan berlebihan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bergerak di luar koordinasi dan otritas perjanjian damai. Seperti kasus penghilangan orang; 1. Mukhlis dan 2. Zulfikar.

 

Jakarta, 1 April 2003

Hormat Kami,

Ori Rahman
Munir
Koordinator BP Kontras
Direktur Eksekutif Imparsial