TIDAK SAH, PENGGALIAN KUBURAN MASSAL OLEH TNI

Jakarta, Kompas
    Hasil penggalian kubur (ekshumasi) yang dilakukan TNI tidak bisa
dijadikan alat bukti yang sah di pengadilan, jika tidak melibatkan
penyidik dan ahli forensik. Pembongkaran kuburan dengan tujuan
membongkar suatu kejahatan adalah wilayah kewenangan polisi sebagai
aparat yang ditunjuk dalam operasi penegakan hukum di Aceh.
    "Kalau dipakai untuk bahan ke pengadilan, kelihatannya agak
sulit. Karena dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan
penyidikan, dan mungkin tidak punya surat perintah penyidikan," kata
Direktur I Keamanan Transnasional Badan Reserse Kriminal Polri
Brigjen Arianto Sutadi, di sela seminar tentang penggalian kuburan
massal di daerah darurat militer, di Jakarta, Kamis (10/7).
    Menurut Arianto, meskipun penggalian dilakukan secara hati-hati
sehingga barang bukti tidak rusak, tapi keabsahannya sebagai barang
bukti akan dipertanyakan.
    "Apa dasar penggaliannya, mana surat perintah penyidikannya, mana
berita acaranya, dan sebagainya," kata Arianto.
    Ia menjelaskan, di daerah darurat militer, kewenangan penggalian
kuburan massal yang tujuannya untuk mencari terangnya perkara atas
dugaan terjadinya kejahatan terhadap jiwa manusia, pada dasarnya
tetap ada pada polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum,
dan hakim yang mengadili perkara.
    Namun, kata Arianto, bukan berarti Penguasa Darurat Militer tidak
mempunyai kewenangan mengendalikan pelaksanaan penggalian
kuburan. "Justru pihak Penguasa Darurat Militer wajib melakukan
tindakan perlindungan atau pengendalian keamanan untuk menjamin agar
proses penggalian kuburan berjalan lancar. Adapun secara teknis,
pelaksanaan penggalian kuburan dilaksanakan oleh aparat yang
profesional, yaitu penyidik dan tenaga ahli," paparnya.
   
Salahi kewenangan
    Hal senada juga dilontarkan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid. Tindakan TNI
membongkar kuburan massal di Aceh dinilai menyalahi hukum dan di luar
batas kewenangannya. Pembongkaran kuburan yang diduga sebagai hasil
kejahatan adalah wilayah kewenangan polisi sebagai aparat yang
ditunjuk dalam operasi penegakan hukum di Aceh.
    "Pembongkaran kuburan massal bukan bagian dari operasi pemulihan
keamanan, namun bagian dari operasi penegakan hukum. Jadi, tindakan
TNI yang membongkar kuburan massal di Aceh merupakan abuse of power
dan melanggar hukum," ujar Usman Hamid di Jakarta, Kamis kemarin.
    Menurut Usman, UU No 23/1959 yang menjadi payung pemberlakuan
darurat militer di Aceh sama sekali tidak memberi wewenang kepada TNI
untuk membongkar kuburan.
    Sesuai KUHAP Pasal 133, 134 dan 135, penggalian mayat untuk
kepentingan hukum adalah wewenang penyidik atau polisi. Untuk tugas
itu, polisi harus pula meminta keterangan ahli kedokteran kehakiman.
    Para ahli, kata Usman, biasanya menggunakan metode dan teknik –
teknik tertentu untuk mengetahui sebab-sebab kematian dan
mengindentifikasi sisa tulang-belulang korban dan petunjuk kematian
lain.
    Usman menambahkan, langkah penggalian kuburan massal sudah
memiliki langkah-langkah sesuai kerangka hukum profesional. Langkah
tersebut diawali dengan proses investigasi awal (preliminary
investigation), penggalian lokasi yang diduga kuburan massal
(exhumanition of mass grave), prosesi laboratorium forensik
(laboratory works) sampai proses pelimpahan ke pengadilan hingga
penguburan kembali.
    Kalaupun TNI ingin ikut membantu proses hukum, kata Usman,
Penguasa Darurat Militer Daerah dapat melindungi lokasi yang diduga
sebagai kuburan massal. Atau TNI dapat melaporkan kepada kepolisian
untuk dilakukan penggalian.
    "Bila diduga kuburan itu sebagai kejahatan berat HAM, maka Komnas
HAM harus pula dilibatkan dalam penggaliannya," tandas Usman.
(SAH/LAM/WIS)