Catatan Akhir Tahun Bidang Politik dan Hukum: KONFLIK DAN KEKERASAN YANG TAK KUNJUNG PADAM

    SEBUAH harapan diawalinya sebuah era baru jalan nonkekerasan
dalam konflik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia pupus sudah.
Harapan itu muncul ketika pemerintah membuka mata, memilih cara-cara
damai, untuk menyelesaikan konflik di Aceh dan Papua. Di pengujung
2002, Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani
kesepakatan penghentian permusuhan. Harapan melambung. Kesepakatan
itu diharapkan akan menjadi akhir lingkaran kekerasan yang terjadi di
Aceh selama puluhan tahun. Akan tetapi, jalan damai itu hancur dalam
sekejap. Perang dikobarkan. Di Papua, janji otonomi khusus diingkari,
bahkan wilayah itu kini dipecah menjadi tiga provinsi.

    SABANG dan Merauke merupakan ujung dari mata rantai konflik dan
kekerasan yang terjadi di Tanah Air. Belasan ribu orang telah mati
sia-sia, dari Aceh hingga Papua, selama lima tahun masa transisi yang
kini makin tidak jelas arahnya. Kekerasan dan pembunuhan atas dasar
etnisitas dan keyakinan politik hingga sekarang belum berhenti
sepenuhnya. Teror bom terjadi di pusat ibu kota negara. Pembunuhan
terhadap petani yang memperjuangkan haknya atas sejengkal tanah terus
saja terjadi. Hak orang miskin atas penghidupannya diabaikan. Mereka
digusur secara paksa dengan menggunakan alat-alat kekerasan negara.
Nyawa manusia dicabut demi kemenangan politik dalam pemilu. Sekolah
pamong praja justru dijadikan sarang pembibitan budaya kekerasan.
Kelompok-kelompok milisi sipil dari berbagai partai politik tengah
bertarung dalam Pemilu 2004.
    Kekerasan seolah melekat dalam masyarakat Indonesia. Ia tidak
hanya muncul dalam peristiwa penting seperti peralihan kekuasaan,
tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Jamak terjadi
seorang tak bersalah mesti kehilangan nyawanya, dikeroyok hingga
mati, hanya gara-gara diteriaki maling. Setiap jam makan siang hampir
seluruh stasiun televisi di Jakarta menyiarkan ke pelosok Tanah Air
berita dan gambar-gambar yang mengeksploitasi darah dan mayat. Begitu
kuatnya impresi orang asing terhadap kultur kekerasan di Indonesia
hingga bangsa ini diidentikkan dengan kultur amuk yang kini telah
bergeser maknanya dalam kamus asing untuk menunjuk semua tindakan
brutal kekerasan yang membabi buta.
    Antropolog asal Belanda, Freek Colombijn, mengemukakan kultur
kekerasan di Indonesia berkembang tahun demi tahun. Akar sejarah
kekerasan itu bisa dilacak jauh ke belakang di masa lalu. Bahkan,
jauh ke sebelum kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto, rezim yang
sering dikaitkan sebagai sumber dari seluruh permusuhan menakutkan di
Indonesia. Menurut Cribb, genealogi kekerasan di Indonesia dapat
dilacak ke belakang sampai masa kolonial, bahkan sampai masa
prakolonial.
    Ketiadaan penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan,
penggunaan kekerasan secara eksesif oleh negara, dan dipergunakannya
persenjataan berat oleh negara untuk menghadapi warga negaranya
sendiri mengukuhkan gambaran kultur kekerasan yang ada di Indonesia.
Pembantaian terhadap mereka yang dituduh terkait dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI) 1965, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di
Timtim, Aceh, dan Papua, penembakan warga sipil dalam kasus Tanjung
Priok, sampai kasus Mei, Semanggi I dan II, tidak diselesaikan secara
serius atau bahkan dibiarkan berlalu. Kekerasan masih dipergunakan
secara eksesif untuk melawan gerakan masyarakat sipil, termasuk dalam
kasus penggusuran, kasus perburuhan, dan gerakan reclaiming tanah
yang dilakukan para petani yang tak memiliki lahan. Senjata berat
seperti tank dan pesawat tempur tidak hanya dipergunakan untuk
menghadapi ancaman eksternal, tetapi juga dipergunakan untuk
menghadapi gerakan separatisme.
   
    KASUS Aceh merupakan bukti kasatmata bahwa budaya kekerasan
mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia. Puluhan tahun konflik di
Aceh dicoba diselesaikan melalui pendekatan militer. Daerah operasi
militer diberlakukan selama belasan tahun, baru dicabut pada masa
pemerintahan BJ Habibie 1998. Ratusan orang menjadi korban kekerasan,
dari pemerkosaan, penghilangan paksa, sampai pembunuhan. Akan tetapi,
ketika pendekatan nonkekerasan untuk menyelesaikan kasus Aceh dicoba,
wacana segera didominasi oleh opini kegagalan implementasi
kesepakatan damai.
    Di Jakarta justru berkembang opini perlunya menghabisi gerakan
separatisme secara militer. Tokoh-tokoh pemerintah, elite politik di
Senayan, wartawan, hingga rakyat kebanyakan hampir serempak memadukan
suara mendukung operasi militer di Aceh. Di televisi, operasi militer
disajikan tidak ubahnya sebagai berita kriminal. Seolah-olah menjadi
orang Aceh adalah kejahatan. Karena itu, penghormatan harkat manusia
tidak perlu diberlakukan. Setiap orang Aceh, tanpa peduli apakah
mereka aktivis proreferendum, aktivis hak asasi manusia atau aktivis
organisasi nonpemerintah, ataukah rakyat jelata yang ketakutan
semuanya dipukul rata sebagai simpatisan dan pendukung Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).
    Konflik di Aceh sekaligus berbicara tentang dimensi kultural
dalam konflik. Kesamaan kultural dalam suatu kelompok, atas dasar
etnisitas atau agama, sering menjadi pemicu munculnya perlawanan
bersenjata untuk memperoleh otonomi kultural atau politik. Identitas
kultural merupakan sebuah sarana yang kuat untuk mengikat suatu
kelompok masyarakat untuk bertindak secara kolektif untuk mencapai
tujuan tertentu. Karena itu, etnisitas maupun agama menjadi instrumen
dalam konflik. Ketika identitas kultural itu bercampur baur dengan
perasaan ketidakadilan dalam perebutan sumber-sumber ekonomi dan
politik makin besar pula potensi konflik. Kombinasi antara identitas
kultural, marjinalisasi ekonomi dan politik, tidak hanya muncul dalam
bentuk gerakan separatisme seperti di Aceh dan Papua, tetapi manifes
dalam berbagai konflik komunal yang terjadi di Tanah Air. Namun,
aspek ekonomi dalam konflik tidak hanya terkait dengan marjinalisasi
suatu kelompok, tetapi juga ada faktor ketamakan dari para pihak yang
terlibat dalam konflik.
    Di samping penderitaan yang dialami masyarakat luas, konflik
selalu menjadi peluang ekonomi bagi sekelompok kecil orang. Konflik
memungkinkan kelompok-kelompok penganggur, orang-orang tak
berpendidikan, dan mereka yang tersisih pada saat normal memperoleh
privilese dalam masa konflik. Merekalah kelompok yang direkrut
sebagai anggota atau memimpin kelompok bersenjata. Namun, keuntungan
ekonomi dan politik yang diperoleh pada saat konflik bukan hanya
bersifat individual. Dari media, politisi, birokrasi, polisi, sampai
militer memperoleh keuntungan dari konflik.
    Birokrat memperoleh dana yang besar, tetapi bagaimana
pertanggungjawabannya masih bisa dipertanyakan. Polisi dan militer
akan memperoleh anggaran dalam jumlah besar dengan disetujuinya
operasi di daerah konflik. Peluang bisnis ilegal dari pengamanan,
jual beli senjata, penjarahan harta rakyat terbuka dalam suasana
konflik. Selama konflik Maluku, peluru dan senjata menjadi komoditas
transaksi. Peluru dan senjata dapat diperoleh dari aparat dengan
beberapa ribu rupiah atau dibarter dengan seekor burung langka.
Senjata dari masyarakat pun dikumpulkan dengan iming-iming ganti rugi
uang.
    Kekerasan dan konflik yang terjadi di beberapa daerah
bagaimanapun telah memberikan peluang bagi restorasi politik militer.
Sidharta Chandra dan Douglas Kemen dalam tulisannya di jurnal World
Politics (Oktober 2002) menyimpulkan bahwa posisi politik militer
Indonesia saat ini justru lebih kuat dibandingkan dengan ketika
militer berada di bawah Soeharto. Militer memperoleh kekuasaan
politik yang penting dari perannya sebagai pembela hak milik atas
pulau terpencil di Indonesia. Tidak heran sejak operasi militer di
Aceh, belanja militer meningkat pesat, suara kritis politisi terhadap
militer menghilang, agenda untuk memperkuat kontrol sipil atas
militer terkatung-katung. Sebaliknya, tokoh-tokoh yang berlatar
belakang militer bermunculan sebagai calon anggota legislatif dan
calon presiden. Bahkan mereka yang pernah dituding harus bertanggung
jawab dalam kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
    Tiga bulan masa kesepakatan penghentian permusuhan antara RI dan
GAM tinggal kenangan bagi masyarakat Aceh. Insiden kontak senjata
maupun jumlah korban tewas menurun drastis. Menurut data Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) per 7 Oktober
2003, sejumlah 342 warga sipil tewas, 94 luka-luka, dan 101 hilang.
Sedangkan data Polda Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan 319 tewas,
117 luka-luka, dan 108 hilang. Kepolisian juga menyebut data 816
anggota GAM tewas, 607 orang ditangkap, dan 466 orang menyerahkan
diri. Versi TNI per 25 September menyebutkan 304 warga sipil tewas,
140 luka-luka. Sedangkan jumlah anggota TNI yang tewas mencapai 52
orang dan Polri 11 orang. Di pihak GAM 839 tewas, 989 ditawan, dan
483 menyerah.
    Terhadap mereka yang menyerahkan diri, aparat keamanan melakukan
pembinaan di Neuheun sebanyak 380 orang dan Meulaboh sebanyak 120
orang. Sejumlah 142 kasus makar diproses secara hukum, 830 kasus
telah berada di tangan kejaksaan, dan 371 lainnya telah divonis.
Persoalan yang muncul adalah sempitnya akses pembelaan hukum bagi
mereka yang diduga terlibat GAM dan kekhawatiran. Dikhawatirkan pula
mereka yang pernah ditangkap atau menyerahkan diri akan mengalami
nasib seperti mereka yang pernah dituduh terlibat dalam PKI yang akan
mendapat stigma dan diskriminasi seumur hidup.
    Di Papua insiden kekerasan terjadi sepanjang 2003 meskipun tidak
menimbulkan jumlah korban yang eksesif. Akan tetapi, pada awal 2003
pemerintah Jakarta menebarkan bibit konflik baru di Papua dengan
dikeluarkannya Inpres Nomor I Tahun 2003 untuk memecah Papua dalam
tiga provinsi. Di lain pihak UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Papua tidak diimplementasikan secara konsisten. Padahal, UU
otonomi khusus itu pernah dipuji sebagai jalan kompromi yang orisinal
untuk menyelesaikan konflik dan meminimalkan gerakan separatisme di
wilayah itu. Koordinator Kontras Papua, Pieter Ell, memperkirakan
kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua pada 2004 akan meningkat
karena konflik elite daerah akibat pro-kontra pemekaran wilayah makin
terbuka. Menurut pemantauan Kontras Papua, saat ini milisi-milisi
sipil yang pernah terlibat di Timtim mulai masuk ke Papua.
    Ketika kekerasan dan konflik yang menghadapkan negara dan rakyat
cenderung makin intens, sepanjang 2003 konflik komunal yang terjadi
di berbagai daerah cenderung menurun. Maluku yang didera konflik
komunal sejak Januari 1999 dengan korban tewas antara 4.000 sampai
9.000 orang mulai tenang. Satu dua insiden kekerasan masih terjadi,
tetapi kehilangan daya tariknya bagi masyarakat. Di Poso sejak
Agustus 2003, insiden-insiden kekerasan secara sporadis terjadi di
beberapa wilayah. Insiden itu berupa penembakan, peledakan bom,
serangan kelompok bersenjata, maupun pembakaran bangunan dan rumah
milik warga. Pada akhir November lalu, empat korban tewas dan empat
lainnya luka- luka dalam penyerangan di Poso Pesisir dan Kecamatan
Ulu Bongka Pesisir. Akan tetapi, insiden-insiden itu didalangi oleh
kelompok-kelompok profesional bersenjata sehingga tidak bisa serta-
merta disamakan dengan konflik-konflik sebelumnya. Anehnya ketika
polisi dengan cepat bisa mengungkap kasus-kasus peledakan bom yang
dikaitkan dengan terorisme, berbagai insiden yang terjadi di Poso
lama bisa diungkap.
    Meredanya konflik komunal di berbagai daerah tidak mampu
menghapus identitas kekerasan yang melekat dalam bangsa Indonesia.
Kasus-kasus kekerasan bermunculan di berbagai daerah dilakukan oleh
negara. Penggusuran, konflik perburuhan, dan konflik agraria dihadapi
dengan alat-alat kekerasan negara. Sama persis dengan cara-cara yang
dipilih rezim otoriter Soeharto.
   
    PAKAR studi konflik dari Universitas Oxford, France Stewart,
menyebut empat kategori negara yang berpotensi konflik. Keempat
kategori itu adalah negara dengan pendapatan dan pembangunan
manusianya rendah, negara yang pernah terlibat dalam konflik serius
dalam 30 tahun sebelumnya, negara dengan tingkat perbedaan horizontal
yang tinggi, dan negara yang rezim politiknya berada dalam transisi
rezim represif menuju rezim yang lebih demokratis. Indonesia serta-
merta bisa masuk dalam keempat kategori itu sekaligus.
    Stewart menekankan perlunya kebijakan pencegahan dilakukan. Untuk
mencegah konflik, kata Stewart, beberapa kebijakan perlu dilakukan,
yakni koreksi untuk memperkecil perbedaan horizontal, memperkecil
fungsionalitas konflik, dan mempromosikan pembangunan adil dan
imparsial. Dari aspek ekonomi, upaya mengurangi perbedaan horizontal
itu dapat dilakukan dengan land reform dan kebijakan untuk
mempromosikan akses yang seimbang pada aset industrial dan
ketenagakerjaan. Pemberian akses seimbang ini termasuk kebijakan
kredit perbankan yang memberikan akses kepada semua kelompok dalam
masyarakat.
    Tindakan yang mesti dilakukan itu justru tidak dilakukan, bahkan
sebaliknya. Pilihan strategi pembangunan ekonomi yang mengabdi pada
kapitalisme global dan neoliberalisme yang pernah dilakukan pada masa
Orde Baru justru diperkuat kembali saat ini. Pertumbuhan ekonomi yang
mengandalkan kontribusi usaha-usaha besar dan konglomerasi justru
makin memperkuat perbedaan horizontal yang sering berkorelasi positif
dengan problem etnisitas. Jakarta merupakan contoh telanjang dari
sebuah kebijakan negara yang menutup mata terhadap penguatan
inklusivitas kelompok-kelompok ekonomi dalam masyarakat. Gubernur
Sutiyoso dengan gencar membangun etalase sepanjang Monas, Thamrin,
Sudirman. Puluhan miliar rupiah dibelanjakan untuk mempercantik
Monas, memugar patung Krisna, merenovasi Bundaran Hotel Indonesia,
dan bongkar pasang taman di sepanjang jalan itu.
    Tindakan afirmatif untuk memberdayakan kelompok-kelompok sosial
yang termarjinalkan secara ekonomi dan politik perlu dilakukan. Akan
tetapi, ketika upaya jangka panjang yang memerlukan komitmen yang
kuat dari para pemimpin negara, ancaman konflik yang terkait dengan
berbagai peristiwa politik ada di depan mata. Menjelang Pemilu 1999,
berbagai kelompok masyarakat dan media secara terbuka mengampanyekan
pemilu secara damai. Kampanye itu berhasil baik karena di tengah
konflik yang berkecamuk di berbagai daerah pada waktu itu,
pelaksanaan Pemilu 1999 berlangsung damai. Desakan pemilu damai itu
tidak muncul signifikan hingga saat ini. Bahkan jauh sebelum kampanye
Pemilu 2004 dilakukan, 26 Oktober lalu dua pendukung Partai Golkar
tewas dalam bentrok antara pendukung PDI-P dan Golkar di Singaraja,
Kabupaten Buleleng, Bali.
    Pemilu 1999 yang dipuji dunia internasional sebagai pemilu yang
demokratis dan damai, bila dicermati lebih dalam, ternyata media
untuk menebarkan dan memperkuat konflik komunal. Konflik Poso pada
awalnya sangat terkait dengan kompetisi elite lokal. Saat konflik
Poso meletus pertama kalinya Desember 1998, saat itu berakhir masa
tugas Bupati Arief Patangga.
    Perebutan kursi kepala daerah terjadi antara Sekwilda Yahya
Patiro dan Damsyik Ladjalani, keduanya tokoh Golkar. Akan tetapi,
Damsyik didukung PPP dan tokoh-tokoh Muslim dan Patiro didukung PDI-P
dan tokoh-tokoh Kristen. Keduanya gagal menjadi bupati yang dipilih
anggota DPRD hasil Pemilu 1999. Konflik memanas lagi saat sekwilda
baru mau ditunjuk. Seorang tokoh PPP mengancam akan ada kerusuhan
apabila Damsyik tidak ditunjuk sebagai sekwilda. Sebaliknya tokoh-
tokoh Kristen menuntut sekwilda dari kalangan mereka sebagai bagian
dari power sharing.
    Di Maluku, konflik etnis yang berlangsung selama empat tahun juga
dipengaruhi konflik elite lokal. Setelah Ikatan Cendekiawan Muslim Se-
Indonesia (ICMI) dibentuk sampai ke pelosok daerah, posisi politik
dan jabatan-jabatan birokrasi yang semula didominasi kelompok Kristen
di Maluku tergusur. Sejumlah laporan juga menyebutkan diembuskannya
sentimen antipendatang dilakukan dalam rangka mengatrol perolehan
suara PDI-P. Di Maluku Utara pembentukan Kecamatan Makian-Malifut
yang menjadi pemicu konflik di wilayah itu merupakan bagian dari
perebutan kekuasaan. Pembentukan provinsi, kabupaten, dan kecamatan
baru di berbagai daerah dalam banyak kasus terkait dengan penegasan
garis- garis etnisitas.
    Berakhir atau berkembang biaknya konflik dan kekerasan sedikit
banyak bergantung pada para komitmen pemimpin politik yang akan
berkompetisi dalam Pemilu 2004. Apakah mereka mempunyai kepedulian
untuk mempertahankan eksistensi Indonesia tanpa jalan kekerasan,
apakah mereka punya akal dan kreativitas untuk menyelesaikan konflik
dan ketidakpuasan yang terjadi di berbagai daerah dan dalam kelompok
masyarakat, apakah mereka mempunyai komitmen untuk mengurangi
perbedaan horizontal yang terjadi dalam masyarakat dengan
keberpihakan pada rakyat kecil? Ataukah sebaliknya, mereka memilih
mengeksploitasi sentimen- sentimen etnis dan agama demi kepentingan
jangka pendek diri sendiri dan kelompoknya untuk memperoleh suara
dalam pemilu. (P Bambang Wisudo)

"Kekerasan seolah melekat dalam masyarakat Indonesia. Ia tidak hanya
muncul dalam peristiwa penting seperti peralihan kekuasaan, tetapi
juga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat."

Image: Peta Korban Meninggal Karena Kekerasan di Indonesia
1998 – 2003