Imparsial Dan Kontras Mengingat Penguasa Darurat Militer Di Aceh Untuk Menghormati Kegiatan Politik

KONFRENSI PERS
No. 08 / KP / 2003

 

Imparsial Dan Kontras Mengingat Penguasa Darurat Militer Di Aceh Untuk Menghormati Kegiatan Politik Warga Aceh Dan Menjamin Keselamatan Fasilitas-Fasilitas Sipil .

 

Tiga hari pelaksanaan operasi militer di Aceh, pelbagai fasilitas publik talah hancur dibakar dan beberapa warga sipil telah menjadi korban dalam pertikaian anatara GAM dan TNI. Pada hari kedua status darurat militer, dilaporkan kurang lebih 183 gedung sekolah dibakar dan kurang lebih lima warga sipil tewas. Tidak ada satupun pihak yang mau bertanggung jawab, yang ada hanyalah sikap saling tuding antara TNI dan GAM.

Tiga hari status darurat militer, panglima darurat militer, Mayjen Endang Suwarya, mengatakan akan menindak aktifvitas politik dari aktivis LSM dan Mahasiswa di Aceh. Dia mengancam akan melakukan penangkapan terhadap aktivis-aktivis SIRA, SMUR dan Kontras Aceh yang dianggap “simaptisan” GAM, Aktivis LSM Srikandi, Cut Nur Asikin, bahkan telah ditangkap dan ditahan. Saat ini, ia bahkan telah dinyatakan sebagai tersangka “makar” dengan ancaman hukuman mati.

Imparsial ( The Indonesiaan Human Rights Watch ) dan Kontras mendesak Penguasa Darurat Militer agar :

  1. Membedakan aktivitas bersenjata dari aktivitas politik. Bahkan dalam pemberlakuan darurat sekalipun, ada sejumlah kebebasan dan hak dasar yang bersifat non-derogable (tidak boleh dikurangi). Satu diantaranya adalah hak terhadap kebebasan berpikir dan berkeyakinan, termasuk keyakinan politik. Non-derogable rights terhadap kebebasan berpikir dan berkeyakinan ini sudah menjadi hak konstitusional warga negara Indoneisa, sejak ia diakui dan dijamin perlindungannya oleh konstitusi kita hasil amandemen kedua, tahun 1999. (Pasal 28 e Ayat 2 : “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.)
  2. Penguasa Darurat Militer harus bertanggung jawab terhadap fakta berupa pembakaran sekolah-sekolah di Aceh yang terjadi semasa pemberlakuan darurat militer di Aceh. Siapapun pelakunya, pembakaran gedung-gedung sekolah itu adalah bukti kegagalan dari penguasa darurat militer untuk melindungi fasilitas-fasilitas sipil.

Imparsial dan Kontras dengan ini :

  1. Mengutuk semua tindakan pembakaran fasilitas-fasilitas publik dan penembakan terhadap warga sipil ( Non Combatan ), karena bertentangan dengan konvensi jenewa 49 tentang perlindungan orang-orang sipil diwaktu perang dan juga bertentangan dengan Konstitusi Republik Indonesia.
  2. Menuntut agar Penguasa Darurat Militer melindungi dan menjamin aktivitas politik setiap warga aceh yang dilakukan secara damai.
  3. Menganggap bahwa Presiden Megawati bertanggung jawab dalam alur command responsibility karena semua pelanggaran dalam situasi darurat perang itu sebagian diakibatkan oleh tidak adanya perintah yang jelas dalam Keppres No. 28/2003 untuk melindungi non-derogable rights dan fasilitas-fasilitas sipil.

Jakarta, 22 Mei 2003