Status Hukum Pernyataan Ketua Komisi HAM PBB Terhadap Permasalahan HAM Timor-Timur

SIARAN PERS BERSAMA

Kontras dan Imparsial

Tentang

Status Hukum Pernyataan Ketua Komisi HAM PBB Terhadap Permasalahan HAM Timor-Timur

Pada Sidang Komisi HAM PBB (Commission on Human Rights) ke 59 di Jenewa telah memutuskan untuk tidak melanjuti pembahasan tentang situasi HAM di Timtim pada persidangan ditahun-tahun mendatang. Pernyataan Ketua (chairperson’s statement) tersebut merupakan hasil kesepakatan antara wakil Pemerintah RI, wakil Pemerintah Timor Leste (TL) serta wakil Uni Eropa.

Dalam pernyataan pers yang dikeluarkan Kantor Perwakilan tetap RI untuk PBB di Jenewa dinyatakan mulai tahun depan Komisi HAM tidak akan mengeluarkan Chairperson’s Statement tentang situasi HAM di Timtim, atas prakarsa Uni Eropa, yang selam ini dijadikan cantolan untuk mengkritik Indonesia mengenai masalah-masalah Timtim yang masih tersisa. Seperti masalah pengungsi dan masalah tuduhan pelanggaran HAM di Timtim pada tahun 1999. masih dalam siaran pers itu, pernyataan ketua merupakan suatu pencapaian yang masih cukup penting bagi Indonesia sekalipun melalui proses yang cukup alot dan intensif anatara ketiga delegasi yaitu Indonesia, Uni Eropa dan TL.

Kendati demikian, dalam Pernyataan Ketua tersebut masih terdapat catatan penting mengenai kekecewaan masyarakat internasional kepada Pemerintah RI dengan penyelenggaran Pengadilan HAM ad-hoc dalam kasus pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat di Timtim tahun 1999. Pemerintah RI melalui Wakil Tetap RI di Jenewa menegaskan akan menggunakan jalur diplomasi bilateral dengan Pemerintah Timor Leste dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus yang belum terselesaikan antara kedua negara.

Perlu diingat secara hukum, kedudukan dan posisi pernyataan ketua lebih rendah daripada resolusi dalam forum-forum sidang Komisi HAM PBB. Mekanisme munculnya pernyataan ketua tersebut adalah kesepakatan dari para pihak yang bertikai atau yang turut serta dalam perundingan dan tanpa melalui pemungutan suara. Berbeda dengan resolusi yang membutuhkan mekanisme pengambilan suara dari negara-negara peserta.

Namun hal yang penting perlu diperhatikan adalah Pernyataan Ketua tersebut tidak mempengaruhi jalannya proses hukum di masing-masing negara. Artinya, Pemerintah Indonesia secara serius untuk melakukan perbaikan terhadap penyelenggaraan pengadilan HAM ad-hoc dalam kasus pasca jajak pendapat tahun 1999 sesuai esensi dari Pernyataan Ketua. Uni Eropa sebagai pihak yang turut menandatangani pernyataan tersebut pada 1 April 2003 saat Sidang Komisi HAM PBB tersebut telah mengecam proses pengadilan HAM ad-hoc Indonesia yang tidak mengadopsi standar internasional yaitu sebuah pengadilan yang bersifat imparsial dan independen.

Bagi Pemerintah TL proses justice and accountibility dalam kasus jajak pendapat di Timtim tahun 1999 baru memasuki tahap awal. Serious Crime Unit (SCU) yang bekerja atas mandat Resolusi DK PBB telah mengumumkan para tersangka pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan diantaranya Jendral Wiranto. Terakhir pada awal April 2003 SCU menambah 16 orang tersangka yang kesemuanya adalah perwira TNI yang telah menjalani persidangan pada pengadilan HAM ad-hoc.

Bila ditelisik lebih jauh, Pernyataan Ketua Komisi HAM PBB dengan kegiatan yang dilakukan oleh SCU merupakan dua wilayah yang berbeda. SCU lahir seiring dengan dikeluarkannya Resolusi DK PBB 1272 pada 25 Oktober 1999 tentang pembentukan UNTAET dimana ia menjadi bagian yang tak terpisahkan. Setelah kemerdekaan TL mandat tersebut masih diperpanjang juga dengan sebuah Resolusi DK PBB 17 Mei 2002 tentang pembentukan UNMISET. Posisi dan kedudukan SCU berda dibawah kendali Kejaksaan Agung TL.

SCU telah mengirimkan surat penangkapan kepada Indonesia perihal para tersangka kasus kejahatan kemanusiaan. Indonesia bisa saja menolak untuk menyerahkan para tersangka namun tidak dapat menghalangi usaha yang dilakukan SCU dengan menggunakan Pernyataan Ketua untuk meminta pihak ketiga dalam hal ini negara-negara di dunia untuk menangkap dan mengesktradisikan para tersangka tersebut ke TL atau malahan mengadili sendiri para tersangka tersebut.

Uni Eropa dalam pernyataannya juga mendesak Pemerintah RI untuk bekerjasama secara penuh dengan SCU dan tidak hanya itu Uni Eropa juga menuntut kasus kematian lima jurnalis di Balibo saat invasi Indonesia ke Timtim pada tahun 1975. Kanada sebagai negara anggota Komisi HAM juga mengecampraktek pengadilan HAM ad-hoc tersebut. Pemerintah Kanada mendesak Pemerintah Indonesia untuk menjamin proses banding (appeal) dalam kasus pelanggaran HAM berat di Timtim pasca jajak pendapat serta proses pengadilan HAM dimasa yang akan datang sesuai dengan standar internasional dan menjamin tidak ada praktik impunity dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Berdasarkan pemaparan di atas posisi dan kedudukan Pernyataan Ketua lebih rendah dibandingkan dasar hukum untuk menjalankan proses justice and accountibility oleh SCU. Isi kesepakatan dalam Pernyataan Ketua hanya menghentikan pembahasan situasi HAM di Timtim pada Sidang Komisi HAM. Tetapi pada sidang-sidang Komisi HAM PBB mendatang permasalahan Timtim masih dapat dibicarakan dalam pembahasan tersendiri terkait dengan kerjasama tehnik (technical cooperation) dibidang HAM yang menjadi agenda tersendiri dalam persidangan komisi. Oleh karena itu, Pernyataan Ketua tidak dapat dijadikan alasan oleh Pemerintah RI untuk tidak memperhatikan kritik serta pengawasan masyarakat internasional dalam penyelenggaraan pengadilan HAM ad-hoc kasus Timtim.

Bahwa statement dari Chair Person of Human Right itu merupakan sebuah skandal dalam upaya penegakan HAM. Tindakan perwujudan keadilan tidak dapat dibangun dari sebuah kesepakatan “politik” terutama yang melibatkan para pihak yang selam ini dituduh bertanggung jawab, yaitu : Pemerintah Indonesia. Selain itu, kesepakatan tersebut tidak melibatkan pihak (keluarga) Korban dan tidak membangun keputusan tersebut berdasarkan fakta pelanggaran HAM yang terjadi serta upaya hukum yang ditempuh selam ini.

Padahal hasil pemantauan yang dilakukan oleh Special Rapporteur, Param Cumarasywamy, menyatakan kekecewaannya terhadap peradilan ad-hoc Timtim ini. Sehubungan adanya keterbatasan wilayah dan waktu tentang yuridiksi peradilan yang masih berlanjut, dalam kesimpulannya dinyatakan bahwa peradilan tersebut telah dihalangi oleh keputusan politik Pemerintah Indonesia dalam menyidangkan banyaknya kejahatan yang serius yang terjadi di Timor Timur pad periode 1 Januari sampai 25 Oktober 1999.

Masih dalam rekomendasi yang dikeluarkan oleh Special Repporteur khusus untuk peradilan ad-hoc Timor Timur ditegaskan keharusan keterlibatan masyarakat internasional dalam melakukan pemantauan serta menekan Pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan pengadilan untuk pelanggaran HAM berat dengan bersandar pada standar dan praktek Internasional untuk masa mendatang. Hal ini juga terkait erat dengan usaha mengamandemen UU No. 26 tahun 2000 dalam rangka mewujudkan peradilan yang efektif, independen dan imparsial; pengefektifan program perlindungan saksi; pelatihan sesuai standar internasional untuk hakim dan jaksa termasuk mendatangkan mentor dari internasional.

Jakarta, 26 April 2003

Dengan Hormat,

 

Ori Rahman
Bhatara Ibnu Reza
Koordinator BP Kontras
Peneliti Imparsial