Penolakan terhadap Calon Presiden dan Wakil Presiden Militer dan Kepolisian

Siaran Pers Bersama

Tentang

Penolakan terhadap Calon Presiden dan Wakil Presiden Militer dan Kepolisian

(Aktif dan Purnawirawan)

Pada Pemilu 2004, peluang kebangkitan militerisme semakin besar. Pada pencalonan presiden dan wakil presiden, hampir semua partai politik mengumukan akan mencalonkan militer menjadi presiden atau wakil presiden. Parti Golkar sendiri secara resmi mencalonkan Wiranto, mantan Menhankam /Pangab semasa Orde Baru. Lalu Partai Demokrat mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono, yang pernah menjadi ajudan presiden Soeharto. Sementara beberapa partai politik sedang mempertimbangkan untuk menggandeng militer sebagai wakil presiden dengan berbagai alasan, termasuk kebutuhan akan "terciptanya stabilitas keamanan".

Kenyataan ini memprihatinkan para korban keluarga korban pelanggaran HAM. seolah mereka ingin ‘melupakan’ sejarah kelam masa lalu, dimana telah terjadi pealnggaran berat HAM. Sementara luka hati korabn dan keluarga korban belum juga tersembuhkan, negara juga lalai menunaikan tanggungjawabnya untuk menuntaskan kasus-kasus ini. Situasi ini semakin dipeburuk karena dari beberapa calon pemimpin negeri merupakan “politisi berdarah” yang terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM berat. Sehingga Presiden dan Calon Presiden yang besala dari militer †terlebih yang terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM †tidak layak menjadi pemimpin bangsa ini.

Sebagai bahan pertimbangan, kami mengajukan gambaran tentang calon Presiden dan Wakil Presiden RI, yaitu :

  1. Sosok yang akseptabel, baik oleh masyarakat dalam negeri maupun masyarakat internasional.
  2. Sosok yang mendorong terwujudnya civil society dan bukan sosok yang mudah memicu terciptanya pemerintahan yan militeristik.
  3. Bukan berasal dari militer/kepolisian †termasuk purnawirawan †agar tidak mudah dikendalikan oleh sebuah ‘esprit de corps’ keluarga besar TNI/Polri, diaman komunitas ini memiliki kekuatan yang riil untuk menekan masyarakat sipil.
  4. Bukan ‘boneka’ dari pendukung dana yang membiayai persiapannya untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
  5. Tidak memiliki ‘lembaran hitam’ atau track record negatif, dan juga bukan sosok yang sedang bermasalah termasuk yang harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM berat.
  6. Bukan pihak yang diduga terlibat atau masih harus bertanggung jawab di depan proses hukum atas terjadinya pelanggaran HAM berat.
  7. Tidak mudah melempar tanggung jawab kepada pihak lain, atau pengecut.
  8. Tidak terkait secara moral dengan penguasa Orde Baru.
  9. Jabatan presiden dan wakil presiden tidak dijadikan ‘ajang cuci dosa’ †impunity bagi seseorang yang bermasalah.

Atas dasar pertimbangan tersebut, kami yang tergabung dalam Solidaritas Kesatuan Korban Pelanggaran HAM (SKKP-HAM), dengan ini menyatakan :

  1. Menolak Jendral (Purn) Wiranto menjadi Presiden yang akan datang.
  2. Menolak tampilnya sosok militer dan kepolisian menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang, meskipun sudah purnawirawan.

Jakarta, 26 April 2004

Solidaritas Kesatuan Korban Pelanggran HAM (SKKP-HAM)

Korban dan Keluarga korban Pelanggaran HAM Kasus Trisakti, Semangg I dan II, Kasus Penculikan Aktivis dan Penghilangan Orang 1998, Kasus Tanjung Priok 1984, Kasus Mei 1998, Kasus Talangsari Lampung 1989

Kontras, Kapal Perempuan, LBH Apik, Imparsial, PBHI, ICW, KRHN, Kompak