Pemilu Aceh Dibawah Darurat militer

SIARAN PERS

No : 08/SP-KontraS/III/04

 

MENANGGAPI

PEMILU ACEH DIBAWAH DARURAT MILITER

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) menyesalkan keputusan pemerintah untuk tetap melaksanakan Pemilu 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dalam status perpanjangan darurat militer kedua. Keputusan ini diambil berdasarkan kepentingan terselenggaranya Pemilu pada waktu yang bersamaan di seluruh Indonesia, tanpa memperhatikan konteks perwilayahan Pemilu dan asas-asas yang harus dipenuhi untuk menghasilkan Pemilu yang legitimated dan demokratis. Pemerintah masih memandang bahwa Darurat Militer merupakan kebijakan paling tepat untuk menghadapi permasalahan, khususnya berkaitan dengan pengamanan Pemilu 2004 di NAD.

Kontras memandang bahwa kebijakan untuk tetap melaksanakan Pemilu semasa darurat militer di Aceh akan meghadapi sejumlah persoalan penting dan kompleks, yang antara lain meliputi :

  1. Status Darurat Militer menunjukan adanya kebijakan dan langkah Pemerintah untuk membatasi HAM dangan larangan (restriction) di luar situasi normal (properly autborized in normal circumstances). Hal tersebut terlihat jelas pada pasal-pasal UU No 23 Prp 1959 yang menjadi instrumen pelaksana Keppres No 28/2003 yang tidak saja membatasi HAM bagi masyarakat NAD, namun juga bagi setiap individu, termasuk warga asing yang ingin ke provinsu NAD. Sementara berdasarkan Konstitusi, setipa warga negara dijamin haknya untuk berpartisipasi dalam urusan publik (public affairs) sebagai pemilih dan kandidat dalam pemilu berdasarkan kebebasan berekspresi yang dinikmati oleh semua pemilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Dari sini terlihat bahwa instrumen hukum yang menjadi payung legitimasi berlangsungnya Pemilu dalam Darurat Militer lemah.
  2. Pengertian kebebasan (liberty) dalam pemilu dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana “seseorang bebas dari tekanan dan pembatasan dari manapun, dan mereka bisa memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu” (John Rawls; 2000: 177). Sementara kebijakan darurat militer merupakan kondisi ‘exeptional state’, dimana moment persetujuan (consent) didominasi dalam bentuk represi fisik (physical reppression) (Nicos Poulantzas: 1970: 152). Di provinsi NAD, hegemoni negara tidak sedang berlangsung secara stabil dan kuat, sehingga dibutuhkan kebijakan yang “melegalkan” represi fisik; kebijakan darurat militer. Dengan demikian, penyelenggaraan Pemilu dalam situasi pengecualian (eksepsional) mempunyai kontradiksi antagonis dengan pandangan tentang kebebasan di atas, karena di bawah darurat militer, masyarakat Aceh tidak kebebasan yang menjadi prasyarat pemilu. Tidak ada pemilu yang dilaksanakan dalam status darurat militer di belahan dunia manapun yang mendapat legitimasi sebagai pemilu demokratis.
  3. Dalam darurat militer, kemungkinan berlangsungnya pemilu yang fair juga menjadi persoalan, mengingat dominasi kepentingan negara dan lemahnya posisi masyarakat sipil. Penguasa darurat militer secara langsung dan tidak langsung dapat mengontrol sarana telekomunikasi, membatasi pertemuan-pertemuan, menutup/membuka penggunaan fasilitas publik, membatasi penerbitan-penerbitan, membatasi hak bergerak dan bertempat tinggal, serta berhak melakukan penangkapan dan penahanan seseorang. Hak-hak tersebut dapat digunakan secara legal, termasuk sepanjang periode pemilu. Dari sisi demokrasi, adalah kecelakaan jika kita kemudian hanya bisa berharap “kebaikan hati” penguasa darurat militer untuk tidak menggunakan hak-hak tersebut.
  4. Pemilu di NAD lebih memiliki konstribusi signifikan kepada elit negara, politis dan institusi politik formal ketimbang bagi masyarakat. Dalam kondisi seperti saat ini, Pemilu dapat saja ternyata lebih merupakan upaya untuk mengambil suara masyarakat NAD, tidak aspirasi politiknya, karena ruang untuk menyatakan aspirasi politik sangat terbatas. Keberadaan wakil-wakil rakyat Aceh di legislatif dan yudikatif hanya merupakan representasi individu tanpa mewakili kepentingan NAD yang sesungguhnya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa kehendak untuk tetap melangsungkan Pemilu di NAD tidak berdasarkan pada kalkulasi politik yang memadai dalam konteks pemilu demokratis. Terhadap keinginan pemerintah yang tetap memaksakan pelaksanaan pemilu di NAD, dimana pandangan bahwa pemilu tidak signifikan bagi penyelesaian persoalan Aceh dinegasikan dan dipandang penting adanya partisipasi rakyat NAD dalam pemilu, inter alia dianggap penting oleh negara untuk menyelenggarakan pemilu, maka pilihan-pilihan berikut dapat menjadi tawaran solusi untuk penyelesaian problem pelaksanaan pemilu di NAD.

Pertama , dengan membuka ruang bagi pengawasan pemilu seluas-luasnya, melibatkan pemantau sukarela lembaga-lembaga dalam negeri maupun internasional. Belajar dari pengalaman PBB dalam konteks pemilu Pemerintah Indonesia bisa saja meminta otoritas internasional membantu menjaga keamanan pemilu serta mengawasi jalannya pemilu. Apalagi pemerintah melalui pernyataan yang disampaikan Menkopolkam menyatakan tidak berminat untuk “menutup-nutupi pemilu di NAD” . Apalagi saat ini pemerintah juga sudah membuka diri terhadap beberapa lembaga asing untuk berada di NAD seperti ICRC, UNESCO, UNDP dan World Food Program.

Kedua , dengan menyediakan jaminan keamanan yang normal. Dalam penjelasan atas UU No 12/2003, pengertian asas bebas dalam penyelenggaraan pemilu adalah, “Setiap warga negara yang berhak memilih bebasa menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Didalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin kemanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya”. Karena keadaan darurat militer tidak memadai untuk memenuhi asas-asas pemilu, maka perlu dipertimbangkan revisi yang “rasional” terhadap Keppres 97/2003 dengan menurunkan statusnya menjadi darurat sipil, atau mencabut sama sekali dan menetapkan mekanisme pengerahan berdasarkan UU No 3/2002 Tentang Pertahanan Negara. Sehingga ketika pemerintah tetap memandang perlu adanya operasi militer, pemerintah dapat memberlakukan secara terbatas berdasarkan kewenangan UU tersebut.

Ketiga , melaksanakan pemilu dibwah traktaat gencatan senjata. Mengingat bahwa pihak-pihak yang bertempur dilapangan sama-sama berpotensi untuk menyalah gunakan momentum pemilu untuk kepentingan operasi perang, maka menjadi penting untuk membuat kespakatan ini. Momen pemilu ini juga dapat digunkan untuk mendorong kembali dialog dan perundingan.

Jakarta, 9 Maret 2004

Badan Pekerja

Mufti Makaarim A

Kabid. Operasional

Ada banyak istilah yang digunakan beberapa negara, antara lain ‘state of exeption’, ‘state of emergency’, ‘state of alarm’, ‘state of sige’, atau ‘martial law’.