KUBURAN MASSAL YANG BERSERAKAN

HUJAN deras mengguyur kawasan hutan Situkup di Desa Kempes, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, menambah sunyi pembongkaran kuburan massal siang itu. Tidak tampak satu pun aparat polisi atau militer saat pembongkaran mulai dilakukan.

Mula-mula pohon kelapa dirobohkan. Sejumlah cangkul dan sekop dihunjamkan untuk mengupas permukaan tanah. Tidak lama alat-alat besi itu bekerja. Tangan-tangan telanjang segera menggantikan peralatan untuk mengorek tanah lumpur lebih dalam. Disaksikan puluhan orang yang berlindung dari guyuran hujan di bawah payung, satu demi satu tengkorak dan tulang belulang manusia bermunculan.

Penggalian kuburan massal korban eks peristiwa tahun 1965 di hutan Situkup, 16 November 2000, berhasil menemukan 24 kerangka manusia. Jumlah tersebut lebih banyak dibandingkan dengan yang diinformasikan sebelumnya, yakni 21 kerangka.

Informasi tentang keberadaan kuburan massal itu terdengar samar-samar. Itu pun baru didapatkan setelah selama belasan tahun Ny Sri Muhayati dengan gigih mencari jejak almarhum ayahnya. Menurut informasi yang terkumpul, ayahnya pernah mendekam di penjara di Yogyakarta pada tahun 1966 bersama 20 orang lain yang dituduh terlibat dalam gerakan 30 September. Ke-21 orang itu kemudian dipindahkan ke penjara Wonosobo. Tidak berapa lama kemudian mereka digelandang ke sebuah hutan, dieksekusi tanpa proses pengadilan. Informasi mengenai kuburan massal itu diperoleh Muhayati dari penuturan seorang tahanan kriminal yang diperintah tentara pada waktu itu untuk menggali kuburan massal tersebut.

Pembongkaran kuburan massal di Situkup sama sekali tidak melibatkan polisi sebagai aparat penyidik. "Polisi baru kelihatan setelah beberapa saat pembongkaran dilakukan. Mereka hanya berdiri di kejauhan. Mereka kemudian membantu mengamankan lokasi agar masyarakat tidak merangsek ke lokasi kuburan," kata Lexy Junior Rambadetta, wartawan lepas televisi yang merekam peristiwa pembongkaran kuburan massal itu dalam sebuah film dokumenter.

Kuburan massal Situkup dibongkar hanya berbekal surat kuasa dari keluarga korban kepada Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP), selembar surat rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan sejumlah izin lisan dari berbagai instansi. Pembongkaran itu memang melibatkan seorang ahli forensik senior, dr Handoko, yang dihadirkan dari Jakarta.

Tulang-tulang itu kemudian dianalisis di laboratorium forensik RSUP Sardjito, Yogyakarta. Polisi tidak terlibat dalam proses tersebut sampai tulang-tulang itu dikuburkan kembali.

"Aku semula tidak setuju pembongkaran itu dilakukan. Informasinya sangat kabur. Lokasinya pun masih samar-samar," kata Ester Indahyani, Koordinator Yayasan Kasus Perdamaian, yang ikut memimpin peristiwa pembongkaran kuburan massal di Situkup.

Proses pembongkaran kuburan massal Situkup tidak menghadapi hambatan berarti. Keributan barulah muncul saat kerangka tersebut hendak dimakamkan kembali di Wonosobo, empat bulan kemudian. Massa bersenjata tajam menghadang iring-iringan keluarga korban. Spanduk-spanduk berisi penolakan rencana pemakaman itu dipasang di sekitar lokasi yang direncanakan dipakai sebagai tempat penguburan. Sejak itulah pembongkaran massal korban peristiwa 1965 menjadi kontroversi.

Aura perlawanan itu dirasakan betul oleh Suryo Wicaksono saat memimpin penggalian kuburan massal korban peristiwa 1965 di Luweng Tikus, Blitar, Jawa Timur. Saksi-saksi sulit ditemukan. Survei geologi pendahuluan gagal menemukan indikasi adanya kuburan massal. Baru setelah dilakukan berbagai pendekatan, foto-foto dan gambar konstruksi goa dibuat, saksi-saksi mulai bermunculan. Bahkan, mereka berhasil menemukan saksi warga yang pernah menjadi eksekutor yang
bekerja di bawah ancaman.

"Menurut keterangan saksi-saksi, jempol para korban diikat di belakang badan. Mereka kemudian dipukul dengan linggis atau kayu di bagian belakang kepala dan ditendang masuk dalam goa. Seorang tentara ikut menjadi korban setelah ditabrak oleh salah seorang yang akan dieksekusi," tutur Wicaksono.

Juni 2002, sebuah tim yang melibatkan 11 ahli panjat goa datang kembali. Batu-batu di dasar lubang diangkat. Setelah mereka mengangkat batu-batu dari lubang sedalam 1,5 meter, sejumlah tulang belulang ditemukan. Setidaknya tiga kerangka manusia dikumpulkan, tetapi kerangka jenazah itu urung diangkat ke permukaan karena khawatir dihadang massa dan preman yang berada di sekitar lokasi goa. Penggalian pun segera dihentikan. "Saya hanya berhasil menyelundupkan
satu tulang rahang keluar dari goa," kata Wicaksono.   

KUBURAN massal adalah bukti terjadinya tragedi kemanusiaan. Hal tersebut melekat dalam berbagai peristiwa konflik bersenjata, antarsesama rakyat ataupun antara rakyat dan negara. Itu terjadi melintasi wilayah negara.

Berbagai daya dan upaya dilakukan untuk meneliti dan membongkar kuburan massal karena keberadaan kuburan massal dapat menjadi bukti penting kasus kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan.   

Sejumlah ahli forensik bekerja keras untuk membongkar dan menyelidiki kuburan massal di Argentina, Etiopia, Irak, Meksiko, Guatemala, Srebrenica, Kamboja, dan berbagai wilayah dunia lainnya.

Di Tanah Air, selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, kabar tentang kuburan massal hanya terdengar samar-samar. Kisah tentang kuburan massal sekitar peristiwa 1965 tertutup rapat sampai kekuasaan Orde Baru tumbang. Dalam peristiwa Tanjung Priok dan operasi militer di Aceh, keberadaan kuburan massal juga sayup terdengar sampai pembongkaran atas prakarsa Komnas HAM dilakukan. Peristiwa penyerbuan terhadap markas Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) kubu Megawati Soekarnoputri di Jalan Diponegoro, 27 Juli 1996, juga meninggalkan kabar tentang kuburan massal, meski sampai sekarang
tidak pernah ada bukti yang mengarah ke sana.

"Selama Orde Baru, kuburan massal ditutup-tutupi. Apa pun yang menyangkut masalah itu dilarang diberitakan. Koran-koran tidak pernah mengumumkan pembantaian sekitar 1965, meski sepanjang tahun 1965-1967 masalah pembantaian dan mayat-mayat yang keleleran berulang kali disebut dalam pidato-pidato Bung Karno," kata Asvi Marwan Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Menurut Asvi, belum ada literatur atau riset yang menyebutkan adanya kuburan massal di Indonesia sebelum peristiwa 1965. Akan tetapi, peristiwa pembunuhan massal terjadi sejak zaman kolonial Belanda.

Kuburan massal, menurut pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir, bukan indikator kejahatan karena penguburan secara massal bisa dilakukan akibat kesulitan mengidentifikasi korban tewas dalam jumlah besar. Kuburan massal menjadi penting ketika itu melekat pada proses pembunuhan di luar hukum yang ingin ditutup-tutupi.

Sebagai diskursus, kuburan massal bukan tema lama. Yang lebih dipersoalkan ada-tidaknya peristiwa pembantaian terhadap manusia. "Karena itu, jumlah menjadi tidak penting. Dua atau tiga kerangka jenazah yang ditemukan pun menjadi penting bila itu mengindikasikan pembantaian secara massal," kata Munir.

Isu kuburan massal menghangat kembali setelah tim Komnas HAM yang dipimpin MM Billah melakukan investigasi di Aceh. Informasi tentang kuburan massal di Aceh itu sempat mengundang reaksi keras dari kalangan pejabat pemerintah dan militer, meski belum ada tertuduh yang menyertai informasi tersebut.

Sampai sekarang pun masih ada kontroversi mengenai siapa yang secara hukum paling berhak melakukan pembongkaran kuburan massal yang diindikasikan terkait dengan pelanggaran HAM. Kontroversi itu tampaknya juga masih akan berlanjut. (P Bambang Wisudo)