“SWEEPING” WARGA ACEH BENTUK TINDAKAN FASIS

Surabaya, Kompas
    Sweeping terhadap warga Aceh yang terjadi di sejumlah wilayah di
Indonesia merupakan bentuk tindakan fasis dan diskrimatif. Dampak
dari pelaksanaan darurat militer di Nanggroe Aceh Darussalam itu
mestinya tak perlu terjadi, karena tiap orang memiliki hak yang sama
untuk hidup dengan tenang.
    Hal itu dikatakan Ori Rahman, Ketua Presidium Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, di Surabaya hari Kamis
(12/6). "Jangan mengusahakan keamanan dengan cara menimbulkan
keresahan," ujar Ori.
    Sweeping menunjukkan dampak darurat militer tidak hanya secara
langsung menimpa warga Aceh yang berada di NAD, tapi juga yang tidak
berada di Aceh.
    Sementara itu, Direktur Peduli Indonesia Syafruddin Ngulma
Simeulue menyatakan kekhawatirannya sweeping bisa menjadi cara
pemerintah untuk "menghabisi" aktivis dengan memanfaatkan isu Aceh.
Ia sendiri mengaku pernah mengalami teror yang dikaitkan dengan Aceh.
Istri Syafruddin pernah didatangi polisi Mojokerto, 23 Mei lalu.
    "Polisi itu meminta fotokopi KTP (kartu tanda penduduk) dan kartu
keluarga kepada istri saya, saat saya sedang tidak di rumah. Malamnya
polisi lain datang, meminta hal sama dan menanyakan kapan saya
meninggalkan Aceh," ujarnya.
    Syafruddin juga pernah dihubungi pihak kecamatan, yang menanyakan
hal serupa. Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jawa
Timur itu menuturkan, ia sudah meninggalkan Pulau Simeulue di
Provinsi NAD sejak 22 tahun silam. "Saya tidak mengerti, mengapa saya
terkena sweeping dan ditanya tentang hal yang sudah 22 tahun lalu.,
ujarnya.

Keamanan guru   
    Secara terpisah, Persatuan Guru Republik Indonesia meminta
pemerintah agar memberi jaminan keamanan kepada guru di Aceh, yang
belakangan ini semakin terancam kekerasan atau pembunuhan. Tanpa
jaminan keamanan memadai, akan semakin banyak guru yang keluar dari
Provinsi NAD.   
    "Dalam beberapa tahun ini, sudah 500 guru keluar dari Provinsi
NAD. Guru yang tewas di Aceh selama beberapa tahun ini juga sudah
mencapai 115 orang. Pemerintah harus memberi perhatian soal ini, "
ujar Ketua Umum PGRI Muhammad Suraya, Kamis.   
    Selain memperhatikan pembangunan gedung sekolah yang dibakar,
pemerintah seharusnya juga memperhatikan nasib para guru.(IDR/mba)