Kasus Trisakti dan Semanggi Mandek
Aktivis 1998: Kejagung dan DPR Tidak Bera

Jakarta, Kompas – Mandeknya pengungkapan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II dengan pernyataan Kejaksaan Agung bahwa kasus ini bukan pelanggaran hak asasi manusia berat, menunjukkan ketidakberanian politisi sipil, terutama mereka yang duduk di DPR, dan Kejaksaan Agung untuk menyeret para jenderal yang terlibat dalam kasus ini. Peristiwa yang telah menewaskan enam mahasiswa ini ternyata kalah dengan kompromi politik politisi sipil untuk mendapat dukungan militer.

Pernyataan ini dilontarkan aktivis Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred) Syafi’ Aliel’ha, pendiri Forum Bersama (Forbes) Antonius Aritonang, dan mantan tim asistensi kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II Fendi, Sabtu (6/3). “Kami marah dan jengkel. Betapa tidak, jelas-jelas korban ada, peluru ada, bukti ada, dan saksi terutama rekaman media yang ketika itu meliput juga ada, lha kok bisa-bisanya DPR dan Kejaksaan Agung bilang bukan pelanggaran HAM berat. Fakta itu sudah sangat jelas dan tidak dapat dimungkiri. Pernyataan Kejaksaan Agung itu sungguh keterlaluan,” tegas Syafi’.

Syafi’ juga mengatakan, para aktivis 1998 sama sekali tidak habis mengerti, persoalan yang sudah sangat jelas dan fakta-faktanya sangat kuat ternyata hanya dianggap sebagai sesuatu yang kecil dalam persidangan di Mahkamah Militer. “Pernyataan Kejaksaan Agung dan DPR itu justru menjadi bukti kuat ketidakberanian politisi sipil menjerat tentara. Bahkan, kini mereka disibukkan dengan mencari dukungan militer dalam Pemilu 2004. Ini sungguh memalukan. Itulah wajah penegakan hukum kita,” kata Syafi’ yang menjadi negosiator Famred pada saat peristiwa Semanggi I dan II.

Syafi’ mengatakan, meski Kejaksaan Agung (Kejagung) dan DPR menyatakan bahwa kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bukan pelanggaran HAM berat, kelompok mahasiswa akan terus mengejar jenderal yang harus bertanggung jawab atas kedua peristiwa itu.

Fendi, mantan tim asistensi kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, mengatakan bahwa argumen Kejagung soal tidak adanya bukti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) merupakan argumen yang mengada-ada. “Pelanggaran HAM berat itu ada dua unsur, yakni sistematis dan meluas. Nah, kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II memenuhi kedua unsur itu, serta didukung fakta yang kuat,” tegas Fendi.

Mahkamah Internasional

Antonius Aritonang, aktivis Forbes, juga menyatakan, DPR dan Kejagung terlalu takut untuk mengusut dan mengungkap kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. “Kejaksaan Agung tidak berani mengungkap ya karena Kejaksaan Agung dipimpin sosok seperti MA Rachman. Padahal, sewaktu dipimpin Marsillam Simandjuntak, kami melihat ada sinyal akan penuntasan kasus ini. Ternyata Marsillam keburu diganti MA Rachman, ya sudah hasilnya seperti yang sudah kami bayangkan,” jelas Aritonang.

Aritonang menjelaskan, sewaktu Marsillam menjabat sebagai Jaksa Agung, sinyal tersebut terlihat jelas. Pada saat itu, tambah Aritonang, Jaksa Agung memerintahkan agar Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat membuka kembali kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. “Keputusan bahwa kasus Trisakti dan Semanggi ini betul-betul sebuah kompromi politik. Ini jelas sekali,” katanya.

Aritonang menyadari, perjuangan kasus ini di dalam negeri telah menemui jalan buntu. Oleh karena itu, para mahasiswa akan memulai kampanye ke Mahkamah Internasional. (vin)