Perlindungan Masyarakat Sipil dan Sarana Publik di Aceh Selama Penerapan Darurat Militer di Aceh

SIARAN PERS KONTRAS
NO. 10/Kontras/V/2003
Tentang
Perlindungan Masyarakat Sipil dan Sarana Publik di Aceh
Selama Penerapan Darurat Militer di Aceh

Setelah jalan dialog antara Pemerintah RI dan GAM "dianggap" gagal, maka sejak 19 Mei 2003 pemerintah Indonesia menyatakan keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat militer di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melalui Kepres No. 28 tahun 2003. Sayang sekali, baru memasuki hari ketiga pemberlakukan darurat militer di Aceh, telah terjadi pembakaran gedung-gedung sekolah di berbagai wilayah Aceh dalam jumlah yang cukup tinggi, khususnya daerah Bireun dan Pidie.

Terhadap perkembangan penerapan status darurat militer di Aceh yang telah memasuki hari ketiga, Kontras merasa perlu menyampaikan beberapa catatan berikut, antara lain :

Berdasarkan pemantauan Kontras di lapangan, peristiwa pembakaran gedung-gedung sekolah di Aceh telah terjadi sejak hari pertama, yakni di wilayah Bireun sebanyak 12 gedung sekolah dan Aceh Besar sebanyak 6 gedung sekolah, tidak termasuk pembakaran kantor PLN setempat. Peristiwa yang menimbulkan ketakutan dan kerusakan sarana publik cukup parah ini menyebabkan ribuan murid sekolah tidak dapat melanjutkan proses belajar mengajar. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal ini bisa terjadi. Semestinya pemerintah memberikan perlindungan maksimal terhadap fasilitas publik seperti sekolah, apalagi pada saat ini tengah berlangsung ujian akhir para peserta didik. Tampaknya perlindungan/pengamanan lebih difokuskan terhadap kantor pemerintahan, bisnis dan industri ketimbang sarana publik sekolah.
Penerapan status darurat militer tidak serta merta melepaskan kewajiban pemerintah termasuk aparat keamanan dari kewajibannya untuk mematuhi prinsip-prinsip dasar perlindungan hak asasi manusia. Hal ini jelas dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan nasional (Undang Undang No.39/99 tentang Hak Asasi Manusia dan UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia), termasuk kewajiban pemerintah terhadap prinsip-prinsip hukum internasional terutama Konvensi Penyiksaan yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia (UU No.5 tahun 1998). Dalam hal ini pemerintah harus menjamin bahwa aparat keamanan dan aparat penegakan hukum lainnya yang terlibat dalam setiap bentuk penangkapan atau penahanan, telah terlatih sehingga kemungkinan terjadinya penyiksaan bisa dihindari. Termasuk menginvestigasi setiap tuduhan penyiksaan, dan selanjutnya menjamin bahwa korban penyiksaan dapat mencari dan memperoleh pemulihan.
Berkenaan dengan hal tersebut, langkah-langkah penting yang patut diperhatikan adalah sebagai berikut:

Menghentikan terjadinya pembakaran terhadap sekolah-sekolah di Aceh serta mencegah kemungkinan terjadinya perusakan sarana publik lainnya. Penguasa Darurat Militer Daerah harus mencari dan menemukan para pelaku yang melakukan pembakaran tersebut, siapapun pelakunya. Langkah ini penting agar tidak melahirkan ketakutan dan ketidakpercayaan yang sangat besar dari masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat. Bukan mustahil salah satu pihak telah menggunakan perusakan fasilitas publik sebagai alat propaganda bagi kepentingan masing-masing, yang sebenarnya bertentangan dengan hukum Humaniter dalam perlindungan fasilitas publik seperti rumah sakit, sarana ibadah dan pendidikan.
Memberikan perlindungan hukum dan jaminan keamanan terhadap seluruh anggota masyarakat sipil, aktifis organisasi non pemerintah dan kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan termasuk para jurnalis dan tenaga medis yang bekerja di Aceh. Mereka jelas harus memperoleh jaminan perlindungan dari ancaman intimidasi, pelecehan dan ancaman fisik sesuai dengan perundang-undangan nasional dan norma lainnya.
Melindungi sejumlah anggota keluarga masyarakat baik yang saat ini tengah melakukan upaya pencarian terhadap anggota keluarganya yang hilang dan belum kembali maupun yang mengupayakan pertanggungjawaban atas kasus yang dialaminya. Sebab, penerapan darurat militer tidak berarti pemerintah dapat menghentikan upaya pengusutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah Aceh.
Demikian hal ini disampaikan. Terima kasih.

Jakarta, 21 Mei 2003

Badan Pekerja Kontras

Usman Hamid
Anggota Presidium