LSM TOLAK OPERASI MILITER DI ACEH

Jakarta, Kompas
    Sejumlah tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan wakil warga
Aceh mendesak agar pemerintah tidak memilih opsi operasi militer
untuk penanganan masalah Aceh. Mereka juga mendesak Dewan Perwakilan
Rakyat agar tidak memberi payung politik bagi pemerintah untuk
melaksanakan operasi militer.
    Desakan tokoh-tokoh puluhan LSM dan perwakilan masyarakat Aceh
itu disampaikan ketika beraudiensi dengan anggota Komisi DPR di
Gedung MPR/DPR, Senin (5/5). Pertemuan itu dipandu Ketua Komisi I DPR
Ibrahim Ambong.
    Tokoh LSM yang hadir di antaranya Koordinator Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ori Rachman dan Direktur
Imparsial Munir. Perwakilan masyarakat Aceh yang tidak
mengatasnamakan organisasi tertentu itu dipimpin Jamalul Abidin.
    Ori Rachman mengatakan, proses perdamaian di Aceh melalui
Kesepakatan Penghentian Permusuhan (COHA) harus direspons dengan
baik. "Rencana operasi militer merupakan langkah mundur dan melanggar
Kesepakatan Penghentian Permusuhan yang baru berjalan lima bulan,"
kata Ori.
    Munir menambahkan, bandul politik sekarang telah berubah jauh dan
bahkan lebih galak dibanding Orde Baru, yaitu keinginan kuat
melaksanakan operasi militer. Padahal, yang dihadapi bukan saja
Gerakan Aceh Merdeka, tetapi juga sekitar 4 juta orang yang
membutuhkan rasa aman.
    Padahal, kata Munir, masih ada sejumlah pertanyaan jika operasi
militer dilaksanakan, yaitu apakah operasi militer akan efektif
dibanding dialog.
    Jamalul Abidin mengatakan jika polisi dan tentara meninggal di
Aceh merupakan risiko tugas mereka di Aceh. Apabila anggota GAM yang
terbunuh, itu sudah merupakan risiko perjuangan GAM. Namun, yang
menjadi korban adalah masyarakat sipil yang tidak mendapat
perlindungan dari negara.
    "Menurut kami sesungguhnya Pemerintah Republik Indonesia ini
tidak memiliki keikhlasan untuk menyelesaikan masalah Aceh, sesuai
keinginan rakyat," katanya.
    Ibrahim Ambong menjelaskan, berkaitan dengan masalah Aceh
tersebut DPR telah berkali-kali mengadakan pertemuan dengan
pemerintah. Prinsip DPR adalah tetap mengedepankan dialog damai
dengan GAM. Namun, jika COHA gagal maka Komisi I mendukung rencana
darurat (contingency plan).
    Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan asal Aceh Zulvan Lindan lebih menyoroti ketidakmampuan
pemerintah daerah menyelesaikan masalah.
   
Lanjutkan COHA
    Sementara itu, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat secara
terpisah menyatakan, kesepakatan Penghentian Permusuhan yang telah
ditandatangani pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di
Geneva, Swiss, 9 Desember 2002, harus diteruskan supaya tidak jatuh
banyak korban.
    "Jangan akhiri COHA dengan perang terbuka. Ini sangat berbahaya,"
ujar Direktur Eksekutif Elsam Ifdal Kasim dan Kepala Divisi Kampanye
Elsam, Amiruddin, dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (5/5).
    Penandatanganan COHA di Geneva dinilai Elsam sebagai pencapaian
tertinggi dalam penyelesaian masalah Aceh dalam dua puluh tahun
terakhir.
    "Dengan ditandatanganinya COHA, frekuensi konflik bersenjata dan
kekerasan terhadap penduduk sipil, serta perusakan fasilitas umum
menurun drastis," ujar Ifdal.
    Aktivitas penduduk sipil di Aceh, yang praktis mati 10 tahun
terakhir, mulai hidup kembali. COHA perlu diteruskan dengan dan perlu
ada penambahan yang sifatnya operasional.
    Elsam mengharapkan agar pemerintah mengkaji semua isi dan
pelaksanaan COHA. Selama proses pengkajian, pemerintah harus
mempertahankan COHA dan fasilitator Henry Dunant Centre (HDC) di Aceh.
    Pemerintah juga harus membersihkan praktik KKN di jajaran
Pemerintahan Provinsi NAD dan mendorong Pemda NAD terlibat penuh
dalam proses perdamaian di Aceh.
    Kepada GAM, Elsam mendesak agar GAM mendukung langkah-langkah
kebijakan Pemerintah Indonesia yang ingin melanjutkan proses
penyelesaian Aceh secara damai. GAM diminta tidak membuat manuver-
manuver politik yang akan mengganggu kebijakan pemerintah RI.
(bur/lok)