Undang-Undang Antiterorisme: YANG DIREVISI ADALAH PASAL-PASAL PENCEGAHAN

Jakarta, Kompas
    Pasal- pasal yang menyangkut kegiatan pencegahan terhadap aksi
terorisme dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme akan direvisi dan diamandemen.
Setelah itu, pemerintah akan mengajukan perubahan UU Antiterorisme
tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat sesegera mungkin.
    Yang direvisi adalah pasal-pasal yang menyangkut kegiatan
pencegahan, yaitu mulai dari Pasal 9 sampai Pasal 16 Undang-Undang
(UU) Nomor 15 Tahun 2003 dan Pasal 26 yang berkaitan dengan
penyidikan yang menggunakan laporan intelijen.
    "Itu mesti kita lihat ulang agar mencukupi untuk kepentingan
pencegahan dan dalam realitasnya dapat dilaksanakan dengan baik di
lapangan," kata Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan
(Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono seusai rapat koordinasi
bidang polkam (rakor polkam) di Jakarta, Kamis (14/8).
    Yudhoyono menyatakan, proses penelaahan yang mendalam dari
pemerintah akan segera dilakukan. Yang bertanggung jawab atas revisi
pasal-pasal tersebut adalah Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
(Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra, dibantu jajaran pemerintah dan
pihak lain yang dipandang perlu. Pada saatnya, revisi tersebut akan
dikomunikasikan kepada DPR.
    Yudhoyono mengingatkan, UU No 15/2003 merupakan pengesahan dari
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu itu dibuat pada
situasi darurat pascapeledakan bom di Bali.
    "Terjadi pemahaman antara pemerintah dan DPR bahwa memang UU No
15/2003 perlu kita lihat kembali dan dibahas secara mendalam sehingga
kita memiliki UU Pemberantasan Terorisme yang betul-betul kita
pikirkan secara mendalam dan cocok dengan situasi dan efektif untuk
menangkap, mencegah, dan memberantas terorisme," kata Yudhoyono.
    Pada pasal-pasal pencegahan, mulai dari Pasal 9 hingga Pasal 16
UU No 15/2003, disebutkan bagaimana langkah- langkah dapat dilakukan
kepada mereka yang membawa, menyimpan, menyelundupkan senjata dan
amunisi, bahan kimia, kemudian menyiapkan dana, menggunakan harta
kekayaan untuk tujuan terorisme, merencanakan, mempersiapkan tindakan
terorisme.
    Mestinya dengan pasal-pasal itu sudah dapat dilakukan langkah-
langkah pencegahan, tetapi dalam pasal-pasal itu perlu ada kejelasan
atau ketegasan.
    Demikian juga menyangkut Pasal 26, yakni bahwa penyidikan bisa
menggunakan laporan intelijen. Elaborasi dari pasal itu perlu disusun
kembali dalam UU Antiterorisme dan betul-betul dapat diwujudkan di
lapangan.
    Keperluan untuk menelaah, meninjau kembali, dan menyempurnakan UU
No 15/2003 didasari kebutuhan obyektif agar dapat dilaksanakan secara
efektif.
    "Tidak perlu ditakutkan ini akan eksesif, terlalu jauh, atau
dianggap akan mengancam kehidupan demokrasi, melanggar hak asasi
manusia. Semua faktor akan dipertimbangkan dan di dalam alam
demokrasi, publik boleh tahu proses penyempurnaan UU ini, termasuk
proses implementasi dari UU tersebut," papar Yudhoyono.
   
Masih kurang
    Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra seusai rakor polkam
mengatakan, aspek-aspek preventif dalam UU No 15/2003 dirasakan masih
kurang.
    "Ini sangat berbeda dengan ISA (Internal Security Act) yang lebih
banyak menyangkut security dan stabilitas politik. UU ini tidak ada
aspek politiknya. Semata-mata adalah tindakan pencegahan terorisme
yang mengancam nyawa dan harta benda orang banyak," katanya.
    Sejak disahkan menjadi UU, menurut Yusril, pemerintah sudah punya
komitmen dengan DPR bahwa pemerintah akan menyampaikan revisi. Cukup
waktu bagi pemerintah untuk merevisi, terlebih setelah ada pengalaman
kasus peledakan bom di Bali, pengalaman preventif, dan melakukan
penyidikan hingga penyidangan kasus bom Bali.
    "Kita tahu di mana kelemahan-kelemahan UU No 15/2003 ini.
Kelemahan-kelemahan itu perlu kita perbaiki dan kita tidak perlu
apriori," ujar Yusril.
    Soal waktu penahanan, menurut Yusril, bukan masalah jumlah
harinya, namun persoalan bagaimana prosedur intelijen itu bisa
digunakan untuk melengkapi bukti permulaan yang cukup.
    "Sampai saat ini belum ada orang ditahan berdasarkan Pasal 26 UU
No 15/2003 karena bukti permulaan yang cukup sudah terpenuhi.
Mendapatkan bukti yang cukup itu sangat sulit, sehingga kadang-kadang
aspek preventifnya itu sangat sulit dilakukan," kata Yusril.

Peningkatan kapasitas
    Selain rencana revisi pasal-pasal UU No 15/2003, hal lain yang
juga dibahas dalam rakor polkam adalah perlunya peningkatan kapasitas
secara nasional. Perlu peningkatan kapasitas apakah itu manusianya,
pendidikan dan pelatihan, sistemnya, peralatannya, dana yang
diperlukan, dan lain-lain.
    "Minimal kita memiliki sebuah kapasitas yang memungkinkan dapat
melaksanakan tugas dengan baik. Tidak mungkin tugas yang begitu berat-
menghadapi teroris yang begitu banyak akal, siasat dan cara-cara yang
digunakan, memiliki jaringan internasional yang luas, teknologinya
cukup canggih-kita hadapi dengan kapasitas yang di bawah standar,"
papar Yudhoyono.
    Oleh karena itu, hal ini akan dibahas di tingkat pemerintahan dan
pada saatnya nanti dengan DPR akan dibahas tentang bagaimana negara
bisa memberi anggaran yang memadai untuk memberantas tindak pidana
terorisme secara nasional, terutama menyangkut alat pemerintah dan
alat negara.
    Setelah meninjau perangkat undang-undang dan kapasitas nasional,
disadari implementasi di lapangan sangat menentukan. Yang harus
ditingkatkan ke depan bukan hanya apa yang dilakukan jajaran
pemerintah, aparat keamanan, atau aparat penegak hukum, tetapi juga
menyangkut sinkronisasi, koordinasi, dan integrasi dengan masyarakat
luas.
    "Tiga hal itu yang dibahas dan secara bulat disetujui pada
tingkat (Menko) Polkam dan tentu akan kami bawa segera ke sidang
kabinet setelah 17 Agustus ini, agar tidak ada sesuatu yang vakum dan
semuanya bisa dilakukan sesegera mungkin. Kita tidak bisa menunggu
karena kejahatan terorisme selalu memilih waktu, tempat dan cara,
yang kalau kita tidak mengimbangi dengan intensitas yang sama, maka
kita pada pihak yang kalah," kata Yudhoyono.

Evaluasi kinerja BIN
    Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Asmara
Nababan di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa sebelum melakukan revisi
UU No 15/2003, DPR harus memanggil pejabat Badan Intelijen Negara
(BIN) untuk memeriksa dan mengevaluasi kinerjanya sebagai koordinator
intelijen. Berulangnya aksi teroris di Indonesia terutama disebabkan
lemahnya koordinasi dan rendahnya kapasitas intelijen dan polisi,
bukan karena kurangnya kewenangan mereka.
    "Jangan tergesa-gesa melakukan revisi dalam keadaan kalut seperti
sekarang ini. Lakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap kinerja
aparat yang telah diberi payung UU No 15/2003. Untuk itu, BIN harus
diperiksa dan ditanya apa kelemahan dan kesulitannya. DPR harus
berinisiatif memanggil BIN dengan melibatkan mereka yang memiliki
kompetensi dan independen," ujar Nababan.
    Meski dilihat sebagai langkah mundur, langkah evaluasi ini,
menurut dia, lebih baik. Pemeriksaan dan evaluasi atas kinerja BIN
harus dilakukan secara jujur dan terbuka.
    Sedangkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan
(Kontras), Lembaga Pengawas HAM Imparsial, Cetro, Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Partai Nasionalis
Banteng Kemerdekaan (PNBK), praktisi hukum Todung Mulya Lubis, serta
rohaniwan Romo Mudji Sutrisno SY menyambut baik langkah pemerintah
membatalkan rencana menerbitkan ISA.
    Dalam pernyataan bersama, mereka mengatakan ini merupakan
preseden yang baik dalam kehidupan demokrasi, khususnya karena
memperlihatkan bahwa ideal demokrasi yang dibayangkan masyarakat
seharusnya selalu menjadi batasan bagi kebijakan dan praktik politik
pemerintah.
    Meski demikian, masyarakat harus terus mengawasi langkah
pemerintah untuk mengamandemen UU Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Harus dicegah setiap kemungkinan membuat UU tersebut
menjadi pengganti ISA. Untuk menanggulangi terorisme, pemerintah
hendaknya mengedepankan kebijakan preventif, bukan pre-emptive.
(lok/inu/win)