Mempertanyakan progress report terhadap hal-hal yang telah dilakukan oleh DPR sehubungan permasalaha

No : 161/SK-KONTRAS/IV/03
Hal : Mempertanyakan progress report terhadap hal-hal yang telah dilakukan oleh DPR sehubungan permasalahan di Aceh

Kepada Yth
Ketua Komisi I DPR RI
Di
Tempat

Proses Perdamaian yang terjadi di Aceh, melalui Perjanjian Penghentian Permusuhan antara RI dan GAM (COHA), harus di respon dengan baik. Hal ini mengingat sejarah kehidupan masyarakat Aceh yang sejak 1511 telah dilumuri dengan tumpahan darah. Yang lebih menyedihkan adalah konflik tersebut lebih mengedepankan egoisme-egoisme dan klaim sepihak, yaitu ulama, bangsawan, penjajah Belanda, Pemerintah Indonesia dan GAM. Sedangkan yang menjadi korban adalah MASYARAKAT SIPIL ACEH.

Maka pantas jika COHA tidak hanya dianggap sebatas respon psikologis masyarakat, tetapi sebagai sebuah sejarah, yaitu Sejarah Perdamaian. Sejarah perdamaian ini bukan sebagai tujuan di Aceh tetapi harus dilihat sebagai konsekwensi. Sehingga perdamaian itu sendiri yang harus terus diupayakan. Sebagaimana sebuah konflik, maka titik capai atau kesepakatan yang terjadi merupakan klimaks positif dari rangkaian konflik sebelum kesepakatan terjadi.

Hal diatas adalah salah satu dari sekian banyak bagian yang telah dilakukan dalam penyelesaian konflik berkepanjangan di Aceh. Bagaimanapun konflik di Aceh tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan yang melahirkan kekerasan. Masih terekam dalam ingatan kita bagaimana Pemerintah dan DPR pernah memberikan rekomendasi bagi penyelesaian pelanggaran HAM masa DOM dan pasca DOM.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada pertemuan dengan komisi I DPR kali ini KONTRAS menyampaikan beberapa hal:

1. Sejarah panjang kekerasan di Aceh, perlu menjadi satu perhatian khusus dalam hal penyelesaiannya. Sepanjang kekerasan yang terjadi di Aceh, Pemerintah RI secara sendiri maupun berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM membuat kebijakan sebagai payung politik yang diterapkan di Aceh, yaitu : DOM, 1989 – Agustus 1998, Pencabutan status DOM, Agustus 1998,Pemberlakuan JOU I, 2 Juni 2000 � 2 September 2000, Pemberlakuan JOU II, 15 September 2000 � 15 Januari 2001, masa moratorium, 15 Januari 2001 � 15 Februari 2001, Inpres No.4 tahun 2001 (April 2001) dan Inpres No. 7 tahun 2001 (Oktober 2001) tentang Langkah-langkah Komprehensif dalam rangka Penyelesaian Masalah Aceh, Inpres No. 1 tahun 2002 (Februari 2002) tentang Peningkatan Langkah Komprehensif dalam rangka Percepatan Penyelesaian Masalah Aceh, Pembentukan Kodam Iskandar Muda (5 Februari 2002), Perjanjian Penghentian Permusuhan RI dan GAM (9 Desember 2002). Terhadap rangkaian kekerasan yang terjadi itu, MPR telah mengeluarkan TAP MPR No. VI/ 2002 tentang Rekomendasi atas laporan pelaksanaan putusan MPR oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada sidang Tahunan MPR RI tahun 2002, yang salah satu rekomendasinya juga adalah tentang upaya penyelesaian masalah Aceh. Terhadap hal itu, maka perlu dipertanyakan perihal sejauh mana pertanggungjawaban DPR terhadap rekomendasi Tahunan MPR RI tahun 2002.

2. Terhadap banyaknya pelanggaran HAM berat di Aceh itu pula, rapat pleno DPR mengesahkan 10 rekomendasi yang dikeluarkan Pansus DPR tentang Permasalahan di Daerah Istimewa Aceh 1999 yang harus ditindaklanjuti oleh pemerintah. Salah satu butir rekomendasi menyatakan bahwa Pansus Aceh juga mendesak pemerintah untuk segera mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang terjadi di serambi Mekah, baik sebelum maupun setelah pencabutan daerah operasi militer (DOM). Wakil Ketua Pansus Aceh Aly Yahya juga menyatakan bahwa DPR tetap akan memantau kinerja pemerintah dalam melaksanakan 10 rekomendasi tersebut. Permasalahannya sekarang adalah sampai sejauh mana DPR telah melakukan pemantaun terhadap hasil Pansus Aceh itu.

3. Rencana operasi militer oleh pemerintah menjadi satu hal yang perlu di sikapi. Melihat rencana operasi militer merupakan langkah mundur yang dilakukan serta bertentangan dengan Perjanjian Penghentian Permusuhan yang baru berjalan 5 bulan ini. Sejarah menunjukkan bahwa operasi militer merupakan kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam merespon konflik di Aceh. Terhadap adanya rencana operasi militer oleh pemerintah tersebut, pada 17 April 2003, DPR pernah mengadakan pertemuan tertutup dengan pemerintah. Sehubungan dengan itu, beberapa hal yang perlu dipertanyakan adalah mengapa pertemuan itu harus dilakukan secara tertutup dan apa hasil dari pertemuan itu serta bagaimana peranan DPR dalam mensikapi rencana pemerintah untuk melakukan operasi militer di Aceh.

Demikian pertanyaan ini kami ajukan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

Jakarta, 05 Mei 2003


KONTRAS, IMPARSIAL, ELSAM, INFID, FRONT ANTI MILITERISME, KONTRAS ACEH, LBH SURABAYA, LBH SEMARANG, LPS HAM FOSO, AJI, MALUKU MEDIA CENTRE, IKOHI, YAPPIKA