Siaran Pers Bersama
Tentang
Penolakan terhadap Calon Presiden dan Wakil Presiden Militer dan Kepolisian
(Aktif dan Purnawirawan)
Pada Pemilu 2004, peluang kebangkitan militerisme semakin besar. Pada pencalonan presiden dan wakil presiden, hampir semua partai politik mengumukan akan mencalonkan militer menjadi presiden atau wakil presiden. Parti Golkar sendiri secara resmi mencalonkan Wiranto, mantan Menhankam /Pangab semasa Orde Baru. Lalu Partai Demokrat mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono, yang pernah menjadi ajudan presiden Soeharto. Sementara beberapa partai politik sedang mempertimbangkan untuk menggandeng militer sebagai wakil presiden dengan berbagai alasan, termasuk kebutuhan akan "terciptanya stabilitas keamanan".
Kenyataan ini memprihatinkan para korban keluarga korban pelanggaran HAM. seolah mereka ingin ‘melupakan’ sejarah kelam masa lalu, dimana telah terjadi pealnggaran berat HAM. Sementara luka hati korabn dan keluarga korban belum juga tersembuhkan, negara juga lalai menunaikan tanggungjawabnya untuk menuntaskan kasus-kasus ini. Situasi ini semakin dipeburuk karena dari beberapa calon pemimpin negeri merupakan “politisi berdarah†yang terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Sehingga Presiden dan Calon Presiden yang besala dari militer †terlebih yang terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM †tidak layak menjadi pemimpin bangsa ini.
Sebagai bahan pertimbangan, kami mengajukan gambaran tentang calon Presiden dan Wakil Presiden RI, yaitu :
Atas dasar pertimbangan tersebut, kami yang tergabung dalam Solidaritas Kesatuan Korban Pelanggaran HAM (SKKP-HAM), dengan ini menyatakan :
Jakarta, 26 April 2004
Solidaritas Kesatuan Korban Pelanggran HAM (SKKP-HAM)
Korban dan Keluarga korban Pelanggaran HAM Kasus Trisakti, Semangg I dan II, Kasus Penculikan Aktivis dan Penghilangan Orang 1998, Kasus Tanjung Priok 1984, Kasus Mei 1998, Kasus Talangsari Lampung 1989
Kontras, Kapal Perempuan, LBH Apik, Imparsial, PBHI, ICW, KRHN, Kompak