Revisi UU Antiterorisme: KEWENANGAN INTELIJEN TIDAK AKAN DIPERBESAR

Jakarta, Kompas
    Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme-khususnya Pasal 26 tentang penyidikan
menggunakan laporan intelijen-sama sekali tidak akan memperbesar
wewenang intelijen seperti yang dikhawatirkan sejumlah pihak. Yang
akan dilakukan lebih pada penajaman pada masalah laporan intelijen.
    "Karena masih ada anggapan bahwa selama ini laporan intelijen
tidak diperlukan, tetapi setelah terjadi kasus Marriott, maka
intelijen dikecam," ujar Direktur Jenderal Peraturan Perundang-
undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Abdulgani
Abdullah, Selasa (19/8), di Jakarta.           
    Oleh karena itu, kata Abdulgani, dalam revisi UU tersebut akan
dipertajam laporan intelijen dengan jalan menambah klausul dalam
Pasal 26 Ayat (1), yaitu "Penyidik untuk memperoleh bukti permulaan
yang cukup, ditambah untuk dimulainya penyidikan, dapat menggunakan
laporan setiap intelijen". Sebelumnya, dalam pasal tersebut hanya
disebutkan, "Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik
dapat menggunakan setiap laporan intelijen".
    Ditegaskan oleh Abdulgani, "Jadi klausul itu ditambah, dan tidak
menambah kewenangan intelijen untuk melakukan penangkapan yang lain.
Tetapi malah menambahkan bahwa laporan intelijen yang dimaksud harus
diotentikasi oleh Kepala Polri, setelah itu baru disampaikan ke
pengadilan negeri untuk diputuskan apakah bisa menjadi laporan atau
tidak," ujarnya.   
    Abdulgani meminta masyarakat untuk tidak perlu khawatir karena
revisi UU tersebut tidak akan bisa memperbesar kewenangan intelijen
untuk melakukan hal yang besar seperti penangkapan atau
penahanan. "Tidak perlu khawatir, tidak ada kewenangan baru bagi
intelijen untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Tidak
ada," katanya.
    Ia juga mengakui, proses revisi terhadap UU No 15/2003 memakan
waktu yang cukup panjan. Namun, ia menyatakan, akhir September 2003
revisi tersebut sudah selesai dan akan diserahkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat.

Kewenangan intelijen
    Pada hari yang sama Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid meminta
kepada pemerintah agar tidak memperbesar kewenangan intelijen. Yang
perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi atas kerja intelijen dan
kepolisian yang kerap tidak terkoordinasi dengan baik.
    "Harus tetap diwaspadai upaya melakukan revisi atas UU No 15/2003
yang tetap membawa esensi penerapan ISA (Internal Security Act)
dengan memperbesar kewenangan intelijen, dalam hal ini BIN (Badan
Intelijen Negara) menjadi aktor penegak hukum," ujar Usman, kemarin.
    Karena kelemahan pelaksanaan UU No 15/2003 itu terletak pada
koordinasi aparat intelijen BIN dengan polisi sebagai aparat
penegakan hukum, penambahan kewenangan kepada intelijen tidak sedikit
pun akan mengurangi potensi ancaman kekerasan melalui aksi terorisme.
    "Fungsi yudisial yang dimiliki kepolisian tidak dapat begitu saja
diambil alih oleh intelijen karena lemahnya koordinasi di antara
kedua lembaga itu," tegasnya. (son/inu)