Pengadilan terhadap Aktivis Mahasiswa: GILIRAN IQBAL DIVONIS LIMA BULAN

Jakarta, Kompas
    Setelah menjatuhkan vonis terhadap beberapa aktivis mahasiswa
yang dituduh menghina Presiden, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hari
Senin (16/6) kembali menjatuhkan hukuman lima bulan penjara terhadap
M Iqbal Siregar (36), Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPI) Jakarta.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Cornel
Sianturi menyatakan Iqbal terbukti menghina Presiden Megawati
Soekarnoputri saat berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, 15 Januari
2003. Vonis hakim itu dinilai kuasa hukum Iqbal sebagai lonceng
kematian demokrasi dan kembalinya rezim Orde Baru.
    Vonis lima bulan yang dijatuhkan hakim Cornel Sianturi itu lebih
ringan daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum Arnold Angkouw, yang
akhir Mei lalu menuntut agar Iqbal dihukum 10 bulan penjara. Hukuman
tersebut hampir sama dengan masa tahanan yang dijalani Iqbal, yakni
sekitar empat bulan tiga minggu.
    Iqbal didampingi penasihat hukumnya dari LBH Jakarta. Hakim
Cornel Sianturi menyatakan Iqbal terbukti melanggar Pasal 134 KUHP.
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, Iqbal terbukti
menghina Presiden Megawati Soekarnoputri pada saat unjuk rasa di
Istana Merdeka. Dalam unjuk rasa tersebut Iqbal terbukti membawa
gambar Presiden Megawati yang kedua matanya ditutup lakban hitam.
Pada bagian atas gambar itu terdapat tulisan "Buronan Rakyat".
    Gambar tersebut diangkat terdakwa dan ditunjukkan kepada
masyarakat yang berada di sekitar lokasi unjuk rasa, sambil
mengatakan, "Inilah Presiden yang mengecewakan rakyat." Terdakwa
kemudian meletakkan gambar Presiden di jalan dan dilindas mobil yang
dikemudikan saksi Nazaruddin dan sepeda motor yang dikendarai saksi
Badrul Munir. Perbuatan tersebut menurut hakim telah merendahkan
wibawa Presiden.
   
Tak menggali fakta
    Menanggapi vonis tersebut, Iqbal menyatakan masih akan pikir-
pikir apakah akan mengajukan banding atau tidak.
    Meski demikian, ia menilai, putusan dalam putusan majelis hakim
banyak sekali pertimbangan dan fakta di lapangan yang tidak
terungkap. "Jadi saya sangat mengharapkan, jangan sampai orang yang
berbeda pendapat di era reformasi ini diadili lagi. Sebenarnya yang
diadili hari ini adalah ideologi, di mana orang-orang yang ingin
mengkritisi pemerintahan diadili," ujarnya.
    Menurut Iqbal, dalam menjatuhkan putusan, seharusnya majelis
hakim menggali apa sebab, motif atau latar belakang demonstrasi itu,
tetapi itu tidak dilakukan. Ia menuturkan, demonstrasi yang dilakukan
GPI bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Jabotabek adalah aksi
yang mendukung kepentingan rakyat, karena ada kebijakan pemerintah
yang menaikkan harga BBM, tarif listrik dan telepon.
   
Kematian demokrasi
    Dihubungi Kompas secara terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid melihat,
langkah Megawati yang menggunakan instrumen hukum untuk menghukum
aktivis bersuara kritis merupakan langkah mundur. "Fenomena itu
menunjukkan pemerintahan Megawati tidak suka akan kritik," kata Usman.
    Ditanya bagaimana dengan cara kritik yang dilakukan mahasiswa,
Usman melihat, cara itu sah-sah saja sebagai wujud kemerdekaan
menyampaikan pendapat. "Demonstrasi di Amerika yang menentang Bush
juga dilakukan dengan cara yang kasar. Akan tetapi, Bush tidak
mengambil tindakan polisional," ujar Usman.   
    Taufik Basari, kuasa hukum Iqbal, menilai Pasal 134 KUHP yang
dijadikan dasar untuk menghukum Iqbal sudah tidak relevan dengan
kondisi saat ini, karena bertentangan dengan asas demokrasi. "Secara
filosofis pasal tersebut bertentangan dengan semangat demokrasi.
Ternyata hakim hanya melihat pasal itu dari segi yuridis formal, dan
tidak melihat hukum dari sisi sosiologis maupun filosofis," tutur dia.
    Vonis terhadap Iqbal, lanjut Taufik, merupakan peringatan akan
kematian demokrasi di Indonesia. "Selamat datang neo Orde Baru.
Hukuman terhadap orang-orang yang mengkritik, dilakukan Orde Baru.
Dengan demikian pemerintah sekarang merupakan neo Orde Baru," ucapnya.
    Sebaliknya, JPU Arnold Angkouw tidak banyak berkomentar dengan
vonis tersebut. Ia hanya menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan
terhadap Iqbal sudah sesuai dengan perbuatan yang dia lakukan.
Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa sebagai ekspresi dari kebebasan
berpendapat. "Masyarakat boleh berpendapat, tetapi jangan melanggar
ketentuan," tandasnya. (SON/bdm)