RUU KKR DINILAI UNTUNGKAN PELAKU PELANGGARAN HAM

Solo, Kompas
    Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) yang sedang digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dinilai lebih banyak menguntungkan pelanggar hak asasi manusia (HAM)
dibandingkan dengan korban. Pasalnya, banyak aspek dari RUU itu yang
dinilai tidak membela korban. Di antaranya adalah adanya aturan bahwa
hak korban, seperti hak reparasi dan kompensasi, baru diberikan
setelah amnesti dikabulkan.
    "Di dalam RUU tersebut disebutkan, amnesti bisa diusulkan dalam
komisi ini kepada presiden sehingga pelaku pelanggaran HAM bisa
memperoleh amnesti. Selain itu, dalam rancangan UU ini juga
disebutkan hak korban yang terdiri atas hak rehabilitasi, restitusi,
dan kompensasi baru bisa diberikan kepada korban ketika pelaku
pelanggaran HAM diberi amnesti oleh presiden," kata Mugiyanto, Ketua
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, Selasa (23/12).
    Mugiyanto tampil sebagai pembicara dalam seminar "RUU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi: Akankah Memberi Keadilan Bagi Korban
Pelanggaran HAM?" di Solo. Selain Mugiyanto, tampil juga Indri dari
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) serta
Wakil Ketua Paguyuban Korban Orde Baru, J Bronto.
    Menurut Indri, pemberian amnesti terhadap pelaku kejahatan serius
tidak relevan. Alasannya, sistem politik dan sistem peradilan yang
ada tidak cukup kompeten dan berwibawa. "Tidak ada alasan yang kuat
dan meyakinkan pelaku akan memilih membuat pengakuan jujur sebagai
cara memperoleh amnesti dibandingkan dengan diseret ke
pengadilan,"ujarnya.

Hanya formalitas
    Mugiyanto menambahkan, kesulitan lain yang dirasakan korban
pelanggaran HAM atau keluarganya adalah karena RUU KKR ini digunakan
sebagai pengganti proses di pengadilan, bukan sebagai pelengkap. Oleh
karena itu, tidak ada alat pemaksa yang membuat pelaku datang dan
melakukan pengungkapan kebenaran.
    "Kami tidak yakin komisi akan mengungkap kebenaran. Komisi
kebenaran, kan, tidak memiliki wewenang untuk menghukum pelaku dalam
mengungkapkan kebenaran. Dengan demikian, hanya menjadi formalitas
saja ketika datang ke KKR, sebab bisa saja mereka tidak mengatakan
apa-apa," kata Mugiyanto lagi.
    Selain itu, orang yang dinilai bertanggung jawab terhadap
pelanggaran HAM dinilai masih memiliki pengaruh yang kuat dalam
pemerintahan. Dengan kekuasaan serta uang yang mereka punyai,
dikhawatirkan akan mempengaruhi obyektivitas terhadap penanganan
kasus pelanggaran HAM. (IRN)