SELAMAT TINGGAL KOMNAS HAM

    LENGKAP sudah carut-marut wajah penegakan hukum Indonesia. Upaya
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia lewat Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998
untuk memanggil paksa beberapa perwira TNI bersaksi akhirnya kandas,
setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak memberi perintah
dimaksud. Hampir dapat dipastikan, langkah tim yang dipimpin
Salahudin Wahid itu akan berjalan perlahan, kalau tidak mau
disebutkan berhenti sama sekali.

    PERISTIWA itu adalah titik awal dari kemacetan kerja Komnas HAM
untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu lainnya. Gunung batu
terjal telah mengadang di depan Komnas HAM. Nyaris tidak ada celah
yang bisa dilewati selain mengebor atau menghancurkannya terlebih
dahulu. Sangat diperlukan figur perkasa seperti Mak Eroh dari
Pasirkadu, Tasikmalaya, yang begitu gigih membongkar batuan gunung
untuk dapat mengalirkan air ke sawah di desanya. Sayangnya, Dewan
Perwakilan Rakyat dan pemerintah seakan tuli dan buta melihat
persoalan ini.
                                 ***
   
    APAKAH penetapan PN Jakarta Pusat itu sudah benar? Entahlah.
Hakim tentu memiliki dasar untuk memutus sebuah perkara atau
permohonan. Hanya saja, apakah landasan keputusan itu sudah tepat,
sangat bisa diperdebatkan. Yang jelas, keputusan Ketua PN Jakarta
Pusat M Saleh, Senin (28/7), persis penjelasan Tim Advokasi TNI yang
disampaikan juru bicaranya Tommy Sihotang, tiga hari sebelumnya di
Markas Besar TNI, Cilangkap. Hakim dan Tim Advokasi TNI ternyata
berpandangan sama bahwa Pasal 95 UU No 39/1999 hanya berlaku sebatas
pelaksanaan fungsi pemantauan Komnas HAM.
    Landasan hukum keputusan Ketua PN Jakarta Pusat itu memang
tertera pada Pasal 94 dan Pasal 89 ayat (3) huruf c dan d UU No
39/1999 yang mengatur tugas pemantauan Komnas HAM. Oleh karena itu,
hakim berkeyakinan, pasal pemanggilan paksa tidak bisa dipakai untuk
memanggil saksi untuk penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM.
    Pasal 95 UU No 39/1999 tersebut selengkapnya berbunyi; Apabila
seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak
memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua
Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 95
menyebutkan; Yang dimaksud dengan ketentuan "perundang-undangan"
dalam pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan Ayat (2),
Pasal 141 Ayat (1) Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) atau
Pasal 167 Ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura.
    Entah karena kekhilafan atau karena ketidakmengertian DPR, ketika
membuat UU No 39/1999, RIB itu adalah reglemen tentang tugas
kepolisian dalam mengadili perkara perdata. Padahal, pelanggaran HAM
adalah perkara pidana. Penjelasan pasal ini juga menjadi alasan hakim
untuk menolak permohonan tadi.
    Dari kacamata UU No 39/1999, apa yang diputuskan Ketua PN Jakarta
Pusat seakan tampak benar. Namun sesungguhnya, bila ditilik lebih
jauh, ada sebuah mata rantai yang hilang. Rantai itu seakan tidak
tertangkap atau memang sengaja tidak digunakan untuk disambungkan
demi sebuah kepastian hukum.
    Mata rantai itu adalah hubungan sejarah yang tidak terpisahkan
antara UU No 39/1999, kasus Pelanggaran HAM Timor Timur, serta UU No
26/2000 tentang Pengadilan HAM.
    Pada waktu UU No 39/1999 diundangkan tanggal 23 September 1999,
Komnas HAM memang belum diberi wewenang untuk penyelidikan pro-
yustisia. Komnas HAM hanya memiliki wewenang pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi.
    Kewenangan pro-yustisia itu muncul setelah ada desakan
internasional untuk mengadili pelaku pelanggaran berat HAM kasus
Timtim. Presiden Habibie membuat Perpu No 1/1999 untuk keperluan
penyelidikan pro-yustisia oleh Komnas HAM. Perpu itu kemudian ditolak
oleh DPR, namun sebagai gantinya dibuatkan UU No 26/2000 tentang
Pengadilan HAM tanggal 23 November 2000.
    TNI yang ketika itu masih terpojok di tengah cercaan, tudingan,
dan makian dalam era reformasi, mengikuti seluruh prosesi hukum kasus
pelanggaran HAM Timtim. TNI juga merelakan para perwiranya duduk di
bangku pesakitan tanpa protes berarti.
    Komnas HAM dengan lancar melakukan penyelidikan kasus Timtim pada
November tahun 1999, dan hasilnya diserahkan kepada Kejaksaan Agung
pada 20 Januari 2000. Tanggal 1 September 2000, Kejaksaan Agung
mengumumkan kepada publik daftar tersangka TNI/Polri.
    Tanggal 21 Maret DPR resmi mengajukan permintaan kepada Presiden
dan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengeluarkan Keppres No 53/2001
tanggal 23 April 2001 tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk
Timtim. Keppres itu kemudian diubah Presiden Megawati lewat Keppres
baru No 96/2001. Waktu itu, tidak ada perdebatan soal Pasal 95 UU No
39/1999. Tidak ada pula protes soal Pasal 43 UU No 26/2000.
    Namun situasi sudah berubah, sementara kelemahan UU No 26/2000
dan UU No 39/1999 tidak pernah direvisi walau sudah lama diteriakkan
Komnas HAM serta aktivis HAM. Wajar bila sekarang kelemahan UU
tersebut dipakai untuk menghindar. Alasannya klasik, apakah untuk
menegakkan hukum kita harus melanggar hukum.
                                   ***   
   
    TANPA berpretensi mencari siapa yang benar dan salah, penolakan
TNI terhadap permintaan Komnas HAM untuk bersaksi adalah buah dari
Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Timtim. Banyak fakta bahwa Pengadilan Ad
Hoc yang digelar di PN Jakarta Pusat mampu "mengaduk-aduk hati dan
mengharu-biru" perwira menengah sampai perwira tinggi TNI/Polri.
Pengadilan itu pula yang membuat hati "orang kuat" negara ini luluh
lantak.
    Tekanan publik juga telah membuat beberapa perwira menengah dan
tinggi TNI/Polri yang menjadi terdakwa, tidak naik pangkat bertahun-
tahun. Tidak sedikit pula yang tidak menduduki jabatan bergengsi,
walau di masa lalu karier dan bintang mereka terlihat begitu
cemerlang.
    Sangat beralasan, akibat Pengadilan HAM itu pula, sekarang ini
para perwira TNI dan Polri tidak mau meladeni undangan Komnas HAM
walau hanya sekadar bersaksi. Langkah Komnas HAM memanggil saksi
TNI/Polri untuk peristiwa Trisakti-Semanggi serta Kerusuhan Mei 1998
juga tidak dilayani.
    Pembentukan Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998, menurut
Tim Advokasi TNI, tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 43 Ayat (2) UU No 26/2000. Pejabat atau mantan pejabat yang
akan dipanggil oleh Tim Ad Hoc dari kalangan TNI berhak untuk tidak
memenuhi panggilan tersebut. Rumusan Pasal 43 UU No 26/2000, menurut
Tim Advokasi TNI, sudah cukup jelas dan tidak kontroversi.
    "Pada prinsipnya pemberlakuan asas retroaktif terhadap
pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum UU No 26/2000 diundangkan.
Harus ada keputusan politik dari DPR," ujar Sihotang, juru bicara Tim
Advokasi TNI.
    Sihotang tentu boleh-boleh saja mengatakan Pasal 43 itu tidak
kontroversial. Namun, pasal itulah yang justru menjadi sumber
pertikaian antara Komnas HAM dan TNI yang berujung pada permohonan
pemanggilan paksa dari Ketua PN Jakarta Pusat tadi.
    Pasal yang kontroversial itu ada pada Pasal 43 Ayat (2) yang
menyebutkan: Pengadilan HAM Ad Hoc… dibentuk atas usul Dewan
Perakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu
dengan Keputusan Presiden.
    Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 43 Ayat (2) disebutkan: Dalam
hal DPR RI mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc, DPR
mendasarkan pada "dugaan" telah terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti
tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini.
    Apakah Pasal 43 dan penjelasannya itu membuat jelas? Tidak.
    Menurut Tim Advokasi TNI, yang mulanya dimotori pengacara senior
Adnan Buyung Nasution, maksud Pasal 43 itu meminta DPR untuk
mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc terlebih dahulu kepada
Presiden. Latar belakangnya, agar tidak setiap pejabat atau instansi
termasuk Komnas HAM bebas menentukan sendiri untuk menyelidiki kasus-
kasus masa lalu sebagai pelanggaran HAM. Pengadilan pelanggaran HAM
masa lalu adalah peristiwa politik, sehingga hanya DPR sebagai
representasi politik rakyat yang boleh membukanya.
    Nasution adalah salah seorang anggota tim perumus UU No 26/2000.
Wajar bila dia tahu persis Pasal 43 memang menjadi perdebatan di
antara anggota tim waktu itu. Namun, bukan berarti apa yang
disampaikan Nasution menjadi sebuah kebenaran mutlak.
    Karena, Munir-Ketua Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) waktu itu yang juga anggota tim perumus (bersama
Nasution)-memiliki pandangan lain. Menurut dia, DPR juga tidak bisa
serta-merta meminta membuka Pengadilan HAM Ad Hoc kepada Presiden
karena DPR mesti melewati proses pendahuluan. Dugaan sebuah
pelanggaran berat HAM mesti dilakukan lewat sebuah penyelidikan. Dan,
satu-satunya lembaga yang berhak menyelidik pelanggaran berat HAM
adalah Komnas HAM. Tugas itu tertuang dalam Pasal 18 UU No 26/2000.
    Setelah Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan
yang cukup atas sebuah peristiwa pelanggaran HAM, hasilnya
disampaikan kepada penyidik. Penyidik dalam kasus pelanggaran berat
HAM adalah kejaksaan Agung sesuai bunyi Pasal 21 UU No 26/2000.
    Bila penyidikan menemukan bukti cukup, kata Munir, maka Kejaksaan
Agung akan menyerahkan hasilnya kepada DPR untuk ditindaklanjuti. Di
saat itulah DPR mengusulkan kepada Presiden untuk membuat Keputusan
Presiden tentang pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc.
    Apa yang disampaikan Munir, sebenarnya persis seperti metodologi
ilmiah yang dipelajari siswa sekolah lanjutan atas. Sebuah teori
ilmiah senantiasa diawali dengan observasi, hipotesis, eksperimen,
dan kesimpulan (teori).
    Metodologi ilmiah itu tentu bisa juga diterapkan dalam kasus yang
diduga pelanggaran berat HAM. Observasi dilakukan oleh Komnas HAM
dengan mengumpulkan keterangan berupa data-data dan saksi-saksi.
Hasil observasi Komnas HAM kemudian dianalisis untuk dibuat hipotesis
awal.
    Analisis lengkap dilanjutkan Kejaksaan Agung untuk membuat
hipotesis akhir. Hipotesis akan dieksperimenkan  di pengadilan
melalui ujian ketat oleh jaksa, penasihat hukum, dan hakim. Setelah
melewati ujian itu, barulah hakim dapat mengambil kesimpulan. Itu
adalah sebuah alur metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
    Sekarang mari ikuti alur berpikir Tim Advokasi TNI yang
menginginkan Pengadilan HAM Ad Hoc terbentuk lebih dahulu. Bukankah
itu berarti langkah metodologi langsung dimulai pada tingkat
eksperimen, baru kemudian dilanjutkan dengan observasi, hipotesis,
dan seterusnya.
    Tim Advokasi TNI boleh saja mengatakan, tidak ada yang salah dari
UU No 26/2000 dan UU No 39/1999, karena memang pasal-pasal UU
tersebut bisa diartikan seperti itu.
    Namun, apakah produk DPR yang tidak memenuhi kaidah ilmiah itu
mesti dipertahankan?
    Rasanya, sebagai insan yang mengerti hukum dan menginginkan
kemajuan pelaksanaan perlindungan HAM di negara ini, akan lebih baik
bila semua pihak kembali kepada ilmu pengetahuan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
    Kecelakaan sejarah telah dilakukan DPR ketika membentuk Panitia
Khusus memanggil para saksi dalam kasus Trisakti dan Semanggi. DPR
memang boleh saja membentuk Panitia Khusus atau Panitia Kerja atau
panitia-panitia lain di dalam lingkup kewenangannya.
    Namun harus diingat, untuk menentukan sebuah dugaan pelanggaran
HAM bukanlah kualifikasi kerja dalam kewenangan DPR. Bila itu
dilakukan, DPR sudah menerobos masuk wilayah hukum. Ini adalah
wilayah lembaga yudikatif.
    Munir mengatakan, dengan menyimpulkan sendiri dugaan pelanggaran
berat HAM, DPR akan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem
peradilan kriminal (criminal justice system) negara ini. DPR menjadi
sejajar dengan polisi, Komnas HAM, kejaksaan, serta hakim.
    Dalam dunia internasional, Dewan Keamanan PBB selalu membuat
komisi penyelidik (inquiry commision) untuk menyelidiki peristiwa
yang diduga pelanggaran berat HAM di sebuah negara. Bila dugaan itu
memiliki bukti-bukti awal yang cukup, baru dibentuk Pengadilan Ad Hoc
Internasional (International Tribunal Ad Hoc).
    Kalau ada yang menuding pemerintah ini tidak serius menuntaskan
pelanggaran HAM atau tragedi kemanusiaan masa lalu, rasanya memang
benar. Lihat saja, DPR atau pemerintah seakan menutup telinga dan
membutakan mata melihat pertarungan terbuka antara Komnas HAM dan
TNI. Padahal, hanya dengan kekuasaan merekalah perundang-undangan
untuk penegakan HAM dapat ditegakkan.
    Meskipun Komnas HAM saat ini berencana menggunakan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk memaksa para
saksi dalam penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM, hampir pasti
itu hanya akan menjadi macan ompong.
    Kalaupun kita berasumsi bahwa Pasal 10 UU No 26/2000-yang menjadi
dasar pemanggilan paksa sesuai KUHAP diakui-Komnas HAM juga tidak
dapat melakukannya sendiri. Komnas HAM harus meminta bantuan
kepolisian. Pertanyaannya, apakah kepolisian mau memanggil paksa
saudara tuanya di TNI atau anak anggotanya sendiri untuk digiring ke
Komnas HAM untuk menjadi pesakitan. Dengan kondisi saat ini, rasanya
permintaan itu mustahil dipenuhi kepolisian.
    Poling yang dipublikasikan Kompas Senin (28/7) agaknya dapat
dipakai sebagai representasi betapa buruknya kondisi pelaksanaan
penegakan HAM di negara ini. Bila tahun 2001 yang menganggap buruk
62,7 persen, dalam perkembangan tahun 2002 menjadi 67,6 persen, dan
terakhir pada tahun 2003 ini semakin menjauh menjadi 71,5 persen.
    Tetapi, peduli amat dengan poling. Selamat tinggal korban
pelanggaran HAM masa lalu. Selamat tinggal Komnas HAM.
(Syahnan Rangkuti)