Tanggapan Atas Pernyataan Presiden Megawati Soekarnoputri Agar TNI-Polri Bersiap-siap Untuk Melakuka

Pada tanggal 7 April 2003 telah dilakukan sidang kabinet yang salah satunya membahas tentang Aceh. Dalam sidang kabinet tersebut Presiden Megawati soekarnoputri memerintahkan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia agar bersiap-siap untuk melakukan operasi keamanan di Aceh bila perjanjian perdamaian �gagal�.

Dalam sidang kabinet tersebut Menko Polkam mengusulkan tiga rekomondasi : Pertama. menghentikan proses perdamaian di Aceh dan segera dilakukan operasi keamanan untuk melumpuhkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Kedua melanjutkan proses damai dengan memberikan batas 4-8 pekan ini kepada GAM untuk mematuhi perjanjian. Ketiga melanjutkan proses damai sampai batas 9 Juli, 2003.
Dalam kesempatan tersebut Menko Polkam juga mengatakan bahwa TNI memiliki konsep dan rencana operasi militer untuk menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) jika perjanjian damai yang telah ditandatangan di Jenewa tidak dapat dilanjutkan. Dalam sidang kabinet tersebut, Panglima TNI telah memaparkan operasi intelijen dan operasi teritorial, dan operasi militer itu tidak banyak menimbulkan korban dari masyarakat. TNI dan Polri akan berupaya agar rakyat Aceh tidak dijadikan tameng oleh GAM, jika operasi militer akhirnya menjadi solusi, Panglima menolak mengungkapkan lebih jauh mengenai konsep dari TNI,
Atas hasil rapat sidang kabinet tersebut maka Kontras menyampaikan hal-hal sebagai berikut :
– Bahwa hasil sidang kabinet pada tanggal 7 April 2003 yang meminta TNI-Polri bersiap-siap untuk melakukan operasi keamanan di Aceh sangatlah bertentangan kebijakan yang harus dijalankan oleh Pemerintah yaitu menyelesaikan persoalan Aceh dengan secara dialog.
– Bahwa hasil sidang kabinet tersebut juga sangat bertentangan dengan isi dalam Naskah Perjanjian Perdamaian yang telah disepakati oleh Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 9 Desember 2002, karena sudah cukup jelas dituliskan bahwa adanya perjanjian kesepakatan perdamaian bertujuan untuk menyelesaikan konflik di Aceh secara damai dan demokrasi, kedua belah pihak juga sama-sama bertekad untuk menghentikan permusuhan di Aceh dan sama-sama menyongsong masa depan yang lebih baik.
– Bahwa pelanggaran kesepakatan isi perjanjian perdamaian di Aceh dilakukan oleh kedua belah pihak, baik oleh Pemerintah RI (TNI-Polri) maupun oleh GAM, sehingga sangatlah tidak adil kalau pemerintah dalam menyampaikan hasil sidang kabinet hanya menyebutkan bahwa yang melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan perdamaian hanyalah dari pihak GAM saja. Pelanggaran kesepakatan perjanjian perdamaian dan pernyataan-pernyataan Pemerintah RI dan pejabat-pejabat militer kedua belah pihak telah mengakibatkan tidak berjalannya fase demiliterisasi di Aceh.
– Bahwa hasil sidang kabinet yang memerintahkan TNI-Polri untuk bersiap-siap melakukan operasi keamanan di Aceh telah berdampak terjadinya kontak sejata secara terbuka di lapangan yang menyebabkan sejumlah orang tewas, luka-luka dan telah menimbulkan ketakutan dan keresahan dari rakyat sipil Aceh.
– Haruslah diakui bahwa telah terjadinya perubahan besar di Aceh sejak penandatanganan perjanjian perdamaian yaitu berupa turunnya jumlah angka dan korban kekerasan serta kebebasan masyarakat dalam menjalankan segala aktivitasnya, sehingga sangatlah tidak adil dan tidak bijak jika baru 5 bulan perjanjian perdamaian berjalan pemerintah RI sudah mengancam akan menggunakan pendekatan keamanan kembali dalam menyelesaikan Aceh. Hal ini tentunya juga tidak adil jika dibandingkan dengan 10 (sepuluh) tahun digelarnya operasi militer oleh Pemerintah RI di Aceh (1989-1998).
– Gangguan akan berlangsungnya perjanjian perdamaian sebenarnya sudahlah diprediksi sebagaimana tertuang dalam pasal perjanjian perdamaian yang menyebutkan mekanisme penyelesaian persoalan bila pihak-pihak melakukan pelanggaran kesepakatan perjanjian perdamaian yaitu diselesaikan oleh JSC dan Joint Counsil.
– Tidak efektifnya Komite Keamanan Bersama dalam menyelesaikan berbagai persoalan dikarenakan tidak adanya dukungan politik yang sungguh-sungguh dan serius dari pemerintah berupa perlindungan terhadap kantor dan personil JSC/KKB. Terjadinya perusakan dan pembakaran kantor JSC, penganiayaan dan pengusiran terhadap keberadaan JSC untuk yang kesekian kalinya menunjukkan bahwa tidak adanya perlindungan yang seharusnya terhadap keselamatan anggota JSC/KKB, dan ini menjadi hal yang aneh karena jumlah personil TNI-Polri yang berjumlah 35.000 pasukan di Aceh tidak mampu mengantisipasi dan melindungi KKB, padahal salah satu pihak dari KKB adalah pemerintah RI (TNI-Polri).
Oleh karena itu KontraS, menyatakan :

Adalah suatu tindakan yang bodoh apabila Pemerintah RI masih akan menggunakan operasi keamanan/perang dalam menyelesaikan konflik di Aceh, karena telah terbukti gagal dalam menyelesaikan konflik Aceh. Tindakan bodoh karena pemerintah tidak belajar dari pengalaman DOM – sejarah Aceh dan sejarah perang.
Adalah sangat tidak dapat dimengerti hasil sidang kabinet yang memerintahkan TNI-Polri untuk bersiap-siap melakukan operasi keamanan, karena hampir seluruh masyarakat dunia termasuk Indonesia dalam satu dua bulan terakhir ini secara tegas menolak, mengecam dan mengutuk perang, karena perang hanya akan menimbulkan korban dari masyarakat sipil.
Pernyataan pemerintah yang menjamin tidak akan mengorbankan rakyat sipil dalam melakukan operasi keamanan/perang adalah sesuatu yang tidak mungkin terelakkan, karena senjata canggih AS dan sekutunya yang menggunakan senjata satelit dan rudal pintar sekalipun ternyata terbukti telah menewaskan ribuan rakyat sipil Irak.
Untuk itu Kontras :

Mendesak Presiden untuk secara tulus dan sungguh-sungguh terus melanjutkan kesepakatan perjanjian perdamaian yang telah disepakatai pada tanggal 9 Desember 2002 dan jangan pernah menggunakan pendekatan operasi keamanan lagi yang terbukti telah gagal dalam menyelesaikan persoalan di Aceh.
Mendesak Presiden untuk memberikan perlindungan terhadap ancaman yang muncul terhadap JSC berupa memperkuat fungsi dan kewenangan dan personel JSC.
Mendesak pemerintah RI untuk tidak menerapkan standar ganda dalam menyelesaikan konflik Aceh. Disatu sisi pemerintah menolak keras perang berupa agresi militer AS dan sekutunya di Irak, tapi disatu sisi yang lain pemerintah mengeluarkan kebijakan yang akan menggunakan kekuatan operasi keamanan/perang dalam menyelesaikan konflik di Aceh.
Menyatakan tidak sepatutnya pemerintah RI yang merupakan pihak dalam perjanjian perdamaian di Aceh melakukan penilaian sepihak tentang gagal atau tidaknya perjanjian perdamaian. Masyarakat sipil Aceh lah yang selama ini menjadi korban akibat konflik berkepanjangan seharusnya berhak menilai apakah perjanjian perdamaian di Aceh gagal atau tidak, melalui pengumpulan pendapat/kunjungan di lapangan.
Demikian Siaran Pers ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 10 April 2003

Ketua Presidium Badan Pekerja
ORI RAHMAN