TAP MPRS NO XXV SOAL KOMUNIS TAK BISA DIPAKAI

Jakarta, Kompas
    Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan bahwa Ketetapan
MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tidak dicabut, maka MPR harus menyatakan
tap tersebut tidak bisa dijadikan dasar hukum di pengadilan. Artinya,
ketetapan itu tetap tidak bisa dipergunakan sebagai dasar hukum
sebuah tindakan.
    Selain itu, pemerintah juga harus merehabilitasi nama para korban
peristiwa tahun 1965 yang dianggap terlibat dalam Partai Komunis
Indonesia (PKI). Apalagi jika pemerintah sudah mengesahkan UU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
    Demikian sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dan peneliti Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) Harry Tjan Silalahi dalam
diskusi bertema "Fobia Komunis Wakil Rakyat" yang digelar Radio
Namlapanha, Kamis (7/8).
    Asvi menegaskan, Tap MPRS itu sering kali dijadikan cantolan
hukum kebijakan diskriminatif terhadap mereka yang diduga terlibat
PKI. Salah satu contoh adalah kasus Ny Nani Nurani (62), eks tapol
1965 yang menggugat Camat Koja Jakarta Utara di Pengadilan Tata Usaha
Negara karena camat menolak mengeluarkan kartu tanda penduduk (KTP)
seumur hidup.
    Dalam putusannya, PTUN memenangkan Nani, Juli 2003. Eks tapol itu
berhak mendapatkan KTP seumur hidup. Namun, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta mengajukan banding dengan memakai dasar Tap MPRS No XXV/1966.
    "Seharusnya tap ini dicabut, tetapi kalau MPR telah memutuskan
untuk tidak mencabut tap ini, seharusnya MPR membuat rekomendasi agar
tap ini tidak bisa lagi dijadikan dasar hukum," kata Asvi.
    Hal senada ditegaskan Harry Tjan Silalahi. Menurut Silalahi, tap
ini tidak boleh menjadi dasar hukum. Semua kewenangan yang diderivasi
lewat aturan perundang-undangan di bawahnya harus ditinjau kembali
dan diamandemen.
    Menurut Asvi, cara lain yang harus dilakukan adalah segera
mengesahkan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Selain untuk mengungkap kebenaran, karena kisah
G30S/PKI banyak yang direkayasa, rekonsiliasi juga penting untuk
menghilangkan dendam.
   
Tidak serius lindungi HAM
    Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
menilai, Sidang Tahunan MPR 2003 tidak memberi perhatian serius
kepada perlindungan HAM.
    "Khususnya penanganan kasus pelanggaran HAM di Aceh selama
pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer) maupun setelahnya. Padahal,
agenda ini jelas dimandatkan MPR kepada presiden," kata Koordinator
Badan Pekerja KontraS Usman Hamid, Jumat.
    Usman menjelaskan, GBHN yang ditetapkan dalam Sidang Umum tahun
1999 memerintahkan pemerintah menyelesaikan kasus Aceh secara
berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan
pengadilan yang jujur bagi para pelanggar HAM, baik selama
pemberlakuan DOM maupun setelah DOM. Begitu pula dalam penyelesaian
kasus pelanggaran HAM di Irian Jaya lewat proses pengadilan yang
jujur dan bermartabat seperti disebutkan Tap MPR No IV/1999.
    Ketetapan lain yang telah dikeluarkan MPR juga memerintahkan
adanya pemisahan yurisdiksi peradilan umum dan militer seperti
disebutkan hasil Sidang Tahunan MPR 2000.
    Ternyata, lanjut Usman, pelaksanaan ketetapan-ketetapan itu tidak
dijalankan konsisten. Meskipun telah ada pemisahan yurisdiksi
peradilan umum dan militer, nyatanya peradilan militer masih
digunakan sampai sekarang. (WIN/VIN)