Tajuk Rencana: MENGAPA HARUS ADA AKSI PENYERANGAN DAN KEKERASAN

    TERUS terang kita merasa kaget terhadap peristiwa penyerangan
terhadap kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
serta kantor Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia. Kita menyayangkan
dan mengecam ketika tindakan itu diikuti dengan kekerasan.
   
    Tindakan puluhan orang yang mengaku dari Kelompok Pemuda Panca
Marga, dilakukan karena ketidaksenangan mereka terhadap pernyataan
Kontras maupun PBHI terhadap penolakan operasi pemulihan keamanan di
Aceh.
    Pada mulanya, mereka mencoba berdialog dan menyampaikan keberatan
terhadap sikap Kontras dan PBHI, yang dinilai hanya memojokkan
TNI/Polri. Namun kemudian situasinya ternyata berubah menjadi
pemukulan dan perusakan terhadap kantor bersama dua lembaga swadaya
masyarakat itu.
   
    BAHWA ada perbedaan pendapat tentunya merupakan hal yang biasa.
Namun ketika kemudian yang muncul sikap emosional dan tindakan di
luar kendali kepada mereka yang dianggap tidak memiliki nasionalisme,
tentunya tidak bisa kita benarkan.
    Apalagi kemudian ukuran yang dipergunakan untuk mengukur
nasionalisme seseorang adalah bisa atau tidaknya menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Sebab lagu kebangsaan kita itu bukanlah
lagu yang mudah dinyanyikan. Apalagi dalam situasi tegang seperti
yang dihadapi Ketua Presidium Kontras Ori Rachman.
   
    KITA menyayangkan, ketika kita harus bersatu untuk menyelesaikan
persoalan Aceh, kita justru terpecah. Sebab, sejak awal kita
mengingatkan bahwa persoalan Aceh ini merupakan persoalan kita
bersama sebagai bangsa.
    Karena ini merupakan persoalan kita bersama, seharusnya semua
tenaga dan pikiran, kita curahkan untuk mencari jalan keluar terbaik
bagi penyelesaian Aceh. Bukan justru kita berkelahi sendiri di dalam,
sehingga akhirnya keinginan untuk menyelesaikan persoalan yang
sebenarnya, malah tidak pernah bisa tercapai.
   
    BERULANGKALI terjadi, tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa,
tidak membuat kita justru menjadi solid. Kita malah asyik dengan diri
kita masing-masing, berkelahi di antara kita, saling menyalahkan di
antara kita.
    Kita bisa sebut misalnya kasus Bom Bali. Ketika peristiwa itu
terjadi, di mana puluhan saudara kita menjadi korban di antara 192
orang yang tewas, kita bukan malah memperkuat kebersamaan. Kita
justru saling tuduh, saling membuat skenario sendiri, dan akhirnya
hanya terjadi perang kata-kata.
    Padahal bangsa lain, ketika terjadi musibah besar yang dialami
negara mereka, semua orang saling merapatkan barisan. Kepentingan
nasional menjadi sesuatu yang diutamakan dan semua orang kemudian
berada di belakang pimpinan nasional.
   
    KITA rupanya bukan tipe bangsa seperti itu. Kebersamaan bukanlah
sesuatu yang harus kita jaga.
    Banyak di antara kita merasa tidak hebat kalau mendukung
kepentingan nasional. Orang makin dianggap hebat kalau bisa melawan
kemapanan.
    Jangan salah sangka, kita bukan ingin membuat semua harus
seragam. Apalagi kemudian menanggalkan sikap kritis dan melarang
adanya oposisi.
    Yang ingin kita ingatkan, seharusnya platform dasarnya sama.
Bahwa dengan demokrasi itu kita harus mencapai kemakmuran bersama.
    Kalau pemahamannya sama, maka apa pun yang dilakukan harus dengan
pengertian, with understanding. Kita tetap bisa mengkritik, kita
berhak untuk beroposisi, tanpa harus membuat orang lain salah terima,
apalagi menjadi sakit hati.
   
    SEORANG Thailand pernah mengatakan, dirinya sangat mengagumi
bangsa Indonesia. Bangsa ini merupakan bangsa pejuang, bangsa yang
berani untuk berkelahi (fighting nation).
    Hanya saja perjuangan yang dilakukan bangsa ini rupanya
keterusan. Bangsa ini berkelahi tidak hanya saat merebut kemerdekaan,
tetapi juga berkelahi sendiri setelah merebut kemerdekaan.
    Menyakitkan memang komentar itu. Namun kita harus menerima karena
kenyataannya memang seperti itu.
   
    SEKARANG ini seharusnya kita sama-sama kembali ke inti persoalan.
Intinya adalah ada kesulitan yang sedang dihadapi saudara kita di
Aceh.
    Berpuluh-puluh tahun mereka merasa diperlakukan secara tidak
adil. Mereka diperlakukan secara kasar.
    Mereka berteriak dan menuntut perhatian. Era reformasi menangkap
keluhan itu dan kemudian mencoba memenuhinya. Dihasilkanlah Undang-
Undang Nanggroe Aceh Darussalam, yang memberikan otonomi khusus
kepada rakyat Aceh itu untuk mengelola daerahnya sendiri.
    Sementara otonomi khusus itu sedang dilakukan, ternyata ada pihak-
pihak di Aceh yang menolak semua itu. Mereka menuntut kemerdekaan dan
bahkan untuk itu mereka siap memilih mengangkat senjata.
   
    BERBAGAI upaya damai sudah dilakukan. Jalur diplomatik dan
perundingan sudah dilaksanakan. Namun semua itu gagal mencapai hasil
seperti yang diharapkan.
    Ketika semua upaya itu gagal, tentunya tidak ada pilihan lain
kecuali digunakan kekuatan militer. Presiden Megawati Soekarnoputri
sebagai pemegang mandat kekuasaan negara mengambil keputusan politik
untuk itu.
    Segala konsekuensi politik akibat keputusan itu tentunya sudah
diperhitungkan. Semua itu tentunya kelak akan dipertanggungjawabkan
kepada seluruh rakyat.
    Kita tentunya harus menghormati keputusan politik itu. Sekarang
ini yang perlu kita lakukan adalah mengawal agar tidak terjadi
penyimpangan. Tujuan akhir yang harus dicapai bukan hanya terjaganya
keutuhan NKRI, tetapi rakyat Aceh harus memiliki masa depan yang
lebih baik.
    Itulah tugas yang harus kita pikul bersama. Bukan malah kita
ribut sendiri, berkelahi sendiri, sehingga akhirnya malah membuat
kita semua bisa celaka.